GOLD HOLD [Chapter 16]

6 Comments »



Sudah beberapa kali Alexandra menarik napasnya dengan panjang kurang dari satu jam ini. Bagaimana tidak? Ia berada di club malam saat ini. Selain pertama kalinya berada di tempat hiburan malam, apa yang akan dilakukannya pada Yuma nanti benar-benar membuatnya takut sendiri.

    Rencana sudah disiapkan dengan sebegitu matangnya. Pak Goes sudah menyuruh beberapa anak buahnya berjaga dengan tak ketara di dalam club, antisipasi jika hal-hal tak diinginkan terjadi. Alat perekam yang dititipkan laki-laki itu juga sudah disimpannya dalam tas, yang sewaktu-waktu akan dikeluarkannya sebagai alat perekam ‘nyanyian’ Yuma.

    Kini Alexandra hanya duduk gelisah diatas kursi tinggi dengan seorang Bar Tender yang memandanginya dengan tidak nyaman. Ya, sepertinya siapapun akan merasa tidak nyaman melihat Alexandra yang duduk gelisah, tidak bisa diam dan melenguh setiap hampir satu menit sekali.

    Sedangkan suasana club semakin ramai, semakin malam malah semakin tidak terkontrol. Dan parahnya Yuma belum terlihat sama sekali.

    “Mbak, Sudah mau pesen sesuatu?”

    Bar Tender dengan nametag bertuliskan Popeye di dadanya itu membuat Alexandra mengalihkan perhatian. Si Popeye ini berteriak demi mengalahkan suara dentuman musik DJ dan speaker aktif yang nyaring di seluruh sudut club.

    “Eh, ada air putih gak?”

    Dengan sedikit mengernyitkan dahi, si Popeye mengangguk dan membuat segelas air putih dengan Es yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuk bulat sempurna kemudian dimasukan kedalam gelas berisi air putih milik Alexandra. Jujur saja Alexandra terpukau dengan atraksi yang dilakukan Bar Tender tampan ini.

    “Air putih dingin, untuk cewek cantik yang kelamaan nunggu dan gak bisa diem!”

    Refleks Alexandra tertawa mendengar ucapan si Popeye ketika menyodorkan air putihnya. Dengan sisa tawanya Alexandra meneguk airnya hingga tersisa separuh.

    “Itu namanya emang Popeye ya?”

    “Hah?”

    “Itu nametag nya!”

    Tangan si Popeye menyentuh bagian nametagnya yang terkait rapi ke baju seragam yang kini dikenakannya, sambil tertawa dan menujukannya pada Aalexandra. “Iya, nama saya emang Popeye. Lucu ya?”

    “Serius?”

    “Ya gak lah!”

    “Ish.”

    Seorang laki-laki berperawakan tinggi besar dengan jaket kulit berbau alkohol datang mendekat ke arah si Popeye, dia memberikan kode yang entah apa dengan tangannya. Kemudian Si Popeye mengangguk dan melihatnya sebentar. “Bentar ya, Mbak.”

    Jika dilihat-lihat, si Popeye ini sama sekali tidak terlihat sebagai Bar Tender sebuah klub malam, dia malah terlihat sebagai mahasiswa yang baru saja memulai kuliahnya di perguruan tinggi. Tanpa sadar Alexnadra malah mengamati bagaimana si Popeye kembali menunjukan aksinya dalam meracik minuman, namun kali ini bau alkohol menyengat hidung perawannya. Membuatnya pusing dan ingin muntah seketika.

    “Lexy?”

    Pundaknya yang ditepuk seseorang dengan tiba-tiba membuat gadis itu terlonjak dan membalikan tubuhnya. Ia menemukan seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang sangat dikenalnya. Galang. Mantan pcara kakak sepupunya. Ya, Alexandra mengingatnya dengan sangat baik.

    Si Popeye terlihat memalingkan pandangan ke arah mereka ketika melihat seseorang yang menyapa Alexandra.

    “Kak Galang?”

    “Ngapain di sini?”

    Ugh, tentu saja Alexandra tidak akan mengatakan bahwa tujuannya berada di sini adalah demi menjebak Yuma dan membuatnya bernyanyi.

    “Nunggu temen kak!”

    Alexandra bisa melihat bagaimana Galang yang sedikit terkejut dan mengeryitkan dahinya dengan sempurna setelah mendengar jawabannya yang diplomatis. 

    “Aku kira kamu gak suka tempat kayak gini.”

    Laki-laki itu mengambil duduk di sebelah Alexandra, dan memutar kursinya sehingga mereka saling berhadapan. “Hehe, emang baru pertama kali juga sih.” Pelan, ya suaranya sangat pelan dan dalam hati Alexandra berharap Galang tidak bisa mendengar suaranya.

    “Kamu sendiri?”

    Duh, Alexandra tahu betul apa maksud pertanyaan Galang. Ya, Apalagi kalau bukan menanyakan keberadaan Delphine sang mantan kekasih yang sampai saat ini masih diidam-idamkannya.

    “Kakak sendiri? Lagi ngapain?”

    “Pulang ngantor, bĂȘte, jadi kesini.”

    Anggukan Alexandra terlihat seolah mengerti. Padahal jauh dalam lubuh hatinya, ia sama sekali tidak mengerti mengapa setelah cape bekerja, Galang lebih memilih mendatangi klub malam, bukannya tidur ke rumah atau mandi uap saja di sauna.

    “Aku kira kamu sama Delphine. Soalnya tadi aku lihat ada Yuma di sana.”

