08:08 [Part 3]



          Pagi ini Kara benar-benar merasakan pusing yang luar biasa dikepalanya. Namun meskipun begitu, gadis ini tidak bisa mengelak ketika matanya terbuka bahkan saat matahari belum muncul dari langit timur. Yang dilakukannya saat itu hanyalah diam memeluk bantal dengan mata nyalang terbuka. Ketika ingatannya membaur, saat itu juga matanya mengabur, karena air mata menutupi segala pandangannya pada masa depan. Seperti terjebak dalam kisah masa lalu yang selain sakit tapi juga tegang tercekik.

            Kejadian kemarin malam saat dengan tiba-tiba Gilang tahu bahwa dirinya bersama Dira pada ritual malam minggu. Entah apa yang menyulut Gilang saat itu, Kara yang berbohong atau karena Dira yang diam-diam. Yang Kara tahu hanyalah kemarahan Gilang.

            “Lo terlalu bego buat bisa begoin gue, Kar!”

            Saat itu, Kara yang mendengar teriakan Gilang kontan membelalak. Lehernya seperti tecekik, menyumbat saluran pernafasan dan menekan paru-paru, sakit. Terkejut.

            “Maksud lo …”

            “Maksud gue adalah lo bego dan tukang tipu!”

        Teriakan Gilang selanjutnya membuat seluruh tubuh Kara bergetar hebat, entah apa yang dipikirkan kakaknya itu hingga bisa meluapkan kemarahan seperti ini. 

         Gilang mengendus keras, melempar kunci motor pada Kara dan sukses menabrak dadanya. Sakitnya tidak sepadan dengan makian Gilang.

            “DIRA! Cowok sialan itu yang bikin lo jadi tukang bohong!” Gilang mendekat, Kara mundur selangkah, pelan. “Lo pacaran sama dia?! Dira!”

            Kara tidak tahu ucapan Gilang itu adalah sebuah pertanyaan atau teriakan marah biasa. Gadis itu tidak bisa menjawab. Mulutnya seperti terkunci dan terisolasi rapat-rapat.

          “Jawab, Kar!” Gilang mulai mengguncang tubuh Kara yang sudah bergetar. Air mata terjun dengan kasar dari kedua manik matanya. Isakan tertahan dan memilukan Kara tidak membuat Gilang berhenti mengintimidasi Kara agar menjawab.

            Lama tidak ada jawaban. Gilang mulai berhenti. Kepalanya menunduk. Melihat Kakinya dan kaki Kara yang telanjang. Dingin terasa menyusup hingga ke ulu hati. Geli disana, namun menyesakan.

            “Gue… Cuma, seneng … bisa..”

            Gilang kembali mendongak, tersenyum sarkastik pada adiknya. Raut ketakutan benar-benar nampak di sana. Entah apa yang harus ia lakukan setelah ini. Dengan mudah ia bisa menjadi egois seperti biasa, Tapi kali ini…

            “Gue, cuma.. takut lo kenapa-napa,” ada jeda dan Kara menatap lekat Gilang yang terlihat seperti frustasi. “Dia gak sehat buat lo…”

            Seperti Gilang yang tidak tahu harus bagaimana setelah mengetahui hubungan Kara dengan Dira, Kara pun begitu. Ia tidak tahu harus bagaimana setelah ini. Dira adalah satu-satunya orang luar yang bisa menembus blokade pertahanan dirinya sendiri, mencuri hatinya dan Kara tidak yakin hatinya akan kembali dalam waktu dekat.

         Suara pintu yang terbuka menyentakan Kara kembali pada kenyataan saat ini. Lampu dimatikan, dan kamar dalam kondisi gelap. Ia sama sekali tidak tahu siapa yang datang sepagi buta ini ke kamarnya. Diam-diam kara merosot tertidur. Pura-pura menutup matanya. Pendengarannya ia pasang setajam mungkin, berusaha mendeteksi apapun yang dilakukan orang tersebut.

