Gold Hold [Chapter 6]




Tengah hari Gabby baru tersadar dan menemukan sang mama berada di sampingnya dengan wajah lelah dan kantung mata yang menghitam. Seluruh bagian tubuhnya terasa sakit dan sulit sekali digerakkan. Dia tidak ingat apa-apa sebelumnya, kejadian apa yang menyebabkan dirinya tersaruk di sini dan membuat sang mama begitu khawatir.

            Sampai sekarangpun belum ada yang memberitahunya apapun. Maria malah sibuk memotongi buah untuknya dengan tenang sedangkan Johan belum terlihat sama sekali. Maria mengatakan beliau dengan terpaksa harus pulang pagi-pagi sekali karena ada meeting yang tidak bisa ditunda. Selain itu, tadi Gabby sempat melihat William dengan anak-anaknya yang kini juga sudah pulang. Semua anggota keluarganya begitu terlihat khawatir. Tidak terjadi apa-apa dengannya bukan?

            Maria menghampiri Gabby dan duduk di sisi ranjang lengkap dengan piring berisi buah yang baru saja selesai di kupasnya. Tentu saja ia ingat bagaimana Gabby sangat menyukai buah tanpa kulit.

            “Sudah, jangan pikirkan apa-apa dulu, coba makan ini.”

            Dengan garpu yang juga disodorkan Maria, Gabby mengambil sepotong pir dan mengunyahnya dengan perlahan. Bahkan rahang dan giginya pun kini ikut terasa sakit karena begitu kerasnya digunakan.

            Gabby merasa ada yang salah dengan tubuhnya sendiri.

            “Ada yang mau Gabby tanyain, Ma.”

            “Hm? Apa?”

            Dengan jelas Gabby mengingat bahwa malam sebelumnya dia pergi bersama Yuma untuk mencari sample bahan pakaian yang akan dibuatnya, tapi setelah itu dia benar-benar tidak ingat apa yang terjadi. Apakah jika dia bertanya, Maria akan menjawabnya? Entah kenapa Gabby merasa takut bahkan untuk sekedar bertanya.

            “Gabby ingat, sebelumnya Gabby pergi sama salah satu karyawan Golda. Tapi setelah itu, Gabby bener-bener gak ingat apa-apa. Sebenarnya kenapa, Ma?”

            Pagi-pagi sekali polisi datang dan mengintrogasi Yuma serta Delphine yang saat itu memang sengaja tetap tinggal di rumah sakit untuk memberikan keterangan. Johan dan William bersikeras untuk mencari tahu siapa pelaku di balik kecelakaan yang menimpa Gabby. Jelas mereka –bahkan siapapun– tahu bahwa ini adalah sebuah kecelakaan yang direkayasa, karena setelahnya pengemudi jeap yang menabrak Gabby melarikan diri begitu saja. Kebetulan sekali Yuma ingat betul plat nomor dan cirri-ciri mobil itu, sehingga polisi tidak perlu menungu lama untuk melacak siapa si pelaku.

            Meski sampai saat ini, Maria pun belum mendapatkan kabar apapun dari sang suami ataupun William. Bukan kepalang gelisah di hatinya, rasanya seperti menunggu sumbu Bom terbakar sedikit demi sedikit, menjalar lalu meledak di depan matanya. Dirinya memang tidak tahu apa-apa, tapi tetap saja firasatnya merasakan ada sesuatu yang aneh dan tidak pada tempatnya. Seperti Mereka berkonspirasi di belakangnya dengan suara keras dan memancing.

            Sudahlah, Jangan kalian pikirkan.

            “Kamu benar-benar tidak ingat?” Ada jeda karena Maria melihat Gabby yang menggeleng amat sangat yakin di depannya. “Kamu kecelakaan, sayang. Papa dan Willy sudah melaporkan kejadian ini pada polisi, tapi sampai saat ini belum ada kabar.” Anak perempuannya itu terlihat khawatir dan sama gelisahnya. Tangannya mengusap rambut Gabby hingga ujung dan melakukannya berulang-ulang. “Sudah, tidak usah dikhawatirkan. Papa dan Willy pasti menemukan siapa yang berniat mengusik kamu.”