    Oh … Apa katanya? Yuma? Yuma sudah ada di sini? Yuma yang dikenalnya bukan? Yuma yang memiliki janji bertemu dengannya kan? Kenapa bisa sahabat kakak sepupunya itu malah tidak menemuinya sama sekali dan terus mengatakan sedang berada di perjalanan ketika ia menghubunginya?

    “Oh ya? Dia sama siapa, Kak?”

    “Sama cowoknya. Si Jo. Kamu tahu kan?”

    Astagaaaa …

    “Kesana yuk, kak? Nyemperin kak Yuma. Kebetulan ada yang mau aku omongin nih sama dia.”

    Beberapa saat Galang terlihat berpikir dan mengamati Alexandra dengan saksama, seolah mencari tahu ada tidaknya sesuatu yang disembunyikan gadis itu dibalik bulu mata dan bola mata indahnya.

    “Enggak, ah. Males ada cowoknya.”

    “Emang kenapa sama cowoknya? Gigit?”

    Joking yang dilontarkan Alexandra sepertinya sama sekali tidak dianggap Galang, karena laki-laki itu malah menarik napasnya dan berdiri seolah akan segera beranjak. “Mending nanti aja, kalau Yuma lagi sendiri. Serius cowoknya emang Gigit!”

***

    Galang pergi.

    Entah kemana. Dan sekarang Alexandra kembali sendiri. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Lagipula, apa yang dilakukan Yuma sehingga berbohong padanya? Ditambah lagi perkataan Galang yang menyebutkan bahwa Yuma bersama Jo. YaTuhan, Alexandra benar-benar berkeringat dingin sekarang.

    Getaran halus di handbagnya membuat Alexandra tersadar kemudian melihat apa yang bergetar di dalam sana. Tentu saja handphone. Suara Justine Timberlake dalam lagu Mirror yang ia setting sebagai nada dering sama sekali tidak terdengar, hanya getaran halus yang ia rasakan dan nama Delphine tercantum di sana.

    “Hallo, Kak?”

    “Belum nih, Aku belum ketemu Kak Yuma. Tapi katanya ada yang lihat dia sama pacaranya di sini. Iya kak. Iya, aku pasti hati-hati. Kakak tenang ya, doain aku aja supaya berhasil.”

    Ya, semoga berhasil dan semoga Tuhan tetap menyertainya.

    “Mas!”

    Si Popeye menoleh dan mengeryitkan dahi ketika Alexandra memanggilnya. Dia menghampiri dengan tenang, tidak tahu apa yang akan dilakukan gadis itu dalam memancing makanan yang sudah hampir ditelan singa di sana.

    “Ya, Mbak?”

    “Ini KTP saya. Kalau saya sampai gak kesini lagi sampai klub ini tutup. Tolong hubungi alamat yang tercantum di situ ya, Mas?”

    Meskipun masih bingung atas apa yang dilakukan Alexandra, si Popeye menerima KTP gadis itu dan memasukannya ke dalam kantong celana. Kemudian dengan saksama matanya mengamati Alexandra yang berjalan menjauh menghampiri kerumunan di lantai dansa. Setelahnya ia tidak bisa melihat penampakan gadis itu.

    Dia tidak pernah merasa segelisah ini sebelumnya.

***

    Gabby memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa soal surat yang diberikan Jo tadi pagi. Yang pasti ia belum bisa memecahkannya sampai saat ini. Keberadaan William di rumah besar membuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih. Bukannya Gabby tidak takut, Gadis itu malah mencoba berdamai dengan rasa takut yang menyelimutinya, mencoba berdamai dengan keadaan yang benar-benar tidak berpihak padanya saat ini.

    Ketika Gabby masih meringkuk di atas ranjangnya dengan selimut yang dibiarkan terjatuh ke lantai, William masuk tanpa mengetuk pintu. Gabby melihatnya dengan tatapan kosong.

    Adiknya itu masuk dengan nampan berisi makanan hangat, Gabby tidak tahu apa. Tapi dia sama sekali tidak mau memakan apapun saat ini. 

    “Sakit lagi kan lo. Udah gue bilangin jangan masuk kantor dulu.”

    William yang duduk di ranjangnya membuat tempat tidur berguncang dan pada saat itu Gabby menarik nafasnnya dalam-dalam seolah ada bahaya dalam setiap gerakan yang dibuat adiknya sendiri.

    “Lo gak apa-apakan?”

    “Gak, Will.”

    Diraihnya sebuah mangkuk berisi bubur yang sudah dicampur dengan obat penenang dan obat tidur sesuai takaran dokter agar kakaknya ini lebih tenang. Analisis Dokter, Gabby mengalami Trauma dan gangguan psikis ringan. Oleh karena itu Gabby masih dalam pengawasan ketat sampai dengan hari ini.

    “Makan yuk. Gue siapin sendiri loh.”

    “Gak, Will. Gak mau makan.”

    Dari Awal William sudah menyangka hal ini tidak akan berjalan dengan mudah. Pemuda itu memutuskan untuk menyimpan lagi makanan yang ia bawa ke atas nampan. Ia akan sedikit mengalihkan perhatian Gabby sedikit.

    “Udah lama nih gue gak curhat sama lo, Kak. Malam ini gue mau curhat boleh ya?”

    Pandangan mata Gabby tetap terlihat kosong dan memandanginya seolah mengintimidasi. Diam-diam William menelan ludahnya sendiri, merasa bodoh karena takut pada sosok kakak perempuannya saat ini.