            Telah satu menit dan Kara tidak merasakan apapun. Ia hanya mampu mendengar langkah dan gesekan kulit orang itu dengan lantai dan benda-benda yang dipegangnya. Lalu ia mencium bau asap rokok, dan diam-diam ia mendapati pintu balkon kamarnya yang terbuka.

            Tidak salah lagi. Orang itu adalah Gilang. Kakaknya itu diam-diam masuk kamar, merokok di balkon sepagi buta ini. Sudah pasti ada yang dipikirkannya.

           Apakah Kara yang menjadi objek pikiran Gilang saat ini? Mendadak Kara ingin bisa membaca pikiran orang lain saat ini.
 
          Yang Kara tidak tahu selanjutnya adalah Gilang yang berderap maju menuju tempat tidurnya. Gilang mengamati Kara dengan matanya yang menahan kedipan. Sempat ingin tertawa namun ditahannya. Lucu, ternyata tidak hanya dirinya yang berpikir terlalu banyak hingga masih terjaga di pagi buta.

         Diusapnya kepala Kara dengan sayang. Sebandel dan sekeras-kerasnya hati Gilang, cowok dengan segudang reputasi buruk ini tetap menginginkan yang terbaik menurutnya untuk Kara. Ya, terbaik menurutnya. Gilang seperti lupa bahwa segala sifat itu relatif.

           Kontan Kara menahan nafas saat dirasakannya kulit Gilang di pemukaan kepalanya. Membelai serarah dengan arus untaian rambutnya.

           “Gue, gak tahu lo bego atau polos.”

         Desahan suara Gilang membuat bulu kuduk Kara merinding. Napasnya jadi tidak teratur hingga Kara menjadi gelisah dalam tidur pura-puranya.

            “Tapi mata lo kedip-kedip. Gue tahu lo gak tidur.”

          Mata Kara membelalak sempurna. Benar-benar tidak menyangka Gilang akan semudah itu menebak bahwa sebenarnya Kara tidak tidur. Matanya beradu dengan mata Gilang, meski gelap, kedua kakak beradik itu masih dapat melihat satu sama lain lewat pancaran mata yang entah kenapa kali ini terasa lebih terang dari biasanya.

            “Bangun.”

            Kara menggeleng kuat sambil menggigiti bibirnya. “Kalo gue bangun, lo bakal marah-marah lagi.”

            Dengan kesal Gilang berdecak lalu menjitak kepala Kara, “Gak akan.” Janjinya.

           Mau tidak mau Kara beringsut dari baringnya. Duduk dengan tetap memeluk bantal. Selimut ia rapatkan karena udara menjadi lebih dingin dengan pintu balkon yang terbuka.

          “Apa lo bakal nyuruh gue putus sama Dira setelah ini?” Kara bersuara setelah jeda cukup lama.

        “Gue gak tahu.” Ditatapnya Kara lebih dalam, ada harapan di sana. Harapan boleh tidak terkabul bukan? Jadi bagaimana jika Gilang menghapus harapan Kara untuk tetap bisa berhubungan dengan Dira?

          Oh tidak. Itu terlalu jahat. Amat sangat.

          “Lo seneng?”

          “Gue gak pernah seseneng ini sebelumnya. Dapet temen lain selain Gaida itu … berkah!”

          “Kenapa lo backstreet? Kalo Dira sehat dia gak akan ngajak jalan samping.”

       Kara berhenti menggigiti bibirnya. Bantal yang semula dipeluknya ia lepas. Dalam diam ia memprotes pertanyaan Gilang. Seharusnya ia yang mengajukan pertanyaan itu sejak lama sekali. Ada apa antara Gilang dan Dira? Ada apa antara mereka hingga Dira sama sekali tidak bernyali menunjukan hubungan dengannya di depan orang lain? Pertanyaan kedua, separah apakah Kara? Dan seberapa buruk hubungan Gilang, Kakaknya dengan Dira.