            “Terus? Yang bawa Gabby kesini siapa, Ma?”

            “Yuma ada di tempat kejadian dan langsung menelpon ambulance. Tapi saat Mama tiba di sini, Delphine juga ada.”

            Cukup Maria menjelaskan apa yang telah terjadi. Gabby dapat dengan mudah mengambil kesimpulannya. Dan seharusnya ia berterimakasih banyak pada Yuma dan Delphine yang sudah menyelamatkan nyawanya. Dia memang tidak tahu apa-apa, tapi seperti yang dirasakan Maria, Gabby pun merasa hal ini adalah sebuah rencana. Tidak tahu mengapa, hatinya terkikis dan terkikir habis oleh gelisah dan seperti mengambang di atas permukaan air setelahnya.

            “Ma?”

            “Ya?”

            “Bisa telfonkan Willy dan memintanya datang ke sini?”

***

            William sedang berada di kantor polisi ketika Maria menelfonnya dan memintanya datang ke rumah sakit. Kecelakaan yang menimpa Gabby adalah sebuah kecelakaan yang terencana dan polisi sedang berusaha malacak pelakunya dengan beberapa bukti yang ada berikut kesaksian Yuma. Selain memikirkan siapa pelakunya William juga sibuk menganalisa apa motif si pelaku melakukan semua ini pada Gabby.

            Semuanya jelas terlihat abu-abu dan berkabut. William tidak bisa melihat dengan jelas saat ini karena kadangkala memang manusia bersifat seperti bunglon, berubah-ubah dan bisa menyamarkan diri dengan sangat baik. Apa yang bisa dilakukannya saat ini? Tidak ada kah?

            Setidaknya kamu bisa menenangkan Gabby, William.

            Saat tiba di rumah sakit, dokter sedang memeriksa keadaan Gabby setelah dipindahkan ke ruang inap biasa karena kondisinya yang semakin membaik. Akibat kecelakaan semalam, tulang rusuk Gabby retak dan perlu pemulihan yang agak lama. Oleh karena itu Gabby sering merasa kesakitan ketika badannya digerakan dengan agak keras.

            Tunggu? Lalu bagaimana kabar Delphine? Tiba-tiba saja William teringat gadis itu setelah semalam Delphine tertidur di sampingnya demi menunggu polisi yang akan melakukan investigasi. William ingat betul bagaimana hangatnya telapak tangan Delphine saat dirinya menggenggam erat tangan mungil itu pun dengan getaran-getaran mendebarkan yang seakan tersalur lewat nadinya dan membuat jantungnya berdebar begitu cepat.

            Debaran-debaran itu membuat William panik dan senang dalam waktu bersamaan. Lagi pula, mengapa Delphine malah berperan sebagai ombak yang mengoyak hatinya seperti ini? Meski William berani mengakui hal ini sedikit mengasyikan.

            “Willy? Lo denger gue ngomong gak sih?”

            Setengah mendengar setengah mengabaikan, sebenarnya. Bagaimana tidak? Selain Delphine yang memenuhi pikirannya sejak tadi, Gabby malah bercerita panjang lebar tentang kejadian kemarin yang sama sekali tidak membantu penyelidikan polisi. Jadi tolong jangan salahkan William.

            “Hm.”

            “Maksud ‘hm’ lo itu apa?”

            “Hm, gue gak denger lo ngomong.”

            “Ish!”

            Gabby hanya bisa mengumpat di tempatnya karena tidak mampu bergerak banyak. William ini memang berstatus duda, tapi kalau masalah kepribadian, laki-laki ini amat-sangat kekanak-kanakan dan hal itu selalu membuat Gabby muak dan kewalahan.

            “Tadi sebelum ke sini, lo dari kantor atau dari tempat lain?”

            “Kantor. Excello lagi kebanjiran tender, tapi demi lo beberapa rapat direksi gue cancel.” Bohong. Sepakat dengan Johan, William merahasiakan penyelidikan ini dari Gabby karena kondisinya.

            “Serius lo? Kenapa gak bilang lo lagi sibuk?”

            Dengan tenang William mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jas dan mengaktifkan kamera, diam-diam mengambil gambar Gabby yang tanpa make up dan pucat. “Gak mungkin juga gue nolak perintah Mama.” Setelah memasukan kembali ponselnya ke dalam saku, William melihat Gabby yang benar-benar polos tanpa make up yang mengekspose wajah oriental kakaknya itu. “Lo mau ngomong apa sih sebenernya?”

            “Gue cuma mau minta tolong sama lo buat ngontrol Golda selama gue di sini.” Pelan-pelan Gabby menghela nafas dan memandangi William dengan tatapan memohon. “Gak tahu kenapa akhir-akhir ini gue khawatir banget sama Golda.”

            “Emangnya lo gak punya orang yang bisa dipercaya selain gue?”

            Gelengan kepala Gabby kemudian mengundang decak kesal William. Mengapa Gabby mendadak seperti ini? Bukankah kakaknya itu sangat menyukai Delphine karena kepribadiannya? Kenapa Gabby tidak mempercayakan Golda padanya untuk beberapa saat? Kenapa harus William yang jelas-jelas sibuk setiap hari?

            “Gue Cuma butuh lo buat ngontrol persiapan GFS kok. Takutnya, persiapannya malah molor gara-gara gue yang kayak gini.”

            Kemudian William mengangguk seolah mengerti dan memandangi sang kakak dengan lembut, setelah Gabby membalasnya dengan tak kalah lembut, William berbisik menenangkan, “Oke, tenang aja. Gue bakal mainin Golda untuk sementara.”

            “Satu lagi.” Dengan dahi mengernyit William memandangi Gabby dan membuatnya segera menandaskan kalimatnya sendiri, “Tolong jemputin Delphine dan Yuma ke sini dong, Gue butuh ketemu mereka.”

            “Hah?”
***

            Delphine tidak ada di Golda. Salah satu karyawan mengatakan gadis itu tidak datang ke kantor hari ini dan tanpa ada kabar, begitupun dengan Yuma. Apa mereka sakit? Gara-gara semalam? Oh tentu saja.

            Alamat rumah Delphine berhasil didapatkannya dari salah satu Karyawan yang begitu baik. Entah siapa namanya tadi, William tidak mampu mengingatnya. Yang jelas dan perlu kalian ketahui, William sudah berdiri di depan rumah gadis itu saat ini sejak lima belas menit yang lalu. Ya, selama itu William hanya memandangi sebuah rumah sederhana yang ditinggali Delphine bersama keluarganya. Rumah itu terlihat nyaman karena banyak sekali tanaman di depannya. Nampaknya, nyonya rumah ini pandai berkebun.

            Bukan itu masalahnya, tentu saja.

            Beberapa kali Willian sukses menggigit bibir dan meremas kemudi volvonya dengan gemas. Keterdiamannya saat ini berdasarkan dua faktor, tidak siap bertemu Delphine dan tidak siap merasakan debaran ajaib mengasyikannya lagi saat ini. Bagaimana tidak? William sukses mencium Delphine kemarin malam dengan sedikit kurang ajar dan saat ini William harus memperlihatkan wajahnya kembali di depan gadis itu? Oh tidak, betapa memalukannya William. Tidak bisa di percaya. William malah akan terlihat seperti orang yang mengejar-ngejar Delphine kemudian mengemis cintanya. Walaupun sebenarnya iya.

            Kaca pintu mobilnya diketuk seseorang, dengan jelas William bisa melihat seorang perempuan berada di dekat pintu mobilnya dengan kepala yang hampir menempel dengan kaca demi melihat wujud William di dalamnya. Mau tidak mau William harus turun dari pada dicurigai sebagai spy karena terlalu lama berada di depan rumah orang lain.

            “Maaf, tapi apakah anda berkepentingan dengan salah satu penghuni rumah ini?”

            Si gadis dengan rambut bergelombang panjang, kaos kedodoran dan celana pendek kotak-kotak itu keluar dari pintu pagar rumah sepertinya. Oh, mungkin ini adik Delphine. William berteriak senang dengan kesimpulannya sendiri.

            “Saya William. Delphine-nya ada?”

            Si gadis mengernyitkan dahi seolah bingung dengan jawaban dan pertanyaannya barusan. Apakah ada yang salah dengan kosa katanya? Atau justru William salah rumah? Huh. Sepertinya tidak.

            “Kak Delphine? Om ini, temennya Kak Delphine?”

            Tunggu? Apa katanya? Om? Memangnya William terlihat setua apa?

            “Hm.”

            Lagi-lagi perempuan itu memandangi William dengan dahi mengernyit. Memangnya kenapa? Tidak percaya Delphine berteman dengan orang setampan William atau tidak percaya Delphine berteman dengan orang setua William?

            “Jadi kakak kamu ada atau tidak?”

            “Err, masuk dulu deh, Om.”

***

            Alexandra menemui Delphine yang sedang berkutat dengan tablet pc-nya di dalam kamar. Sedari tadi dirinya memang membantu tantenya di dapur untuk mempersiapkan makan malam dan tidak berinteraksi dengan Delphine yang sedang sakit. Tapi sekarang, mau tidak mau dirinya harus memberitahukan keberadaan William di ruang tamu dengan Delphine yang harus segera keluar dan menemui laki-laki itu.

            “Kak, Ada tamu tuh. Katanya temen Kak Delphine.”

            Delphine yang saat itu tengah berkonsentrasi penuh dengan apa yang dilakukannya hanya bergumam tidak jelas. Karena kesal, Alexandra merebut tablet pc yang tengah di pegang sang kakak dan langsung mematikannya.

            “Apaan sih?”
            “Ada tamu, temen lo tuh.”
            “Temen? Siapa?”
            “William.”
            “Siapa?”

            Buru-buru Delphine merapikan rambutnya dan memandangi Alexandra yang tengah menjelaskan kedatangan William. Laki-laki itu ada di sini? Untuk apa? Bagian ini sama sekali tidak diceritakan Alexandra karena dia sendri pun tidak tahu. Dengan cepat Delphine menuju ruang tamu dan menemukan William tengah duduk di salah satu sofa dengan nyaman.

            Ketika berada di tangga Delphine sengaja memperlambat jalannya agar tidak terdengar William. Saat ini Delphine butuh memandangi William yang sedang sendiri dan mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan laki-laki itu. Tapi tidak berhasil. Tentu saja Delphine gagal karena dia bukan Edward Cullen yang bisa membaca pikiran orang lain.

            Tepat di anak tangga terakhir, William melirik ke arahnya dan di susul dengan kerutan di dahi. William mengenyitkan dahi pada Delphine dan gadis itu malah dibuat salah tingkah karena terus dipandangi seolah-olah dirinya adalah lukisan yang dipajang di sebuah gallery besar milik pelukis terkenal. Tunggu. Delphine tidak tahu hal itu adalah sebuah pujian atau malah sebaliknya.

            Tiba di hadapan William, Delphine tetap terdiam karena laki-laki itu juga yang masih membatu. Ada apa dengan semesta sebenarnya?

            “Ehm.”

            Tidak ada respon berarti dari William yang saat ini malah membuang pandangan dan ikut berdiri di depannya.

            “Kamu ada perlu sama saya?”
            “Hm.”

            Apa maksudnya dengan ‘Hm’? Kadang Delphine tidak mengerti mengapa laki-laki harus bertingkah lebih cool dari biasanya ketika berada di depan lawan jenis demi menarik perhatian. Benar-benar bisa ditebak jika saat ini William setangah mati menahan rasa kagumnya pada Delphine. Dan kalmat terakhir tadi adalah ungkapan Delphine yang menjijikan.

            Masih dengan kesal karena jawaban William, Delphine menjatuhkan diri di sofa dan melipat tangan di dada. Jika tidak ingat Mama yang berpesan untuk selalu menghargai tamu, Delphine sudah menedang William jauh-jauh dari hadapannya sedari tadi.

            Dibanding dengan mengutarakan maksudnya pada Delphine, William malah sibuk memadangai Delphine yang saat itu hanya mengenakan t-shirt satu nomor kebesaran dan training ringan yang panjang.

            “Gabby suruh saya jemput kamu.”
            “Eh?”

            “Akibat kecelakaan kemarin, tulang rusuknya retak, perlu pemulihan maksimal dan untuk beberapa hari ini kakak saya akan ada di rumah sakit. Kata dokter, sedikit saja Gabby terlambat mendapatkan pertolongan, akibatnya akan lebih fatal. Dan saya rasa Gabby ingin bertemu kamu untuk berterimakasih.”

            Bernarkah separah itu?

            Sebenarnya ada hal yang sedikit disembunyikannya dari semua orang tentang kejadian kemarin. Ada hal yang ganjil dan masih menganggu pikirannya hingga saat ini. Dipandanginya William yang kini memandangnya tepat di manik mata. Tidak mungkin juga Delphine mengutarakan keganjilannya pada William. Bagaimanapun William telah membangun benteng perang dan membombardirnya dengan berbagai serangan kemarin.

            Wajah William mendadak berubah menjijikan ketika Delphine mengingat kejadian kemarin.

            “Saya bisa membawa kamu sekarang?”
            “Kamu pikir saya barang?”
            “Maksud saya buk –“

            Mama datang sebelum William merampungkan ucapannya dan membuat suara William hilang kemudian menggantung di udara. Laki-laki itu berdiri dan tersenyum pada Mama sedangkan Delphine yang kebingungan mengkuti William dam mendapati Mamanya yang masih berbalut celemek warna norak tengah berdiri dan tersenyum pada laki-laki itu.

            “Loh, ada temen kamu, Del? Ajak makan bareng yuk?”

            Mampus. Kenapa Mama malah mengajak William makan bersama? Bahkan Delphine enggan berlama-lama dengannya. Mengapa semesta selalu  mengabaikan perasaan dan mengingkari Delphine ketika berada di dekat William? Adilkah ini? Jelas tidak.

            Tanpa banyak berkata lagi Delphine mengekori sang mama. William jelas kebingungan, tetap duduk di tempatnya atau mengikuti Delphine berjalan. Apakah tadi itu sejenis ajakan? William benar-benar tidak pernah di jamu sedemikian acuhnya oleh tuan rumah. Jika William di jamu oleh beberapa kerabat kerjanya, setidaknya ada chef keluarga yang menyajikannya berbagai makanan bintang lima dan pelayanan maksimal seperti ketika William menginap di Marriot Korea beberapa bulan yang lalu.

            Lalu apakah ini bisa dikatakan jamuan untuknya? Kenapa terlihat buruk sekali.

            Kemudian kakinya tergerak untuk mengikuti gerak lambat Delphine saja yang sepertinya berjalan ke arah ruang makan. Diliriknya beberapa foto yang terpajang di dinding dan di meja rendah dekat telfon rumah. Ada salah satu foto yang menarik dan William dibuat terhenti dari aksi ‘mengekori Delphine-nya.’

            Foto itu berukuran sedang. Dibingkai dengan sangat cantik oleh bingkai kayu yang terukir indah berwarna cokelat. Ada sekitar dua belas orang di dalam gambar tersebut. Dan yang paling dikenalinya adalah Delphine yang masih anak-anak dengan gaun bercorak panjang serta pita pada rambutnya yang panjang bergelombang.

            Gendut.

            Pipi gadis itu besar sekali, seolah-olah sebuah bakpao disembunyikannya di balik pipi. Tanpa sadar William mengagumi kembali sosok Delphine. Hey, William! Kenapa pikiranmu mudah sekali tersihir oleh paras Delphine? Coba lihat kembali, bahkan gadis itu sama seperti puluhan gadis yang kamu dikencani saat masih berada di SMP.

            Sebuah tangan mengambil gambar yang sedang dipegangnya dengan cukup kasar, lalu ditempatkannya kembali di tempat semula. Delphine memandanginya dengan tatapan marah dan menghujat. Lucu sekali jika kalian bisa melihatnya dengan langsung.

            “Saya memang gendut banget dulu. Jadi saya mohon jangan ada penghinaan.”

            Ugh. Delphine sensitive sekali, seperti kucing Gabby yang masih perawan.
Dengan santai William kembali mengikuti Delphine, aroma masakan sudah mulai tercium hangat sekali, meski William tidak tahu sama sekali apa yang akan dihidangkan di depannya, tapi aroma kelezatan benar-benar menguar dan menggantung hanya beberapa senti di depan wajahnya.

            Sebuah meja makan besar terlihat di depannya kini, meski tidak sebesar meja makan di rumahnya memang. Sepertinya Keluarga ini memiliki banyak penghuni rumah. Pantas saja kehangatannya jelas terasa sejak William hanya mengamatinya dari luar saja.

            Dia sudah duduk di salah satu kursi di samping Delphine. Seorang gadis lainnya, yang kemudian diketahuinya sebagai Alexandra, membantu membawakan makanan satu persatu. Setelah di jelaskan oleh Delphine, barulah William tahu bahwa Alexandra ini adalah sepupunya dari Yogyakarta dan sekarang kuliah di sini.

            Mama Delphine terlihat ramah sekali. Terlihat dari senyumannya yang tak kunjung lepas dan bertahan begitu lama seolah menghormati dirinya.

            “Papa gak bisa makan malam di rumah, Del. Ada janji sama teman lamanya.” Meskipun tidak tahu bagaimana sosok Ayah Delphine, William tetap bisa merasakan bahwa beliau adalah orang yang hangat pada keluarga. Kesimpulan yang terlalu dini bagi seorang William yang sangat Kritis. “Ini temen kamu, Del? Gak mau ngenalin sama Mama?”

            “Ah, saya William, Tante.” Mama terlihat tersenyum kembali dan membuka piringnya. Menyendokan beberapa sendok nasi pada piringnya sambil bertanya dengan sangat sopan.

            “Temen satu kantor?”

            Bingung, karena sebenarnya William juga tidak bisa dikatakan sebagai teman. Bagaimana bisa laki-laki itu mengaku sebagai temannya setelah menuduh Delphine sebagai penculik dan menciumnya dengan begitu kurang ajar? Sudah cukup, jangan kembali menghakimi William, karena laki-laki itu sudah begitu menyesali perbuatannya.

            “William ini adiknya boss Delphine di kantor kok, Ma. Datang kesini mau jemput aku soalnya ada yang mau di omongin sama mbak Gabby.”

            Kali ini Mama menyendokan nasi untuk Alexandra kemudian bergiliran pada Delphine dan piringnya sendiri. Mama Delphine seperti Maria. Sosok yang begitu hangat pada keluarga. Andai saja Deana masih ada, istrinya itu pasti akan berlaku tak kalah hangatnya.

            “Oh, ya? Mau pake lauk apa? Biar tente ambilin.”

            Ternyata Maria masih kalah hangat dengan Mama Delphine. Seketika William terkesima dan hanya memandangi Mama Delphine sambil tersenyum, membuat wanita patuh baya itu mengernyitkan dahi tidak mengerti. Oh, tidak. Nampaknya bukan hanya Mama Delphine yang mengernyitkan dahi tak mengerti, Alexandra dan Delphine pun begitu.

***

            Tidak seperti dikeluarganya yang membiasakan keheningan ketika makan, Keluarga Delphine lain. Mereka bebas berbicara bahkan Delphine dan Alexandra sempat memperdebatkan sesuatu ketika masih sama-sama mengunyah makanannya sendiri. Meski tidak terbiasa, tapi William bisa merasakan kehangatan keluarga ini.

            Akibat dari makan malam yang berisik di rumah Delphine, Mama kini mengenalnya sebagai duda keren beranak dua dan seorang direktur perusahaan. Meski terlihat kagum, tapi Mama tetap memperlakukannya seperti biasa. Seolah-olah William benar-benar hanya seorang teman Delphine. Nyaman memang. Tidak merasa dikhususkan secara berlebihan seperti biasa.

            Volvo yang dikendarainya melaju dengan perlahan di sepanjang jalanan macet nan padat ini. Delphine berkali-bekali terdengar mengeluh karena kepanasan, padahal William sendiri merasa kedinginan karena AC mobil yang di pasang full. Gadis itu sempat ingin membuka kaca mobil untuk mendapatkan tambahan angin, tapi buru-buru dicegahnya dengan alasan udara malam yang tidak baik apalagi udara kota Jakarta.

            Meski dengan mendengus kesal dan umpatan kasar gadis itu kembali terdengar, perintahnya tetap di jalankan dan entah kenapa William senang melihat Delphine kepanasan seperti sekarang ini.

            Leher gadis itu jadi basah dan rambutnya yang terikat tinggi membuatnya bisa melihat leher jenjang Delphine dengan jelas. Tidak hanya di leher, wajah gadis itu juga berkeringat parah.

            Denga tangan kirinya, William menyodorkan kotak tissue kepada Delphine. Lama-lama memang tidak sanggup melihat gadis yang sangat diinginkannya berada pada keadaan menantang dan begitu menggairahkan.

            “Sejumlah mahasiswa masih menggelar aksi demo di depan gedung DPR. Dan saya gak nyangka jalanan jadi begitu macet seperti ini.”

            “Ternyata mobil keren kamu tetep payah kalau di pake di Jakarta.”

            “Setidaknya kamu bisa duduk di samping orang keren seperti saya.”

            Oh, God. Apa yang baru saja dikatakan laki-laki itu? Delphine mengenal William sebagai laki-laki kaku dan arogan. Tapi kali ini Delphine melihat bagaimana sisi diri William yang lainnya. Ada sifat narsistik yang begitu menjijikan dan Delphine ingin sekali melemparkan sepatunya tepat di wajah tampan William.

            “Saya bakal ngakuin kamu keren kalau kamu bisa terbang di depan mata saya.”

            Apakah Delphine baru saja menantang seorang William? Konyol sekali. Masih dengan laga so cool dan jantung yang semakin berdebar gila, William melajukan mobilnya ketika mobil lain di depannya pun bergerak seirama. Ada rasa senang ketika Delphine merendahkannya seperti tadi, setidaknya lebih baik dibandingkan dengan menamparnya seperti kemarin.

            William berniat memindahkan persneling, namun jantungnya mencelos seolah jatuh hingga ke mata kaki ketika yang dirasakannya malah sebuah tangan mungil dan lembut milik Delphine. Sebisa mungkin William menelan ludahnya. Beberapa detik tangannya masih berada di atas tangan Delphine, kaku untuk sekedar menggesernya beberapa inchi dan enggan melihat wajah Delphine yang sama-sama terkejut dengan kecelakaan semesta kali ini.

            Untuk beberapa saat mereka masih tidak bergerak, tapi kemudian Delphine menggerakan tangannya seolah minta dilepaskan.

            “Tolong lepasin tangan kamu.”
            “Susah.”
            “Apa?”

            Karena tidak mau terlihat bego di depan Delphine, William berusaha menggeser lengan kakunya sedikit demi sedikit. Benar-benar hal yang tidak biasa. Jantungnya seakan mengejek dengan berdetak begitu cepat dan membuatnya berkeringat dengan cepat. Benar-benat memalukan.

            “Ayo kita buat kesepakatan.”

            Suara lembut Delphine terdengar di telinganya dan membuat William semakin kalang kabut dengan detakannya. Jangan berbicara apapun Delphine, tolong, untuk saat ini saja. Rintihan William menggema hanya dalam hatinya sendiri tanpa disuarakan dan tanpa terdengar oleh orang lain.

            “Saya sebenarnya bukan orang yang seneng punya musuh. Tapi perbuatan kamu kamarin-kemarin benar-benar keterlaluan. Saya tahu kamu orang kaya dan bisa berbuat sesuka hati kamu. Tapi saya juga perempuan. Perlu dihargai dan itu harga mati.”

            Telak. Perkataan panjang lebar Delphine seolah menendang ulu hatinya dengan begitu keras. Apa William sebrengsek itu? Apakah William berhak di hakimi Delphine seperti ini?

            Ketika dilihatnya, Delphine masih terduduk dengan mata lurus memandang ke depan. Kosong. Seolah tak ada yang dipikirkannya dan menantang setitik objek yang menjadi pusat perhatiannya.

            Apa yang harus di perbuat atau sekedar dijawabnya?

            “Saya mau setelah ini kita pura-pura tidak kenal satu sama lain. Tidak pernah terjadi apa-apa dan …”

            Suara Delphine tidak terndengar lagi karena William sibuk berteriak dalam hati. Apa maksud Delphine sebenarnya? Apa gadis itu berniat membodohi dirinya sendiri dan juga mengingkari apa yang telah dilakukan semesta padanya? Kenapa Delphine bodoh sekali … William tidak mungkin sanggup menjalankan hal konyol seperti ini.

            “Saya sudah pernah meminta maaf untuk hal ini.”

            “Dan kamu pikir saya memberikannya?”

            Pandangan William kini benar-benar hanya tertuju pada Delphine yang masih keras kepala dan tidak mau mengalah. Mobil masih melaju dengan sangat perlahan, tapi sesaat kemudian Delphine menyadari tatapan William yang terus tertuju kearahnya tanpa malihat jalanan di depan. Bahkan Delphine juga bisa merasakan William yang menekan gas di kakiknya dengan semakin kuat dan Volvo mewah milik William bergerak dengan cepat hingga menabrak mobi lain di depannya.

            Buk!

            Terdengar tabrakan keras Volvo William dengan sebuah Avanza di depannya. Delphine bisa melihat William yang begitu terlihat marah dan menghujani Delphine dengan tatapan membunuhnya. Kenapa William bisa berubah menjadi sangat menyeramkan seperti sekarang ini?

            “Kamu apa-apaan sih?”

            Pemilik Avanza yang mobilnya di tabrak William dari belakang itu kaluar dari mobilnya dan mengetuk kaca mobil. Delphine terlihat kalang kabut apalagi kini William makin terlihat marah dengan tatapannya.

            “William!”

            “Kamu mau kita pura-pura tidak kenal kan? Baik. Akan saya kabulkan.”

            Sedetik kemudian William keluar dari mobilnya dan meninggalkan Delphine sendiri di dalam mobil. Di tengah jalanan macet dan klakson yang saling menjerit satu sama lain, Delphine kalut dan hampir menangis. Tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan tidak tahu mengapa William bisa sangat marah hingga keluar dan meninggalkannya sendiri.

            Dengan tangan yang gemetaran Delphine mencoba melepas safety belt nya. Entah ini akal-akalan sang semesta atau karena kegugupannya sendiri hingga sulit sekali melepaskan safety belt yang kini seolah menawannya dengan begitu sempurna.

            Tolong. Delphine takut sekali kali ini. William, tolong jangan tinggalkan Delphine sekali ini saja.

            Batinnya memang tetap berteriak tapi pita suaranya sama sekali tidak bergetar dan kegugupannya tertutupi jeritan klakson mobil yang terus-menerus menekan hati dan pendengarannya.

            Kali ini, tolong. Siapa saja.

***

Sorry for late updates and any typos in this chapter :) Terimakasih untuk yang udah baca dan review di part sebelumnya. Makasih juga Buat kak Nelly Gultom yang udah kasih kritik :)

Please, Leave any comment on this page or on my twitter @Rulitash
Review after read, laaaaaffffff <3Ketjup
Rulitash

This entry was posted on Minggu, 28 Juli 2013 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

One Response to “Gold Hold [Chapter 6]”

  1. Fortuna Casino Review | Bonus Code
    The Fortuna Casino is a gambling site in the UK. It operates under the licence of the Malta Gaming 메리트 카지노 쿠폰 Authority. Fortuna Casino is licensed and febcasino certified by the deccasino Malta  Rating: 9.1/10 · ‎Review by admin

    BalasHapus