    “Curhat soal apa?”

    Yes. Berhasil. Dalam hati, William sibuk bersorak sendiri karena Gabby berhasi teralihkan. Dan saat ini William harus rela menggadaikan harga dirinya untuk sang kakak. “Wajar gak sih kalau gue jatuh cinta lagi?”

    Ya, tergadailah harga diri William pada sang kakak. Dia terlihat seperti remaja labil yang baru pertama kali jatuh cinta dan meminta cara yang ampuh agar bisa mencium pasangannya. Sedikit menjijikan mengingat William berusia 28 tahun saat ini.

    “Delphine ya?”

    “Iya, kak. Delphine, cintanya gue.”

***

    Hebat. Alexandra sudah berada diantara Jo dan Yuma saat ini. Keringatnya kembali muncul dimana-mana. Kali ini lebih parah dari sebelumnya. Bagiamana tidak? Jo selalu memandangnya dengan tatapan mengintimidasi. Tajam dan mematikan tingkahnya dalam satu tembakan.

    Sebelum benar-benar menghampiri Yuma dan kekasihnya, terlebih dahulu Alexandra memastikan anak buah Pak Goes masih dalam jangkauan pandangannya, baru kemudian ia mulai berakting seolah-olah tidak sengaja menemukan Yuma di salah satu sofa pojok klub yang semakin malam semakin remang.

    “Maaf ya, Lex. Tadi pas nyampe aku mau langsung ketemu kamu sebenernya, cuma ketemu Jo duluan di sini.”

    Hah? Ketemu? Lo kira gue percaya? Bukan yang pertama kalinya Alexandra bersungut sendiri semenjak kurang lebih berada sepuluh menit berada dintara dua orang ini. “Gak apa-apa kok, Kak. Tadi cuma risih aja nunggu sendiri.”

    Gadis ini bisa melihat bagaimana Jo merangkul Yuma dan membuat jarak mereka semakin dekat. Bahkan jika tidak salah lihat, ia melihat Jo yang mendekatkan mulutnya dengan perlahan ke kuping Yuma dan membisikan sesuatu yang sama sekali tidak bisa terdengar olehnya. Yang dilihatnya kemudian adalah Jo yang beringsut berdiri setelah berhasil mengecup pipi Yuma sekilas. Matanya kembali beradu dengan mata tajam nan nyalang milik Jo, ia kembali terintimidasi dan kembali berkeringat.

    Setelah dipastikan Jo sudah tidak terlihat lagi, Alexandra baru bernar-benar bernafas lega. Bagiamana tidak? Pandangan Jo yang benar-benar mengintimidasinya sedari tadi tidak dilihatnya lagi.

    “Sorry ya, Lex. Jo kadang suka gitu kalau gue lebih milih apapun selain dia.”

    Apa maksud Yuma? Mau sombong karena dicintai Jo? Cih.

    “Gak apa-apa kok, Kak. Aku tahu gimana protective dan egoisnya cowok-cowok.”

    Oke, War is begin …

    Dengan gerakan tidak ketara, Alexandra mengeluarkan pulpen dengan alat perekam milik Pak Goes yang sudah disiapkannya dari tadi. Dan dengan diam-diam pula Alexandra menghembuskan napasnya. Semoga ketakutannya terbang bersama partikel karbon dioksida yang dibuangnya.

    “Gimana kabar kakak?”

    “Agak rumit banget sih akhir-akhir ini hidup gue, masalah rumah, masalah Golda, belum lagi punya cowok yang sedikit overprotective kayak Jo tadi … duh, kabar lo sendiri gimana, say?”

    “Sama nih, lagi bĂȘte banget, kak Delphine sering gak mau ngalah kalo di rumah.” Sebelum melanjutkan obrolannya, Alexandra membernarkan letak handbagnya dan duduk dengan lebih nyaman meski tetap tegang.

    “Eh, kabarnya atasan kalian di Golda kecelakaan gitu ya, kak? Gimana ceritanya sih kok bisa gitu?”

    “Eh? Itu sih udah lumayan lama, kan pelaku tabrak larinya juga ada di sana.”

    “Kabarnya kakak ada di tempat kejadian ya?”

      BRUUUKKKKK!!!

    Dengan tiba-tiba saja sebuah meja terbalik begitu saja dan membuat semua orang hedonis di klub ini memalingkan perhatian dari dunia mereka dan berusaha melihat apa yang terjadi.

    Sebuah meja besar yang sebelumnya di tempati empat orang berdasi dengan banyak botol kosong bir dan gelas-gelas tinggi yang masih terisi penuh dengan bir tumpah begitu saja menimpa lantai. Sebagian pecah dan sebagian hanya menyentuh keras lantai dengan suara mengundang, belum lagi meja malang yang kini sudah dalam posisi terbalik.

    Alexandra dan Yuma yang sama-sama terkejut dengan refleks berdiri. Bukan main terkejutnya mereka ketika melihat penampakan Jo di sana. Di depan mereka dengan mata nyalang marah, seolah baru saja mengetahui hal buruk yang telah direncanakan untuknya.

    Yuma jelas tidak tahu apa-apa kali ini.
 
     Tapi tidak dengan Jo. Dengan orang yang Gabby anggap seperti monster.

    “Ke…ke…napa?”

    Yuma masih bisa bersuara meski dengan tergagap. Berbeda dengan Alexandra yang kini hanya bisa terdiam melihat penampakan di depannya. Penampakan Jo yang berapi-api.

