Dengan enggan Kara
turun dari boncengan motor Gilang tepat di tempat parkir motor sekolahnya.
Setelah ini ia dan Gilang selalu berjalan beriringan hingga ujung koridor yang
juga merupakan jalan ke arah perpustakaan, di sana mereka akan berpisah karena
Gilang masih harus berbelok ke arah kanan, berjalan ke tangga dan menemukan
kelasnya di atas. Kelas terpojok dan konon merupakan kelas terberantakan di
seluruh penjuru sekolah. Sedangkan kelas Kara hanya berjarak beberapa meter
dari Perpustakaan.
Hari ini lain, Gilang berniat mengantar Kara kekelasnya.
Setidaknya, itu yang dikatakan Gilang. Tapi, Kara yakin sekali maksud Gilang
yang sebenarnya bukanlah mengantar Kara layaknya anak TK, melainkan maksud
gilang yang ingin melihat keberadaan Dira.
Ya, Kara dan Dira memang satu kelas, dan Gilang adalah
senior mereka.
Setelah seperempat perjalanan menuju kelas, Kara masih
diam seribu bah
asa. Gadis ini hanya bisa cemberut dengan sekali-kali
mengembungkan pipi dan berjalan mengikuti langkah besar dan cepat Gilang.
Ini sama sekali tidak lucu. Gilang benar-benar yakin
dengan isu yang menyebar beberapa hari ini, dan kakaknya itu adalah salah satu
orang yang paling hafal Kara luar dalam.
“Muka lo gak ada bagus-bagusnya serius!”
Kara menghembuskan napas kesal sebagai tanggapan ucapan
Gilang padanya. Kelakuan Gilang juga gak ada bagus-bagusnya! Kara menggerutu
dalam hati. Sedangkan Gilang masih mantap berjalan.
Sebenarnya, Kara tergoda untuk mengancam Gilang dengan
rokok-rokoknya. Tapi, belum saatnya. Ancaman itu akan Kara keluarkan saat ia
kehabisan amunisi kalau-kalau Gilang mengetahui hubungannya dengan Dira.
“Kak, gue malu tau kalo harus lo intilin gini! Lo gak
tahu aja semua temen sekelas gue gak suka sama lo!”
Kalimat panjang nan pelan yang di ucapkan Kara membuat
Gilang berhenti melangkah, dengan cepat ia memutar badan menghadap Kara. Ia
menemukan kilatan kesedihan dalam mata adiknya itu. Tapi … Kara kan jago
acting! Ia tidak akan terjebak!
“Sebodo!”
Itulah yang di ucapkan Gilang kemudian. Menyakinkan diri
sendiri untuk menafikan segala pemberontakan Kara. Ia hanya perlu meluruskan.
Ya… Dira tidak boleh ada apa-apa dengan adiknya. Atau kejamnya, Dira tidak
boleh menjadi apapun untuk siapapun.
Tanpa di sangka Gilang benar-benar mengantarkan Kara
hingga depan kelas. Bahkan cowok itu membukakan pintu untuknya, kemudian
sedikit melongok melihat isi kelas. Gilang menemukan Dira yang tengah menulis
sesuatu di salah satu bangku. Menyalin pekerjaan rumah sepertinya.
Mau tidak mau, semua penghuni kelas sebelas-IPS2 melongok
pada siapa yang datang dan membuka pintu. Entah mereka terkejut atau apa,
mendadak semuanya seperti mundur satu langkah dari posisi semula ketika melihat
Gilang di ambang pintu.
Ini adalah salah satu ketidaksukaanya saat bersama Gilang
di sekolah.
Dira yang sepertinya sadar ada sang musuh di ambang
pintu, langsung berdiri. Matanya mengintip Kara yang berjalan pelan ke arah
bangku. Mendadak perasaannya tidak enak. Apakah ini menyangkut hubungannya dengan
Kara? Sial.
“Wah ada tamu! Silahkan masuk yang terhormat Gilang!”
Dira berseru dari tempatnya, Nada mengejek dalam ucapannya membuat Gilang harus
mengepalkan tangan diam-diam.
Semua penghuni kelas 11-IPS 2 mulai gerasak-gerusuk
memperdebatkan alasan Gilang datang dan apa yang akan terjadi selanjutnya
antara Gilang dan Dira. Kelas terdengar ricuh. Dan Kara benci berisik.
“Wah, ada nyali juga lo. Gak ah, gue cuma mau cek aja.
Apa kelas ini bersih dari hama pelaku backstreet, php atau sejenisnya. Itu
aja!”