         “Kayaknya jawaban dari pertanyaan lo ada di kalian berdua. Gue gak tahu. Yang gue tahu saat ini gue nyaman sama Dira.” Kara memberanikan diri berbicara sepanjang itu saat ini, dengan lugas dan cukup tegas. Benar-benar tidak diperhitungkannya jikalau Gilang kembali marah seperti tadi malam.

        “Gue juga gak tahu kami kenapa.” Pelan namun di sana tersirat jutaan arti yang tidak dimengerti Kara. Bolehkah Kara menebak? Oh tidak, untuk saat ini.

      Bingung menjawab apalagi, Gilang memutuskan untuk membentangkan jarak dengan Kara barang sebentar. Entah ini baik atau tidak, ia hanya merasa perlu melakukannya. “Tidur sana, keburu subuh!”

          “Lo juga istirahat yang cukup.”

           Tanpa sadar mereka masih tetap saling memperhatikan. Sering terjadi namun tidak disadari.

***

            Dira sedang mengkoordinir anggota team B yang lain untuk shooting hari ini. Lokasinya berbeda dengan lokasi sebelumnya. Kali ini cukup jauh, dekat kota bogor. Entah apa namanya.

        Cowok itu membiarkan Kara bersama pemain lainnya mengganti kostum dan saling memakaikan make up.

           “Dir, gue lihat ada air terjun di bawah. Cocok kayaknya buat ganti lokasi yang di scene sebelas. Jadi kita gak makan banyak tempat.” Yudi memberitahu Dira sekembalinya cowok itu dari buang air kecil.

             Yang diberitahu berpikir sambil melihat Skrip yang dipegangnya. Mencari isi Scene sebelas yang dikatakan Yudi. Ia mulai paham lalu mengalihkan pandangan kepada Yudi. “Oke, nanti kita atur.”
            “Yo! Yang masuk scene enam masuk!” Dira berteriak dan mulai duduk di kursi sutradaranya. Beberapa teman perempuannya berlari-lari untuk masuk Frame. Kara berjalan sendiri, santai dan menghabiskan durasi.

       “Kara cepet! Kita mau take sekarang!” Baru setelah diteriaki Dira, Kara mempercepat langkahnya, meskipun dengan akhir yang tidak begitu membantu.

            Dalam film yang mereka garap ini, Kara berperan sebagai Eliza. Perempuan pemberani yang terjebak dalam perang antar suku. Peran yang menantang bagi siapapun.

            Shooting berjalan, semuanya berjalan dengan lancar seperti yang diharapkan Dira. Kara juga tidak banyak mendapat kesulitan sepertinya, Karena gadisnya itu bermain dengan sangat lepas dan tidak banyak melakukan kesalahan seperti sebelumnya. Tapi, meskipun begitu, Dira bisa melihat hal lain yang menjadi beban pikiran Kara. Entah apa itu, tapi sepertinya menyedihkan. Apalagi tadi pagi, saat Kara datang ke sekolah dengan mata yang bengkak seperti habis menangis. Padahal kemarin mereka …

            Apa Gilang telah mengetahui hubungan mereka? Sound bad.

           “CU!CUT!” Dira memutuskan untuk memberi rehat bagi semuanya selama lima belas menit. Lalu akan dilanjutkan dengan pemindahan setting ke air terjun yang dikatakan Yudi tadi.

           Semua menyebar dengan teman masing-masing. Kara terlihat bersama tiga orang lainnya. Tapi kemudian Kara kembali sendiri. Gadis itu menenguk habis air dalam botol minumnya, lalu duduk memainkan Handphone di bangku panjang yang berada di bawah pohon. Sendiri.

          Ingin sekali Dira mendekati Kara. Memeluknya lalu mentransferkan amunisi ketenangan untuk gadisnya itu. Tapi yang terjadi kemudian Dira hanya diam di tempatnya memandangi Kara dari kejauhan.

            Gadisnya itu tampak menyedihkan dengan kesendiriannya.

***

            “Ayo pulang.” Seperti biasa Dira menunggu teman-temannya yang lain pulang terlebih dahulu untuk bisa berada sedekat ini dengan Kara. Miris sekali mereka yang backstreet.