    Keringat mengucur begitu saja dari dahi Alexandra, ada sesuatu dalam dirinya yang menjerit meminta semua ini berakhir, meminta Alexandra kembali pada semula, bukan Alexandra yang berakting kuat padahal sama sekali tidak.

    “Aaaaaaa!”

    Dengan tiba-tiba ada tangan kekar yang mengunci kedua tangannya ke belakang. Suasana klub semakin terlihat riuh. Beberapa orang ikut menjerit ketika Alexandra menjerit, ada yang sibuk mengamankan pasangan masing-masing dan ada yang sekedar berbisik-bisik mengomentari apa yang terjadi. 

    Seseorang berjas hitam rapi yang sebelumnya berada di sudut-sudut klub kini malah berkumpul dan seolah mengepung Alexandra. Sekuat tenaga Alexandra mencoba melepasakan diri dan menjerit sekencang-kencangnya, berharap siapa saja menyelamatkannya saat ini.

    Anak buah Pak Goes tidak terlihat dimana pun. Tidak terlihat seorangpun yang berniat menyelamatkannya saat ini. Dan saat itu pula Alexandra merasa dunianya akan berakhir sampai saat ini saja. Alexandra merada dunia sedang mengkhianatinya saat ini. Sungguh.

   Matanya sudah berair dan hampir air matanya sudah hampir jatuh ketika melihat bagaimana Jo yang memandanginya dengan bengis, dan jarak Jo dengannya semakin terkikis. Seolah-olah Jo adalah predator yang bersiap memakannya.

    Yuma hanya terlihat di sisi ruangan, terhalang beberapa orang berbaju serba hitam dan terlihat hanya memandangi apa yang dilakukan sang kekasih. Bagiamana bisa Yuma tergila-gila pada pemuda macam jo? 

     BLEP!

  Tiba-tiba lampu padam. Seluruh ruangan benar-benar terlihat gelap sekarang. Orang-orang semakin riuh, merutuki ketidakmengertian mereka atas apa yang  baru saja terjadi. Mengapa bisa lampu begitu saja mati padahal mereka tengah menyaksikan pertunjukan super langka seperti ini?

    “Aa-“

    Ada yang membekap dan menarik tangan Alexandra sehingga menjauhi tempatnya saat itu. Bukannya Alexandra tidak berontak, hanya saja pemberontakan yang dilakukannya tercekik habis oleh orang kurang ajar ini.

    Lalu dengan tiba-tiba matanya terbuka dan Alexandra menyadari dirinya sudah berada di luar club malam yang menjijikan itu. ”Ke-Ken-napa?”

   Dan saat itulah Alexandra melihat si bar tender tadi di depannya, dengan wajah kahwatir yang benar-benar tidak bisa dideskripsikan. Lalu seorang lain yang juga dikenalnya dengan baik. Galang. Kenapa pria itu bisa ada disini? Bukankah dia sudah pergi dan enggan turut campur tangan? 

    “Kamu ngapain sih, Lex? Cari mati?”

   Galang marah. Alexandra tahu hal ini semata-mata hanya karena Galang khawatir padanya. Dan saat itu pula Alexandra hampir menangis.

    “Kayaknya, mereka bakal sadar kalo Mbak ini gak ada. Kita harus-cepet-cepet pergi.”

    Galang sudah memikirkan hal ini ketika Alexandra nekat menemui Yuma yang sedang bersama Jo, untuk itu ia juga meminta bantuan sang bar tender yang terlihat baik itu. Untuk sementara ini Alexandra akan aman jika disembunyikan saja.

    “Kita sembunyi!”

***

    Pelan-pelan Alexandra ikut membuka daun pintu sebuah rumah kontrakan di pemukiman padat penduduk yang tidak begitu diketahuinya. Setelah berhasil keluar dari klub dan memakai mobil Galang untuk bisa sampai disini, Alexandra benar-benar lega luar biasa. Bayangan seperti ini jelas saja tidak pernah terbayang dibenaknya.

    Rumah kontrakan yang tidak terlalu besar, tapi mempunyai dua kamar tidur. Perabotan di dalamnya tidak terlalu banyak dan Alexandra langsung curiga kalau tempat ini adalah tempat si Popeye.

    “Ini kontrakan Rex, kamu mending di sini dulu. Sementara jangan hubungi keluarga kamu. Jangan hubungi siapa-siapa karena Jo pasti nyari-nyari keberadaan kamu.”

    Setelah berbicara panjang lebar seperti itu, Galang menutup pintu dan meminta semuanya tidak melakukan aktifitas atau hal yang mencurigakan. “Matiin handphone kamu, Lex. Kalo perlu buang simcardnya.”

    Tanpa membantah, Alexandra mematikan handphonenya dan mengeluarkan simcardnya.

    “Terus gimana sama Kak Delphine dan keluarga aku yang lain? Mereka pasti kahwatir. Nanti aku pikirin. Kamu tenang aja.” Galang yang melihat Alexandra masih kebingungan kembali membuka suara. “Ini Rex. Bar tender klub yang kamu datengin tadi.”
 
     Alexandra melihat Rex yang masih memakai baju seragam dan nametag dengan nama popeye kemudian tersenyum sungkan. “Tadi, setelah liat kamu nekat nyamperin Yuma dan ngasih KTPmu ke Rex aku malah jadi antisipasi. Meskipun aku gak tahu kamu mau ngapain, tapi aku tahu Jo. Untuk itu aku kerja sama sama Rex dan bawa kamu kesini.”
 
     “Yang matiin listrik itu juga?”
 
