Beberapa orang pria dan
wanita berusaha menyembunyikan diri di balik pohon-pohon yang menjulang kokoh
di sekitar mereka. Sekilas memang tak nampak apapun. Tapi jika kau lihat lebih
jelas, kepala-kepala manusia berwatak keras dan enggan mengalah menyembul dari
balik pohon-pohon besar disana. Masing-masing membawa senjata. Ada senapan
hingga bambu berujung tajam. Ada pria dan juga wanita. Ada yang ingin berteriak
menyerang, dan ada yang ingin berteriak meminta pulang.
Seorang pria dengan senapan panjang ditangannya,
mengendap maju. Matanya nyalang menatap apapun disekitarnya. Beberapa detik
kemudian terdengar suara senapan dibunyikan, dan si pria tergolek jatuh ke
tanah, dengan dada bersimbah darah.
Belum genap tiga detik, mereka kembali saling menyerang.
Peluru berterbangan, seolah hanya kapas yang bahkan tak akan kuat menembus
bagian tubuh. Tapi ini bukan Kapas, ini …
“CUT! CUT!”
Ini bukanlah sebuah keadaan nyata yang sedang terjadi.
Seorang pemuda dengan topi merah, berteriak sambil
berdiri. Berusaha mengkoordinir teman-temannya yang lain agar mengikuti
intruksi yang diberikan.
“Gimana sih, Yud! Lo harusnya biarin Kara dulu mapah
Dimas, baru mulai nembak!”
“Lah! Orang Kara nya kok yang kelamaan gerak! Gue cuma
improvisasi!” Yudi mengelak, lalu duduk di bawah akar pohon yang menyembul
keluar permukaan tanah, tangannya bergerak seolah-olah kipas, dan mengipasi
dirinya sendiri. “Lo mending kasih ceramah lo itu ke si Kara deh. Masih kaku
tuh anak, Dir!”
Dira dan kawan-kawan adalah kelompok B dari Lab Movie di
SMA Bina Bangsa 70. Ia dipercaya berperan sebagai sutradara, director sekaligus
penulis naskah dalam Film yang digarapnya kali ini.
Lab Movie adalah salah satu ekskul yang ada di SMA Bina
Bangsa 70. Club ini tengah mengadakan acara rutin club, salah satunya adalah
ini. Membuat Film.
Anggota Club yang ada, di bagi rata menjadi dua kelompok.
Dan masing-masing kelompok harus membuat sebuah film, dengan masing-masing team yang telah ditentukan.
Dira yang kali ini berperan sebagai director menatap Kara dengan ekspresi tak terbaca. Beberapa kali Take beberapa kali juga gadis itu
melakukan kesalahan. Lalu karena tidak tega melihat ekspresi polos yang
ditunjujan gadis itu, Dira melemparkan kekesalannya pada orang lain.
“Ini yang kebagian Casting
siapa sih?” Lalu seorang gadis berambut serta berkacamata minus, mengacungkan
tangan lalu berdiri di depan Dira.
“Gue, yang kebagain Casting
pemain!” Dibelakang Dira, ada Putri yang kini mengacungkan tangannya dengan
santai. Tangannya yang lain memeluk buku beserta pensil berwarna pink norak.
Merasa akan menjadi sasaran kekesalan Dira, Putri maju mendekati Cowok itu.
“Sorry, Dir. Gue harusnya gak nempatin Kara di peran dia yang sekarang, Tapi,
Kita gak ada pemain lain. Dan Kara adalah satu-satunya cewek yang tersisa.”
Mendengar penjelasan Putri, Dira merasa semakin kesal
sekaligus pusing memikirkan jadwal Shooting yang molor dan pemain yang masih
berantakan. Sekarang, dalam hatinya, Ia jadi harus menyalahkan Kara yang
benar-benar kurang maksimal dalam berakting.
“Kar, tolong bantuannya dong. Dari tadi lo salah mulu.
Putri udah suruh lo baca Scriptnya kan?”
Anggukan kepala Kara yang alakadarnya membuat Dira
mendidih. Ia menjatuhkan dirinya di kursi sutradara. Lalu mengiterupsi semuanya
untuk kembali pada posisi masing-masing.
Helaan nafas Dira dan kelelahan yang nampak di wajah
cowok itu terbaca dengan mudah oleh Kara. Merasa bersalah Karena menyusahkan
orang lain sekaligus senang karena berhasil membuat Dira kelimpungan.
Sedangkan Dira dengan tanpa sadar, telah mengikrarkan
kekesalannya sendiri tentang pekerjaannya yang akan menjadi sangat sulit karena
kehadiran Kara.
Seperti angin yang tidak hanya menyejukan. Kehadiran Kara
juga tidak hanya membuatnya nyaman, tapi sekaligus kesal. Kara seperti terumbu
karang, Keras. Dan Ia seperti ombak yang terus berusaha menerjangnya.
***
Shooting berakhir agak cepat karena Kara cukup bisa
bersikap koopertaif setelah kejadian tadi. Beberapa orang sudah akan
meninggalkan lokasi Shooting hari ini, dan beberapa orang lain masih
membereskan kamera video beserta kabel-kabel yang terhubungnya. Dan Kara ada di
bawah pohon. Duduk berselonjor kaki, mengibas-ngibaskan tangannya pada permukaan
leher.
Keringat begitu jelas menempel di wajah Kara, Ada sapu
tangan di kantong celana Dira saat ini. Ia akan menyapukannya pada wajah Kara.
Tapi tidak sekarang. Nanti, setelah tidak ada seorangpun yang dapat melihatnya.
Demi apapun yang akan menyangkut keselamatan nyawanya
saat ini, Dira benar-benar bingung pada posisinya sendiri saat ini. Ia tidak
bisa terus berlaku sedemikian rupa dengan kesan tidak ada apa-apa dengan Kara.
Tanpa seorangpun yang mengetahui, Dira menjalin hubungan
dengan Kara. Kalian bisa menyebut Kara adalah pacar Dira dan cowok itu akan
mengakuinya, tetapi tidak di sekolah, tidak di depan teman-temannya.
Ada perasaan kesal yang menyusup ke dalam relung hatinya
saat ini. Ia kesal pada dirinya sendiri yang masih takut mengakui Kara sebagai
pacarnya.
Kara adalah gadis biasa-biasa saja di sekolah. Namun,
bukan hal ini yang membut Dira akhirnya menjalin hubungan dibelakang
teman-temannya dengan Kara. Mungkin konyol, tapi .. Kara adalah Adik dari musuh
bebuyutannya. Bisa apa dia? Ia tidak bisa begitu saja menampik perasaan yang
selalu datang beriringan dengan senyuman Kara saat itu, Gadis itu juga baik,
dan … oke, ia manis dan lesung pipi gadis itu selalu membuat Dira gemas setiap
saat.
“Ngelamun aja!”
Tiba-tiba Kara sudah ada di hadapannya. Gadis itu tetap
dengan wajah berkeringatnya. Ditangannya masih ada sapu tangan yang semula akan
ia sapukan pada pipi pualam gadisnya itu, Tapi … yang terjadi kemudian adalah
Dira meremas sapu tangannya lalu memasukannya kembali ke kantong celana.
“Ayo pulang!”
Suara Kara kembali menyentaknya.
“Diraaaaaaa, ih nyebelin dari tadi gak di dengerin!”
Dira meraih tangan Kara, Menyatukan jemari mereka lalu
sedikit menarik Kara berjalan. Ini bukan hal yang biasa bagi mereka, dan saat
ini Dira setengah mati menahan debaran jantungnya sendiri.
“Dir, mending di lepas aja. Nanti ada yang lihat loh!”
Hanya satu detik ia mencerna apa yang dikatakan Kara,
“Gapapa.”
***
Suasana ruang makan malam ini sedikit tegang dengan Papa
yang masih menunggu jawaban Kara atas pertanyaan yang dilontarkannya tadi.
“Kara, kenapa diem aja? Ayo dong jawab Papa. Kamu gak
perlu takut kalo gak salah!”
Rupanya, Gilang, Kakak semata wayang Kara mengadu pada
Papa tentang Kara yang sukses di hukum guru karena ketahuan membolos saat jam
pelajaran.
Sebenarnya saat itu, tindakan Kara tidak bisa dibilang
membolos juga sih, Karena saat ia kembali dari toilet dengan sisa jam istirahat
pertamanya, Kara melihat Dira yang berada di UKS. Saat itu Dira berbaring di
salah satu tempat tidur, tanpa mengenakan selimut dan kakinya yang telanjang
terlihat dari balik pintu yang terbuka.
Niatan Kara saat itu hanya ingin melihat kondisi Dira lalu kembali ke kelas
setelahnya, tapi, Dira malah menahannya di sana. Di UKS yang dingin dan mereka
malah pacaran. Naasnya, saat itu bu Maria, guru ekonomi yang mengajar di
kelasnya mengunjungi UKS untuk mengambil Obat sakit kepala, dan tertangkap
basahlah mereka …
Seperti angin yang berhembus, isu tentang seorang siswi
yang ketahuan membolos dan tertangkap basah tengah pacaran di UKS pun menyebar,
Gilang rupanya mendengar berita itu juga dan malah langsung mengadu pada Papa
dan Mama.
Ini sih bukan
bolos, tapi penculikan! Pembelaan Kara terhadap dirinya sendiri hanya
bergema dalam hati, meraung-raung tak ada yang mendegar.
“Lo .. gak beneran pacaran sama di Dira kan?”
Kali ini suara menyebalkan milik Gilang yang terdengar
ditelinganya. Pertanyaan Gilang malah membuatnya kontraksi!
“Aku gak niat bolos kok, Pa, Ma.”
“Terus?” Semua orang di meja makan saat itu melontarkan
pertanyaan singkat yang sama dengan bersamaan.
Serius, ini adalah introgasi yang bisa berubah menjadi
eksekusi jika Kara salah berbicara, Lebih baik ia ….
“Aku pusing waktu itu! Dan kebetulan ada Dira, dan gak
sadar malah ngajak ngobrol. Bu Maria cuma salah paham!”
…Berbohong.
Dengan kebohongan Kara yang sama sekali tidak jelas itu,
Papa dan Mama langsung percaya begitu saja padanya. Tapi tidak dengan Gilang.
Kakanya yang jago basket itu malah terus melemparkan tatapan tajam menelisik
pada Kara.
Dalam hatinya, sisi lian dari diri Kara yang lain
memberontak, menyanggah segala kebohongannya. Dan ia sadar hal ini adalah awal
untuk beribu kebohongan lain yang akan terus dilontarkannya.
“Ngapain lo liatin gue gitu banget!” Sentakan Kara
menjadi cukup kasar karena Gilang yang terus melihatnya dengan intens.
“I know you’ve lied, sayang.”
“Enggak ih!”
“Sudah dong, Gilang, Kara. Kita makan sekarang!”
***
Selesai Shooting badan Kara benar-benar terasa pegal.
Walaupun tidak berperan banyak di Project kali ini, Tapi rasanya tetap sama
seperti saat ia menjadi Pemain utama dalam project sebelumnya.
Buku cetak besar berjudul Geologi nampak menyembul
diantara tumpukan buku lainnya. Posisinya seolah-olah menggoda Kara dengan
ingatan 25 soal essay di halaman yang ia lupa. Penampakannya terdengar seperti
teriakan yang kemudian meronta-ronta seperti ingin segera dikerjakan, Tapi
tubuhnya… Argh!
“Ahhh, gue butuh jurus seribu bayangan!”
“Belajar sana sama Naruto!”
Keluhan Kara langsung ditimpali Gilang yang ternyata
telah berada di dalam kamarnya. Kakanya itu baru menutup pintu dan berjalan
menuju balkon –Yang konon menjadi tempat Favorite
kakaknya.
Gerakan-gerakan Gilang yang kemudian terlihat mengambil
sesuatu dalam kantong celananya mengundang kecurigaan Kara. Malam-malam
sebelumnya Gilang juga masuk ke dalam kamarnya, diam-diam lalu merokok di atas
balkon.
Dan benar saja,
yang kemudian di keluarkan pemuda itu adalah sebungkus Rokok!
“Anyway, Kamar gue bukan smoking area di rumah ini. Jadi
kenapa lo harus ngelakuinnya di kamar gue?!” Protes Kara di akhiri dengan
telunjuk dan ibu jari gadis itu yang
menjepit hidungnya cukup kecang. Menahan asap rokok yang masuk kedalam saluran
pernapasannya.
“Kamar lo strategis sih, balkonnya bikin asapnya di seret
angin ke luar.”
Jawaban Gilang yang dilontarkan dengan begitu santai
memancing kemarahan Kara. Kakaknya itu mulai menjengkelkan semakin hari, entah
apa sebabnya. Perilakunya juga semakin buruk dan Kara hampir malu mengakui
Gilang sebagai Kakaknya di sekolah.
“Sejak kapan sih lo jadi pecandu rokok gini! Mau mati cepet-cepet
gak usah buang duit!”
Mendengar ucapan keras Kara –yang jujur saja menyentakan
hatinya, Gilang memutar badan ke arah Kara saat ini. Matanya menatap tajam mata
Kara yang juga tidak segan-segan menantangnya. Sebenarnya Kara tidak seperti
ini di luar rumah. Ia tidak memberontak ataupun marah saat masih SMP di bully
habis-habisan oleh teman sekelasnya. Sekarang juga Kara bukan tipe orang yang
supel dan mempunyai banyak teman. Kara itu jago kandang. Hanya berani
memberontak dan marah pada Gilang.
“Kebanyakan ngomong juga berpotensi tinggi mati muda!”
Akhirnya hanya sepanjang Kalimat itu yang di ucapkan Gilang. Cowok itu langsung
menyesap kembali rokoknya, menghembuskan asapnya pelan.
Jujur saja rokok adalah hal baru untuknya. Awalnya hanya
mencoba, tapi ternyata Rokok bisa membuatnya lebih tenang. Selama orangtuanya
tidak tahu Gilang mulai merokok, nampaknya aman.
Sementara Gilang yang masih merokok di balkon, Kara
memainkan ponselnya. Kemarin ia baru saja mengunduh The Sims 3 di ponsel
pintarnya. Lumayan bagus dari pada Fruit ninja yang sudah ia mainkan seribu
kali.
Baru beberapa menit, saat Kara baru saja membuat sims
dengan refleksi dirinya sendiri, ponselnya bergetar, dan itu adalah pesan
masuk. Ternyata dari Dira. Kebiasaan cowok itu memang mengiriminya pesan
sehabis waktu makan malam.
Malam cantik, coba
keluar deh, langitnya lagi bagus.
“Oh, ya. Lo gak bener-bener ada hubungan sama si kampret
Dira kan?”
Mampus!
***