            Tangan Dira baru akan menggapai lengan Kara, namun tidak terjadi karena Kara menepisnya. Sedikit tersentak, Dira mengernyitkan dahinya dengan maksud bertanya.

            “Aku pulang sendiri aja.” Ia teringat dengan Gilang yang tidak berangkat bersamanya seperti biasa tadi pagi. Kata Mama, Gilang berangkat pagi-pagi sekali dan Kara mencurigai Gilang yang tidak tidur semalaman.

            “Kenapa?” ada kekhawatiran dalam nada bicara Dira. Kara terlihat menggigiti bibir.

       “Mama jemput aku di depan. Kalo mau, kita bereng aja sampai depan.” Meskipun Kara menambahkan senyum di akhir ucapannya, tapi kekhawatiran Dira tetap berada pada level puncak.

            “Semalem… gak terjadi apa-apa kan?”

            Tidak ada jawaban dari Kara. Dalam hati, Kara bingung harus bagaimana mulai saat ini.

***


            Makan malam kali ini berlangsung tanpa Mama dan Kara. Hanya ada Papa dan Gilang yang tampak hening dengan bunyi dentingan sendok dan Garpu ketika beradu dengan piring yang sekali-kali terdengar. Yang Gilang ketahui, Mama pergi untuk menjemput Kara di lokasi Shooting anak-anak lab movie. Hal yang tidak pernah dilakukan Kara, meminta Mama menjemputnya.

            Bagaikan berlari sejauh ribuan kilo meter, jujur saja ia lelah. Hanya beberapa jam Ia membuat kontroversinya sendiri dengan Kara, dan yang tidak ia bayangkan akan semenyebalkan ini.

            Apakah benar ini hanya karena Dira yang berhubungan dengan Kara secara diam-diam? Atau ia merasa dikhianati dua kali?

            “Mamamu kena macet di jalan, Jadi, agak larut pulangnya.”

          Suara Papa terdengar setelah laki-laki paruh baya itu meneguk air putihnya hingga tandas. Gilang memandang Papanya, gurat tawa Papa yang dulu dilihatnya juga kini hanya terlihat sebagai gurat usia. Papanya berubah tua. Dan ia pun begitu.

            Tanpa sadar Gilang meraba pipinya sendiri, tiba-tiba khawatir jika ada keriput yang nampak seperti milik Papanya.

            “Kenapa kamu?”’

         Gilang akhirnya menurunkan tangannya dari pipi lalu nyengir lebar pada sang Ayah. Sedangkan Papa belum meninggalkan meja makan meskipun makanan miliknya sudah tandas. Kebiasaan dikeluarga ini memang. Makan bersama, selesai bersama.

          “Sekolah kamu gimana? Sebentar lagi mid test kan?”

      Terlebih dahulu Gilang menelan makanan yang berada di mulutnya, “Masih gak ngerti matematika dan Fisika dan itu semua nambah derita aku di kelas IPA.”

       Tawa papa terdengar cukup keras, ponsel Gilang bergetar, ingin diambilnya tapi urung, mengingat Papa sangat menjunjung tinggi etika.

            “Terus, kenapa dulu gak ambil IPS aja kayak Kara?”

            “Gak apa-apa. Biar keren aja.”

            “Kamu ini, sekolah kok buat keren-kerenan.”

          Masih menunggu Gilang menghabiskan makanannya, Papa meraih majalah, membuka dan mencuri bagian yang menarik dan Papa akan segera masuk kedalam apa yang beliau baca.

          Gilang mengenal Papa sebagai seseorang yang paling bijaksana dalam keluarga, walaupun kadang keras dan tidak mau kalah, tapi beliau benar-benar menjadi sosok yang menjadi panutannya.

            Sejak kecil Gilang selalu berusaha menjadi anak baik-baik demi membanggakan orangtuanya. Berhasil masuk seleksi olimpiade, Juara kelas dan aktif ekskul. Tapi ternyata, dalam kehidupan semuanya berubah. Ia beranjak tua, beranjak dewasa. Lalu membangkang, menyalahi aturan dan selalu merasa benar.