     Anggukan Galang membuat Alexandra mengerti.
 
   Dia sudah bertindak salah dengan tidak memperhitungkan banyak hal. Meski sebelumnya ada beberapa anak buat Pak Goes, toh akhirnya mereka tidak ada yang membantu, entah kemana, Alexandra tidak mengerti.

   “Aku gak akan kenapa-napa kan kak?”

****

Author Notes :
 
Maaf sekali bagi yang nunggu kelanjutan Gold Hold dari dulu. Jujur aku udah nulis part ini lama banget, beberapa hari setelah part sebelumnya selesai, mungkin. Tapi ada beberapa hal yang bikin aku vacum post cerita bersambung ini. Aku butuh kritik dan saran buat cerita penuh drama ini, yang sudi silahkan dilayangkan ke kolom komentar :D jangan kapok nunggu Gold Hold ya manteman :')

REVIEW INTERLUDE

No Comments »

INTERLUDE



Judul : Interlude (Selalu ada jeda untuk bahagia)
Pengarang : Windry Ramadhina
Penerbit : GagasMedia
Editor : Gita Romadona
Penata Letak :  Gita Ramayudha
Design & Ilustrasi cover : Levina Lesmana
Jumlah Halaman : 371 halaman
Harga : Rp. 58000,-

Hanna,

Listen

Don’t cry, don’t cry

The world is envy

You’re too perpect

And she hates it



Aku tahu kamu menyembunyikan duka di senyummu yang retak.

Kemarilah, aku akan menjagamu, asalkan kau mau mengulurkan tanganmu.

“waktu tidak berputar ulang. Apa yang sudah hilang,

tidak akan kembali. Dan, aku sudah hilang.”

Aku ingat kata-kata itu, masih terpatri di benakku.



Aku tidak selamanya berengsek.

Bisakah kau memercayaiku, sekali lagi?



Kilat rasa tak percaya dalam matamu,

Membuatku tiba-tiba meragukan diriku sendiri.

Tapi, sungguh, aku mencintaimu,

merindukan manis bibirmu.



Apa lagi yang harus kulakukan agar kau percaya?

Kenapa masih saja senyum retakmu yang kudapati?



Hanna, kau dengarkah suara itu?

Hatiku baru saja patah …

Hanna. Gadis yang selalu sendiri belakangan ini. Dia penakut dan cengeng, selalu terbata-bata dan tidak berusaha berpura-pura. Dia gadis dari Ipanema.

“Waktu tidak berputar ulang. Apa yang sudah hilang tidak akan kembali. Dan, aku sudah hilang.”
Kai. Jika aku boleh memaki, maka akan kukatakan bahwa pemuda satu ini begitu berengsek, tolol dan menyedihkan. Dia menyia-nyikan hidupnya dan tidak punya ambisi.

“Bukan, aku bukan musisi. Aku bukan siapa-siapa, lebih tepatnya, dan tidak akan pernah jadi siapa-siapa.”
Tidak seperti Hanna yang selalu terlihat sendiri, Kai selalu bersama dua orang lainnya di studio di atas kofilosofi, Gitta dan Jun. Mereka bertiga adalah Second Day Charm yang kemudian melejit setelah mengeluarkan album demo dan berada di bawah label Sony Music.

Saat itu, Hanna yang bodoh membuat Kai melihatnya di Kedai Kopi, Kofilosofi. Kemudian mereka berdua bertemu lagi dan membuat pemuda itu semakin menyukainya.

Kai kira semua itu adalah bagian dari permainan yang sengaja di buat Hanna, sampai dia tahu bahwa dia telah mengorek luka Hanna begitu dalam.

Mereka lebih dekat berkat menu-menu jazz milik Pra di meja terbaik Nigel’s setelah sebelumnya berada di meja nomor sembilan dan menjadi wanita sempurna yang membuat semua penggemar Kai mendidih. Tapi masa lalu tetap menghantui gadis itu meski Kai telah menawarkannya laut, meski Kai berjanji akan meluruhkan seluruh celanya.

Selain itu, Gitta dalam masalah. Karena ambisinya yang terlalu besar tanpa sadar telah membutakannya. Melemahkannya dan membuat Gitta tidak seperti Gitta. Tapi Gitta punya Jun. Pemuda yang bijaksana dan mencintai  Gitta demikian adanya.

Bagaimana dengan Hanna? Bagaimana dengan Kai yang merasa tidak punya tempat di dunia? Atau bagaimanakah Jun membuat Gitta sadar akan kedalaman cintanya?

Jelas aku tidak bisa membeitahukanmu di sini.

***

Interlude adalah novel kedua Windry Ramadhina yang aku baca. Aku melewatkan Orange, Memori, Metropolis dan London. Aku tidak sengaja melewatkannya, sungguh!

Tapi kemudian, setelah terpukau dengan kisah Rayi dan  Haru di Montase, aku bertekad untuk tidak melewatkan Interlude. Saking tidak sabarnya, aku pre-order edisi tanda tangan dan menunggu kurir datang mengantarkan Kai dan Hanna.

Interlude adalah kisah pilu yang mendalam. Tidak hanya tentang Hanna dan Kai tapi tentang keluarga yang menyedihkan layaknya di Montase, hanya saja, Interlude lebih menonjolkan romatisme Kai dan Hanna, dan konflik pelik mereka.

Jika di Montase aku menangis, maka di Interlude aku tidak mengeluarkan air mata sedikitpun. Padahal aku selalu sensitif jika konflik sudah mengarah pada permasalahan keluarga. Tapi kali ini aku kuat :’)

Mungkin karena Kai yang datar dan  terkesan tidak peduli memberikan efek yang sama pada kondisi mental aku ketika membaca. Sepanjang cerita aku hanya merutuk dan kesal setengah mati pada keluarga Kai, apalagi saat konflik keluarga klimaks dimana orangtuanya memutuskan untuk bercerai dan Kai menangis sepanjang malam. [spoiler]

Lain halnya dengan tokoh Hanna yang bisa menularkan rasa takutnya. Aku seakan bisa merasakan bagaimana Hanna terbata-bata, menangis dan ketakutan. Seakan-akan aku adalah Hanna dalam versi nyata dan masih SMA. Hahaha.

Interlude benar-benar luar biasa, kalian harus percaya. Aku mencintai detail-detail menarik yang dituliskan Windry, oh, bahkan aku menyukai Pra dan Nigel’s. Dan nama-nama menu makanannya yang luar biasa.

Aku bukan penikmat Jazz, tapi benar-benar luar biasa senang bisa mengetahui Nouvelle Vague dengan Bossa Nova yang dibahas beberapa kali di novel ini. Aku selalu senang mengetahui  hal baru dan Interlude memberikanku semua itu.

P.S
Dear, Levina Lesmana. Covernya luar biasa!

Sketsa tokoh Kai dan Hanna yang aku catut dari blog penulisnya langsung di windryramadhina.com

Hanna

Kai



Moving On! [Cerpen]

Baca selengkapnya » | 6 Comments »



Tittle   : Moving On!
genre  : Teen Romance
Lenght : 1.696 words
Author : Rulitash


Hachiko harus kehilangan Profesor Ueno dan takkan pernah bisa mengembalikannya bahkan hingga Anjing itu mengais debu dengan darah. *

Bahkan setelah tersesat di dunia roh, bertemu Yababa, bekerja di Onsen dan menghadapi si Bayi Besar, Chihiro masih harus kehilanga Haku, seakan petaka yang merubah kedua orang tuanya menjadi babi adalah hal sepele.**

Lihat, selalu ada perpisahan. Bahkan jiwa yang harus meninggalkan raga. Bukan hanya Habibi yang kehilangan Ainun, anak yang kehilangan ibunya, ataupun Andin yang akhirnya kehilangan Juna.

Tidak…
Maksudku, Andin yang diputuskan Juna kemarin malam.

Jangan tanya keadaan gadis itu saat ini. Karena kalian hanya akan menertawainya yang hampir menyikat gigi dengan sabun pencuci muka. Bukan hanya sakit hati sesakit-sakitnya, tapi gadis itu juga tidak bisa berpikir sejernih biasanya.

Ternyata putus cinta memang sakit, lebih sakit lagi jika sudah putus tapi masih cinta.

***

"Serius lo? Gimana bisa kalian putus gitu aja?!"
"Katanya Juna mau kuliah di luar negeri."
"So?"

Andin bungkam begitu Algia meminta jawaban lebih dari itu. Lagipula mana ada orang yang akan puas dengan jawaban seperti itu? Andin sendiri tetap bungkam, lebih karena tidak tau harus menjelaskan masalahnya seperti apa. Apa Andin harus menjelaskan bahwa Juna ingin fokus pada study-nya demi mengejar universitas impiannya di Kairo sana? Apa Andin harus mengatakan bahwa pada kenyataannya Juna mengorbankan dirinya demi alasan lain? Tidak memilihnya? Atas dasar apa? Seleksi alam? Sialan.

Andin sedikit frustasi. Mohon dimaklumi.

"Gak pernah denger istilah long distance relationship kali ya dia?" Algia kembali mencibir, merutuki Juna yang sudah membuat sahabatnya tidak karuan seperti ini.

"Lo kali yang gak tau gimana nyeseknya hubungan Jarak Jauh." Dengan atau tanpa sadar Andin membela Juna yang jelas-jelas sudah membuat dirinya kacau. Mungkin ini efek masih cinta. Rada susah dihingkan memang.

"Lo lupa Voices of a Distant Star yang kita tonton kemaren?" Algia mengingatkan salah satu film animasi pendek yang beberapa hari lalu mereka tonton. Diam-diam gadis menganggukan kepala, benar-benar ingat dan mengerti bagaimana Mikoku yang berhubungan jarak jauh dengan Noburo, jaraknya tidak tanggung-tanggung, sejauh Bumi dengan Sirius, yang bahkan membutuhkan waktu 8 tahun hanya untuk mengirimkan sebuahe-mail.

"Tapi, itukan fiksi, Gi. Jangan disamain dong."

"Yang penting itu bukan soal cerita fiksi atau kisah nyata. Yang penting adalah pelajaran dari hubungan jarak jauh mereka, gimana mereka masih saling percaya bahwa suatu saat nanti ada masa yang akan mempertemukan mereka kembali."

Andin kembali bungkam, sebagian hatinya berseru setuju, tapi tidak dengan otaknya yang kembali membuat penyangkalan. "Beda lah, Gi."

"Lagian kalian masih sama-sama di Bumi. Banyak banget alat komunikasi, trasportasi juga terjangkau." Algia bangkit setelah membereskan isi dompetnya yang berceceran di atas meja. Ibu perpustakaan masih ada di tempatnya  dan Andin memutuskan akan tetap disini.

"Lo kolot, ah, Din. Kayak nenek gue aja."