Kelas semakin ricuh ketika mendengar ucapan konyol
Gilang. Mereka semua memang tahu tentang ketidakakuran Gilang dan Dira. Ini
seperti pertujukan gratis yang di pertontonkan secara terbuka.
Helaan napas jengkel dari Kara terdengar diantara
kericuhan kelas. Inilah salah satu alasan kenapa hubungannya dengan Dira di
bungkus rapat-rapat. Gilang adalah orang yang menyebalkan. Dan kalian akan tahu
semenyebalkan apa dia nanti.
***
Seperti biasa, Kara duduk sendiri di bangkunya dengan
sekaleng softdrink dan majalah ekonomi dunia yang dibelikan Papa kemarin lusa.
Ia memang tertarik dengan bisnis, untuk itu juga ia memutuskan untuk masuk
jurusan IPS pada saat seleksi masuk jurusan beberapa bulan yang lalu. Berbeda
dengan Gilang yang nekat mengambil IPA dan hasilnya semua nilai Gilang berada
di bawah garis angka kemiskinan.
Gaida tidak masuk hari ini, salah satu saudaranya meninggal
dan ia harus mengikuti upacara pemakaman, dan omong-omong, Gaida adalah
satu-satunya teman dekat Kara di kelas.
Sudah di jelaskan kan, tentang Kara yang tidak memiliki
banyak teman? Ya.. ini sudah berlangsung sejak Kara masih duduk di bangku
sekolah dasar. Dan sepertinya bertahun-tahun seperti itu membuat Kara terbiasa
tanpa teman. Ganjil memang. Tapi toh ia masih hidup meskipun tanpa teman bukan?
Dari bangku Guru yang di duduki Dira, Kara dapat terlihat
dengan jelas, di sisi lain Dira menikmati wajah tenang Kara yang tengah membaca
dan khawatir tentang hubungan mereka. Bagaimanapun juga, nantinya, Dira harus
mengakui Kara sebagai kekasihnya di depan semua orang.
Tiba-tiba pikirannya tergoda untuk berpikir apakah Kara
merasa tidak dianggap selama menjalin hubungan lewat jalan samping dengannya?
Atau Kara terlalu pintar menyembunyikan diri? Seperti sekarang. Gadis itu
menyembunyikan diri dengan majalahnya, dan menutup seluruh pintu masuk ke dalam
kehidupannya?
Kara memang beda, dan hal itu juga salah satu alasan
penyembunyian hubungan mereka.
***
Beberapa hari berlalu dan hari ini adalah sabtu sore,
dalam percakapan singkatnya dengan Dira beberapa saat yang lalu Dira mengatakan
akan menjemput Kara untuk nonton di bioskop malam ini. Tapi tentu saja cowok
itu tidak akan mungkin menjemput Kara di rumahnya. Jadilah Kara harus
memberikan kebohongan lain pada Gilang supaya Gilang mau mengantarnya ke rumah
Gaida.
Dira akan menjemput Kara di rumah Gaida. Dan Gaida sudah
tahu tentang hubungannya dengan Dira.
“Ngapain ke rumah Gaida? Setahu gue Gaida punya pacar.
Apa lo berniat ngerusak malam minggu orang?”
Kara mendengus. “Kriminal banget sih otak lo!”
“Ya terus mau ngapain?” Gilang mematikan komputernya. Dan
beralih pada bantal-bantal empuk di atas kasurnya. Tergoda untuk tidur sebelum
pergi ke acara salah satu temannya nanti malam.
“Dih, kok malah tidur, Kak? Serius anterin gue!”
“Iya nanti! Awas ah, gue mau tidur dulu!”
Dengan kesal Kara menjauh dari ranjang Gilang. Kamar
gilang nyaman. Rapi, meskipun Gilang sendiri bukan orang yang rapi dalam hal
apapun. Ada komputer dan kamar mandi pribadi miliknya. Enak sekali bukan?
Seharusnya Kara yang punya kamar mandi sendiri, dia kan cewek!
Saat akan keluar, Kara melihat ada sticker kecil yang
terpasang di depan kenop pintu. Design stickernya abstrack dengan beberapa
garis yang ter-embos. Meskipun kecil dan tidak jelas objeknya apa, Sticker itu
tetap terlihat cantik apalagi dengan warna yang simple dan gentle. Dan satu hal
yang kemudian Kara sadari, ada inisial huruf GA di tengah objeck abstrak yang
ter-embos.
GA untuk Gilang Ananda, Kara kira.
***
Ada yang tidak dimengerti semua orang tentang perubahan
yang dialami Gilang kurang dari dua tahun terakhir ini. Gilang merasa tidak ada
yang berubah dari dirinya, atau pura-pura tidak tahu tentang apa yang terjadi
dan menimpa dirinya. Orang-orang terlalu peka atau berlaga peka pada dirinya,
ia tidak tahu. Cowok keras kepala ini hanya merasa harus melakukan sistem budi
baik timbal balik dalam hidupnya.
Yang paling merasakan perubahan sikap Gilang tentu saja
Kara. Hanya karna Kara adiknya, Gilang merasa membully Kara bukanlah apa-apa.
Contoh kecilnya adalah kamar Kara yang dengan keseenakudelannya di buat menjadi
Smoking area karena memiliki Balkon yang bisa menghilangkan jejaknya sebagai
perokok. Meminjam uang jajan Kara dalam jumlah yang cukup besar dan tidak
dikembalikan, mengancam Kara untuk tidak melaporkannya saat ia dengan sengaja
ikut tawuran. Gilang berubah secepat kilat dan setenang Angin. Seperti naik
level, dari lembah ke lereng.
Jika ada yang berpendapat bahwa segala sesuatu terjadi
karena sebab, maka Gilang –dan mungkin semua orang– belum menemukan sebab perubahan
sikapnya yang drastis.
Motor Kawasaki ninja hitam miliknya sudah bertengger
manis di depan Rumah Gaida. Meskipun dengan ogah-ogahan, Gilang tetap
mengantarkan Kara sesuai dengan permintaan. Kara berangkat dari rumah hanya
memakai kaos lengan panjang dan jeans. Jaket yang semula dipakai dimasukan
kedalam ransel monyet biru tuanya. Untuk saat ini, Gilang percaya pada ucapan
Kara yang mengatakan hanya belajar bersama.
“Lo balik jam berapa?”
Kara melihat jam pada ponsel pintarnya. Ia tidak pernah
berjencan sebelumnya, dan otomatis ia tidak tahu berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk sebuah malam minggu bersama pacar. Tapi jika nonton di
tambahkan dengan beberapa waktu Intermezzonya bersama Dira, mungkin akan
menjadi … Tiga jam? Eh empat! Eh?
“Jam sepuluh deh!”
“Dih gila, malem banget. Mama marah nanti! Jam Sembilan!”
“Kita mau belajar akutansi! Serius ini butuh waktu yang
lama, Gak apa-apa nanti gue yang bilang ke Mama!”
Mau tidak mau Gilang hanya mengiyakan kemauan Kara.
Selain karena ia masih sayang pada adiknya, Kara juga terlihat seperti
sungguh-sungguh. “Oke. SMS aja nanti.”
Senyum Kara melebar, “Thanks, Kaka!”
***
“Ini adalah tindakan kriminal gue yang pertama!” Gaida
masih menggerutu bahkan ketika Kara sudah naik ke Jok penumpang motor Dira.
Kara telah mengenakan kembali jaketnya dan tas monyet biru tuanya masih
menggangtung di punggung. Hari ini mereka akan menonton Film Escape From Planet
Earth. Kara tidak tahu film itu sebelumhya, Dira hanya bilang bahwa film
tersebut adalah film animasi tiga dimensi yang direkomendasikan adiknya yang
masih SMP.
Malam minggu, kencan pertama dan mereka menonton animasi!
“Bantu temen dikit kenapa sih, Gaid!” Dira berseru, lalu
menstarter motor. Gaida reflex mundur satu langkah lalu menjawab dengan cibiran
yang tak kentara.
“Kita pergi dulu ya, Gaid! Thanks yaaaa!”
Motor melaju meninggalkan pelataran rumah Gaida. Posisi
Jok penumpang motor Dira yang tinggi membuat Kara agak menungging kedepan
dengan tangan yang memeluk Dira erat-erat. Rasanya sama ketika dibonceng
Gilang. Punggung mereka juga terasa sama nyamannya.
Dira tertawa dalam deru kendaraannya sendiri. Kara dapat
mendengar karena punggung cowok itu berguncang. “Nemplok banget neng,
duduknya!”
Kara sama sekali tidak berani melepas pegangannya pada
Dira. Takut jatuh adalah satu-satunya alasan. “Takut jatuh, Dir!”
Dalam hati, Dira tersenyum mendengar jawaban polos Kara.