            Gilang yang anak baik-baik mulai jenuh. Semuanya berawal ketika ia mulai memasuki Sekolah Menengah Pertama, lingkungan di sana tentu saja berbeda dengan ligkungannya ketika masih berada di sekolah dasar. Di lingkungan barunya itu  pula Gilang merasa nyaman dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sendiri. Pertama kali menonton video ponro, Pertama kali berkelahi di sekolah, sering kena razia seragam sekolah, dihukum karena tidak mengerjakan PR. Orangtuanya menganggap Gilang mengalami kenakalan yang wajar hanya karena Gilang anak laki-laki.

            Diam-diam, tanpa sepengetahuan orangtuanya, Gilang sering keluar malam, dulu ia bersama sahabat-sahabatnya, nongkrong di sket area atau kadang ikut tawuran dengan  sekolah lain padahal ia bukan bagian dari mereka. Semuanya Gilang lakukan bersama sahabat-sahabatnya.

            Hari itu terjadi, Gilang dan teman-temannya tertangkap tangan ikut tawuran dan mereka sukses berada di balik jeruji besi semalaman penuh. Di situlah semuanya berubah. Segala hal seakan beranjak menjauh dan dijauhkan. Sakit hatinya menggumpal seketika dalam satu masa itu, merana seakan berada dalam asa yang terbelenggu sang waktu.

            “Pa?”

            “Hmm?” Papa masih menekuni majalahnya, sedangkan Gilang tiba-tiba teringat dengan Kara dan tangisannya semalam.

            “Tumben Kara minta jemput Mama.”

           Setelah menyesap kopinya melalui bibir cangkir Papa menatap Gilang dengan dahi mengkerut. “Loh kenapa tanya-tanya?”

            “Hah?”

            “Bukannya semalem kamu berantem sama Kara ya?”

            Seketika Gilang membeku ditempatnya. Kenapa Papa bisa tahu? Apakah sebenarnya mereka mendengar pertengkarannya dengan Kara? Tapi kenapa mereka tidak menengahinya seperti biasa?

            “Papa sama Mama denger kalian berantem kok semalam, ada masalah apa memang?”

            Yang ditanya masih diam, seakan mengamati ada apa dengan sisa makanan dipiringnya.

            “Ya, Papa sih gak akan ikut campur. Kalian sudah besar. Masa harus dituntun terus.”

            Diam-diam Gilang melirik Papa. Raut ketenangan masih dipertahankan laki-laki paruh baya itu. Itulah yang Gilang salut dari Papanya. Selalu berpikir tenang, tidak sepertinya semalam yang langsung mengintimidasi Kara dengan pertanyaan-pertanyaannya …

***

          Malam ini sudah cukup larut dan Dira masih terjaga. Anak laki-laki ini masih duduk di halaman rumahnya, Dagunya berpangku pada tangan, seakan menelisik setiap udara yang bergerak lalu-lalang dihadapannya. Ada yang tidak dimengertinya tentang sikap Kara tadi. Gadis itu memang tetap pendiam seperti biasa. Tapi, tadi sore ia di jemput orangtuanya dan meninggalkan Dira sendiri.

          Dira juga tidak pernah tahu apa yang dirasakan Kara saat mereka dengan terpaksa harus pura-pura tidak menyangi satu sama lain di hadapan orang lain, Dira terlalu kejam dengan menganggap Kara kasat mata, lalu nyata saat hanya berdua.

            Tapi apa yang bisa dilakukannya? Ia memiliki dosa terlampau besar yang masih disesalinya hingga saat ini. Dulu, dosanya seakan menjadi denyutan jantung yang terasa setiap sepersekian detik, meskipun dengan jarak yang melintang tajam. 

  Kali ini tidak ada jarak, dan dosanya berubah ganas hingga mengorbankan orang lain. Aral memang. 