Kalimat terakhir Algia benar-benar menendang ulu hati dan sisi sensitifnya sebagai perempuan. Untung saja mereka sudah bersahabat sejak awal masuk SMA, membuatnya cukup tahu bagaimana pedasnya Algia jika sudah mengomentari sesuatu.

"Din, dicariin Pak Seka tuh. Katanya ada tugas, Dia gak bisa masuk kayaknya."

Tiba-tiba sebuah suara yang sangat dikenalinya terdengar dengan frekuensi beberapa desibel lebih rendah dari Algia tadi. Tidak perlu menjadi Sherlock Holmes atau bahkan tidak perlu membalikan badan untuk mengetahui siapa yang berada di belakangnya saat ini. Pemuda yang berbicara dengan lembut dan santun seperti biasanya, ugh, Move, Din ..Move!

"Oh iya, makasih. Aku duluan." Dengan secepat kilat Andin beranjak menjauh, seolah tidak mau lagi tersentuh hitam masa lalu.

Yang Andin tidak tahu adalah Juna memperhatikannya hingga berhasil melewati pintu perpustakaan. Yang Andin tidak tau adalah Juna tidak pernah rela melepaskannya begitu saja.

***

Andin hanya memandangi lapangan basket sekolah yang sepi dan seperti tak bertuan. Dengan terpaksa gadis itu menunggu kakaknya menjemput. Memang tidak seperti biasanya, karena kali ini Andin kehilangan ongkos yang diberikan Mama tadi. Tidak hilang juga sih, habis dibayarkan uang kas yang ternyata sudah ditunggaknya tiga minggu ini.

Jujur saja, Andin tidak pernah merasa se-bokek ini. Arjuna selalu membawanya ke kantin untuk di traktir atau bergantian jika ada kesempatan. Ongkosnya selalu tersimpan rapi karena Juna rela menjadi pacar-rangkap-tukang-ojeknya. Sekarang boro-boro, mungkin mantan pacarnya itu capek direpotin.

Geez, suudzon aja terus, Din.

Malam itu Andin sama sekali tidak menyangka bahwa ajakan Juna keluar rumah adalah pertanda paling membahayakan selama hubungan mereka satu tahun ini. Lagipula bagaimana bisa Andin ngeh jika Juna membawakannya sebatang cokelat?

Ternyata cokelatnya hanya sogokan sebelum mereka berakhir.

Mungkin ini bukan keputusan paling tepat, tapi aku udah pikirin resikonya, Din …

Suara lembut nan santun Juna kembali terdengar di otaknya. Entah kenapa hal itu selalu membuatnya ingin menangis.

Kok kamu panggil nama? Sayangnya mana?

Mengingat percakapan mereka kemarin malam membuat Andin ingin terjun saja dari Everest, menggelinding dan jadi bola salju yang kuat dan berat. Setelah itu dia akan mengejar Juna dan menabraknya sekuat tenaga, biar tahu rasa!

“Andin?”

Semakin dibayangkan, suara Juna semakin terdengar nyata. Membuat Andin merinding sendiri karena ternyata dia begitu mencintai Juna.
“Andin?”
“Hah?”
“Kamu aku panggil dari tadi, gak nyaut-nyaut!”

Loh? Kok ada Arjuna di depannya? Iya, Arjuna mantan pacarnya yang sialan sekali karena memutuskannya begitu saja. Kalau begitu dari tadi memang suara Juna? Ugh, Selamat malu deh, Din.

“Sorry, gak fokus.” Suara Andin lemah sekali dan Juna sedikit khawatir.
“Kamu gak apa-apa? Kok belum pulang?”

Andin mendongak melihat Juna yang berdiri di depannya, lehernya sakit karena posisi tinggi badan Juna yang kali ini jauh lebih tinggi. Hatinya berdesir, seperti jantungnya memompa darah lebih cepat.

“Kenapa?”
“Sorry?”
“Kenapa masih perhatian sih? Bikin aku gak bisa move on aja!”

Baik Juna ataupun Andin sama-sama terkejut. Juna terkejut karena ternyata Andin sedang berusaha beralih hati darinya. Dan…bagaimana bisa gadis itu melontarkan kalimat memalukan seperti itu?

“Andin? Kok lo masih nyuruh gue jemput sih? Kan ada Juna!” Suara kakaknya menyentakan Andin kembali pada kefanaan dunia yang kini amat memalukan.

***

Malam minggu selalu jadi malam yang menyenangkan bagi Andin. Selalu ada Juna yang datang ke rumah dengan DVD baru dan sekantong makanan ringan. Datang sehabis maghrib dan pulang jam sembilan malam. Sesungguhnya mereka tidak pernah menghabiskan malam minggu di luar rumah, selama setahun ini.

Dan malam minggu kali ini amat berbeda. Tidak ada mereka yang bersama lagi.

“Yah, wreck it Ralph. Jangan ini dong. Males ada si felixnya.” Andin bertambah lemas dan tidak bergairah ketika Gemi memutar film animasi besutan Disney Pixar itu. Dulu memang Andin suka, tapi tidak saat ini. Tidak karena membawanya ke masa lalu. Ugh, ujung-ujungnya Andin jadi tidak bisa Move on kan.

“Kenapa? Bikin inget doi lagi?”

Tuh kan … sama sekali tidak ada yang mendukung Andin pada saat fase-beralih-hatinya.

Gadis itu memutuskan untuk bungkam saja dan menikmati –yang sebenarnya tidak benar-benar dinikmatinya– bagaimana karakter-karakter fiksi dalam layar kaca itu beraksi. Andin sudah menonton ini jutaan kali, dan ini adalah kali pertama Andin benci Wreck it Ralph.

Kenapa?  Ya tentu saja karena Juna.

“Apalah Disney tanpa Pixar.” Gumaman Andin yang lemah nayatanya masih bsia di dengar Gemi. Dan sialnya, Gemi selalu bisa membuat Andin marah dan jengkel.

“He-em. Apalah Andin tanpa Juna. Butiran Debu?”

Gadis dengan bibir tipis itu benar-benar naik pitam. Ia merasa tidak ada satupun mahluk waras di dunia yang memihaknya. Air mata sudah memupuk di kelopak mata besarnya. Ternyata begini rasanya cinta tidak bertepuk, hampa dan menyakitkan.

“Loh, jangan nangis dong, Din. Jadi jomblo gak seburuk yang lo kira kok!”

“MAMA, KAK GEMI RESEEE!”
***
Tekad Andin sudah bulat, Andin akan membuktikan pada Juna bahwa dirinya bisa bertahan dengan atau tanpa masa lalu mereka. Bukan, Andin tidak akan benar-benar menggelinding dari Everest lalu menjadi bola salju kemudian menghantam Juna, Bukan. Dia hanya akan bersikap biasa seolah masa lalu hanya bayangan yang bahkan tidak bisa tersentuh dan kasat mata.

Seperti kali ini. Dengan sengaja Andin mengambil tempat duduk di samping Juna yang tengah sibuk dengan esiklopedia astronominya. Yang Andin tahu, Juna memang berniat berkuliah di jurusan Ilmu astronomi.

Merasa Juna tidak menyadari keberadaannya sama sekali, Andin dengan sengaja menyimpan bukunya dengan kasar agar menimbulkan suara yang bisa mengalihkan perhatian –oke– mantan pacarnya itu.

Setelah beberapa detik, gadis itu tidak melihat Juna memutar kepalanya satu derajat pun. Gila. Juna spesies apa sih? Kok gak peka?

Dengusan kasar Andin akhirnya terlepas juga. Satu detik kemudian Andin berdehem, berakting membersihkan tenggorokannya yang sama sekali tidak gatal. Sudut matanya melihat Juna yang masih tidak bereaksi, pemuda itu hanya menggerakkan tangannya untuk membuka lembaran ensiklopedianya.

Ketidakpedulian Juna itu membuat hati Andin hampir menyentuh lantai dan terinjak langkahnya sendiri. Tanpa sadar gadis itu menunduk, merasa bodoh.

Bukankah itu artinya Juna memang sudah tidak peduli dengan keberadaannya? Lantas kenapa Andin harus repot-repot membohongi dirinya sendiri juga Juna tentang dia yang baik-baik saja setelah hubungan mereka berakhir? Ironi yang mengerikan, tentu saja.

Bibir bawahnya digigiti tanpa sadar. Kebiasaan Andin jika hampir putus asa.

Matanya berubah lembab, pandangannya kehilangan fokus. Tidak ada yang tahu Andin tengah menyembunyikan tangisnya kali ini. Dia tidak menangisi Juna, tidak menangisi hubungan mereka yang kandas. Dia hanya menangisi dirinya sendiri yang tidak bisa bergerak menjauh secepat Juna.

Juna seperti telah jatuh cinta, kemudian bangkit tanpa cinta. Sedangkan Andin, setelah jatuh cinta, gadis itu harus menelan pahitnya jatuh tanpa dicinta.

“Bahkan, angin pun dianggap elemen yang paling setia karena selalu bergerak dan melaju sesuai waktu…”

Kalau tidak salah dengar, Andin mendengar suara Juna. Tepat di sampingnya. Di samping telinganya. Perlahan gadis itu memutar kepala beberapa derajat, hanya memastikan Juna masih ditempatnya atau tidak.

“Kenapa kamu gak nganggap aku kayak angin yang bakal selalu setia, bergerak, maju, mundur, muter bahkan kayang ke pelukan kamu?”

Setelah mata mereka bersirobok, dan setelah Juna berhasil mengucapkan kalimat setengah puitis yang dihafalnya semalaman pada Andin, gadis itu bergeming. Seolah lupa cara bernafas, seolah lupa bagaimana detak jantung orang normal pada umumnya.

“Selamat ulang tahun, Andin sayang. Gimana rasanya putus sama aku beberapa hari ini? Aku sih gak enak.”

Hari ulangtahun? Maksudnya? … Andin ulangtahun hari ini? Memangnya ini … apa?

Detik berikutnya Andin bisa melihat raut jenaka di wajah Juna. Matanya yang seolah tertawa dan seringainya yang menggemaskan. Jangan bilang kalau semua ini hanya …

“Sialan, kamu jailin aku!”

… Kejutan Juna untuk Andin di hari ulangtahunnya.

“Tapi seneng kan aku cuma pura-pura?”
“Gak.”
“Iya, kamu seneng, Sayang.”
“Gak seneng!”
“Iya.”
“Enggak!”
“Oh berarti aku harus putusin kamu beneran biar seneng?”
“Jangaaan!”

The End.

Catatan Kaki
(*) Film Hachiko Monogatari (Jepang: 1987)
(**) Anime Movie Sprited Away (Jepang: Hayao Miyazaki, 2001)

Aaaah, seneng banget bisa posting sesuatu lagi di sini. Ayo yang sudah baca, kasih aku kripik pedas biar maknyus! :D Semoga suka! #ketjup