Sesungguhnya, hal-hal kecil tentang Gadis ini yang membuatnya seperti terlihat
memuja, Segala hal dalam diri Kara seakan di program dengan sangat baik.
Membuatnya seperti dimabuk kepayang.
Setelah terparkir dengan baik, Dira dan Kara meninggalkan
motor dan mulai masuk kedalam sebuah Mall di tengah kota. Bioskop yang akan
mereka kunjungi ada dilantai dua, Dekat restoran perancis yang terkenal mahal
dan lezat.
Mereka menaiki escalator yang lenggang. Aneh juga
mengingat sekarang adalah malam minggu dan biasanya orang-orang berjejal
menggunakan tangga berjalan ini.
Kara tersentak ketika merasakan tangan Dira menyentuh
tangannya, lalu menggenggamnya erat-erat. Seketika sembuart-semburat merah
jambu timbul di permukaan pipi pualam Kara. Perutnya bergejolak dan ia tidak
bisa menahan debaran jantungnya yang semakin menggila.
Diam-diam keduanya mencuri pandang, lalu tertawa saat
mata mereka bertemu.
“Kamu gak punya riwayat penyakit mag kan?” Tiba-tiba Dira
bertanya saat mereka melewati KFC.
“Gak. kenapa emang?”
“Gapapa sih, jadi nanti aku tenang nontonnya tanpa harus
khawatir kamu bakal kena Mag karena belum makan malam.”
Entah ucapan Dira yang terlampau manis baginya atau
memang Kara saja yang baru didombalin cowok, yang pasti saat ini debaran hebat
di dadanya semakin cepat. Dira dapat melihat dengan jelas bagaimana Kara
tersipu lalu wajahnya memerah dan hal itu adalah salah satu hal yang indah
dimatanya, Semburat merah jambu yang menyebar di wajah Kara dengan seketika
sama halnya dengan senja yang menyebar dilangir sore.
***
Menonton Film animasi sepertinya tidak begitu buruk
karena Kara cukup terhidur dengan apa yang ditampilkan dalam Film Escape from
planet Earth. Kara yang tertawa lepas, meringkuk karena tegang bagaikan
pemandangan langka yang bisa dilihat Dira. Ini mungkin memang bukan kencan
pertamanya, tapi ini adalah kencan yang paling mengesankan baginya.
“Kamu pesan apa?”
Dira bertanya setelah pesanan dirinya sendiri di catat
weiters. Ia jadi ingat saat setelah keluar dari studio, Kara merengek minta pulang
karena mengantuk. Konyol sekali bukan? Saat itu masih setengah perjalanan
kencan mereka dan dengan konyolnya Kara bilang mengantuk.
“Aku ramen aja lah. Minumnya sama kayak punya kamu.”
Dengan cepat weiters mencatat pesanan Kara lalu pamit
undur diri. Wajah Kara sudah keliatan lelah padahal ini baru jam setengah
Sembilan. Mau tidak mau ia jadi berpikir pukul berapa biasanya Kara tidur?
“Ini kencan pertama aku.”
Mata Dira beralih pada Kara yang kini menatapnya dengan
lembut. Perasaan nyaman menyusup, ada yang membuncah dalam dirinya seperti
terlampau senang hanya karena tatapan lembut milik Kara. “Semoga aku bisa bikin
kamu senang di kencan pertama kamu ini.” Dira meraih kedua tangan Kara,
menggenggamnya lalu meremasnya pela, seolah tidak ingin kehilangan dan
menegaskan bahwa Kara adalah miliknya.
“Will see, apa nanti kita bisa dapet second date?”
Pertanyaan retorik yang dilontarkan Dira entah kenapa
membuatnya sedikit berpikir tentang kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi
dalam hubungan mereka.
***
Gilang sudah menjemput Kara kembali dari rumah Gaida.
Adiknya itu benar-benar terlihat lelah apalagi dengan wajah kusut dan racauan
tak jelas dari mulut Kara. Ia menyuruh Kara masuk ke kamar dan langsung tidur.
Tapi sebelum jarak Kara dengannya semakin jauh, dengan jelas, Gilang bisa
mencium wangi tubuh Kara yang berbeda. Sebagai Laki-laki ia bisa mengenali
aroma parfum yang menyerbak dari tubuh Kara.
Aromanya adalah wangi parfum yang sama yang dipakainya
dua tahun yang lalu.
Ditariknya lengan Kara hingga gadis itu membalik secara
langsung dan menghadap tubuh jangkung Gilang.
“Jujur lo darimana?!”
***