***

         Kara dan Mama pulang ke rumah tepat pukul sepuluh malam. Karena terlalu lelah Kara melewatkan makan malamnya, padahal Mama sudah memaksa. Akhirnya, Kara hanya akan bersarang di kamarnya lagi, menikmati selimutnya yang hangat, bantal dan kasurnya yang empuk dan ….

         Dan begitu lampu dinyalakan terlihat Gilang yang sedang bergelung dalam selimut dan ranjangnya.

            “Apa-apaan nih?”

            Dengan cepat Kara mengguncang-guncang tubuh Gilang yang sepertinya sudah terlelap dalam dunia mimpi. “Kak, bangun! Ngapain sih lo tidur di sini!”

            Yang dibangunkan malah ogah-ogahan seolah-olah tidak terganggu dengan teriakan Kara, Matanya memang mengerjap-ngerjap dan Kara kira karna Gilang terganggu dengan suaranya.

            “Bangun, Kak, Gue capek. Tidur di kamar lo sana!”

          Hingga beberapa menit masih tidak ada tanda berarti yang menggambarkan Gilang akan bangun dari tidurnya. Putus asa, Kara menggeser pintu kaca balkon, Membuat banyak angin malam masuk dan menggoda tulang-tulangnya, merasa linu lalu ia mengusap-ngusap lengannya satu sama lain. Langit malamnya teduh, membuat perasaannya lebih nyaman daripada sebelumnya.

            Masih asik memandangi langit malam dengan sedikit taburan bintang, sebuah tangan besar dan kokoh masuk menyentuh permukaan wajahnya lalu bergerak menghalangi pandang.

            Ini tangan Gilang.

            Kara berseru dalam hati ketika menyadari Gilang berada di dekatnya kembali. Terpaan napas Kara sendiri terasa hangat di lengannya.

         “Lepasin.” Kara menggeram setelah dalam satu menit Gilang tidak juga melepaskan tangannya.

      Gilang menurunkan tangannya. Kara membalik, menghadap tubuh jangkung Kakanya lalu menatap tepat di manik matanya. Pandangannya agak mengabur karena telah tertutup sekian lama. Entah ekspresi apa yang sedang di tampilkan Gilang kini.

            “Maafin gue.”

        Untuk beberapa saat Kara masih memandangi Gilang di manik matanya. Ini seperti bukan Gilang. Gilang itu egois dan dengan tiba-tiba kakaknya itu meminta maaf? Malam-malam begini, sampai harus menunggu Kara dikamarnya?

            Mungkin Gilang terbentur sesuatu?

            “Maafin gue soal kemarin.”

            Gilang berkata sekali lagi demi meyakinkan Kara.

            “Okay.” Kara tidak tahu harus berkata apa lagi.

           Dengan tiba-tiba Gilang merosot duduk di atas lantai balkon yang dingin, bersandar pada pagar dan memandangi kamar Kara dengan tatapan kosong. Kara mengikutinya. Tangannya terulur pada paha sang kakak, menepuknya berkali-kali hingga membuat Gilang mengalihkan pandangan padanya.

            “Lo … sama.. Dira .. itu ..”

        Mendengar kegagapan Kakaknya, Kara tersenyum lalu memotong dengan mantap. “Gue beneran sayang sama dia, Kak.”

            “Okay.”

            “Untuk?”

            “Untuk hubungan lo sama Dira.”

            Kara mengernyit.

            “Gue bakal pura-pura gak tahu tentang hubungan kalian, dan kalian juga harus pura-pura tetep backstreet di belakang gue, gimana?”

            “Aneh.”

            “Emang, kayak lo!”

            “Dih, kok gitu?”

            “Dasar aneh!”

            “Ihhhh nyebelin….”

***

            Pada akhirnya, segala hal akan berubah. Perahu kertas yang akan hancur dalam air, tenggelam lalu menjadi sampah. Balon akan kehilangan gasnya, hingga terdampar kembali di daratan.

        Everything is Change. Perubahan akan terus terjadi, kalian tidak bisa menahannya, kecuali kalian menahan perubahan itu sendiri.
***

This entry was posted on Jumat, 07 Juni 2013 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply