Gold Hold [Chapter 1]








Usapan lembut lengan kokoh William pada pipi Eve terlihat sangat lembut dan halus. Beberapa kali Eve mengerang dalam tidurnya karena lengan sang ayah yang kerap kali mengusik mimpinya dengan Barbie dan Ken. Jangan salahkan Eve jika menyukai kecantikan si fiksi Barbie, salahkan Gabby yang memberikan Eve menonton apa saja yang dilakukan Barbie dalam filmnya.

Disamping Eve ada seorang anak lain dengan pipi yang lebih terlihat memerah. Entah ini jenis kulit terpesona atau apa, tapi kulit Wilson lebih terasa lembut dibanding dengan kulit kakaknya. Rambutnya terpangkas rapi dan sedikit pirang. Entah kenapa rambut kedua anaknya ini malah cenderung kecoklatan padahal keluarga Ardiwilaga adalah keluarga oriental. Mungkin ini ada kaitannya dengan gen Deana.

Tidak. William tidak mau mengingat Deana lagi. Rasanya sakit sekali. 

Rambut Eve sudah panjang padahal anak gadisnya ini masih berusia empat tahun. Tubuhnya menggempal sedikit lebih besar dibandingkan dengan tubuh Wilson. Kali ini tetap entah karena apa.

Kemeja putih panjang yang dipakainya seharian ini masih melekat di badan padahal sekarang sudah cukup malam. Laga Group memang sedang sibuk untuk target tender yang harus mereka dapatkan kali ini. Sayangnya William adalah orang kepercayaan Johan, Ayah kandungnya sekaligus Presiden Direktur Laga Group. Dia tidak bisa begitu saja meninggalkan pekerjaannya Karena sayangya, kurang dari setahun yang lalu William diangkat menjadi Direktur Excello, salah satu perusahaan yang berada di bawah naugan Laga Group yang bergerak di bidang Obat dan Makanan Ringan.

Empat tahun berlalu sejak kematian Deana. William menjadi Ibu sekaligus Ayah bagi keduanya anaknya. Eve dan Wilson. Tentu saja banyak yang akhirnya berperan sebagai Ibu yang baru bagi Eve dan Wilson. Bagaimanapun juga William adalah calon pewaris Laga Group, bukan tunggal memang, Tapi dia adalah anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga Ardiwilaga.

Diantaranya ada Gabby, Kakaknya yang hingga kini belum menikah, padahal William yakin Kakaknya itu bukan tipe perempuan yang takut menjalin hubungan dengan pria. Tapi tetap tidak bisa dipungkiri William bersyukur untuk itu, dengan status single Gabby, perempuan dengan usia awal kepala tiga itu bisa membantunya mengurusi kedua anaknya. Kemudian Nyonya besar Maria. Ibu kandungnya William kini sangat bahagia karena memiliki dua orang cucu kembar dari William yang kerap kali di bawanya ke rumah besar untuk menghabiskan waktu bersama. Permata baru di keluarga Ardiwilaga tidak boleh kekurangan kasih sayang, ungkapnya suatu hari.

Beberapa pesan di ponselnya berasal dari Maria dan Gabby yang memberitahunya untuk datang kerumah besar besok pagi dengan si kembar Eve dan Wilson.

Dikecupnya Pipi Eve dan Wilson bergantian. Dengkuran halus keduanya membuat William tersenyum lega. Lalu batinnya mengeja kata meski tak bersambut suara. Semoga Tuhan selalu memberikan kelegaan ini untuknya, dan untuk kedua anaknya.

***

Suara berisik dari dapur membuat Eve terbangun. Anak gadis berusia empat tahun itu mengerang dan duduk. Beberapa saat mencoba turun dari ranjang sang ayah dan menapakkan kaki di lantai yang dingin. Wilson masih tertidur pulas dan Eve langsung menghampiri William yang nampak kesulitan dengan mayones dan Telur mata sapinya.

“Pop…” Mendengar anak gadisnya yang merengek seperti biasa ketika baru terjaga dari tidur membuat William mengalihkan perhatiannya dari wajan berisi telur mata sapi pada Eve yang masih mengucek-ngucek matanya.

Diraihnya kepala Eve dengan sayang dan sebuah kecupan hangat di dahi dari William membuat Eve mengerang tidak suka. Anak ini jadi tidak suka dicium Ayahnya sendiri.

Tangan William bergerak mengecilkan api dan menggendong Eve, sehingga wajah mereka setara saat ini. “Good morning, Eve.”

“Morning, Pop.”
“Mimpi apa tadi malem?”
“Barbie dan Ken.”

Jawaban yang keluar dari mulut Eve benar-benar sangat polos, membuat William mau tidak mau tertawa mendengarnya. Rambutnya berantakan dan William biasa memandikan Eve dan Wilson sendiri. Kemudian Eve di dudukan di kursi meja makan. Menghadap Roti isi telur mata sapi dengan mayones yang sangat disukai gadis itu.

Tidak berselang lama, ketika William tengah memindahkan telur mata sapi yang sudah dibuatnya kedalam helaian roti terakhir, Wilson datang dengan wajah yang sama kusutnya dengan Eve. Berbeda dengan Eve yang didudukan William, Wilson berusaha duduk sendiri meskipun sedikit kesusahan.

“Good morning, Buddy.”
“Pop, aku bosan makan telur.”

Beberapa hari ini memang hanya roti isi telur yang di buat William. Selain cepat, William juga tidak bosa memasak makanan yang lain. Pernah ia membuat nasi goreng, dan hasilnya sangat asin karena garam yang ia masukan terlalu banyak. Hey! Jangan protes, wajar dong, William kan laki-laki.

“Maaf, besok Pop masak yang lain deh, tapi kalian harus makan ini dulu, ya.” William mengangsurkan piring milik Wilson, menyuruh kedua anaknya makan. Dia sendiri biasa tanpa sarapan pagi, tapi tidak boleh dengan anak-anaknya.

“Hari ini kita ke rumah besar. Oma kangen kalian katanya.”

Sambil mengunyah makanannya, Wilson menggerutu karena kurang suka kondisi rumah besar yang sangat banyak penghuninya. Oh tentu saja pembantu rumah besar lebih dari sepuluh jari kalian. “Ada tante Gabby?”

Giliran di cantik Eve yang bersuara dan langsung di jawab dengan anggukan William. Kedua anaknya memang sangat dekat dengan Gabby dibanding dengan nenek mereka. Melihat anggukan William membuat  mereka bersorak seketika sambil terus mengunyak makanan di mulut dan sekali-kali berebut siapa yang paling dulu di cium Gabby.

William hanya bisa tersenyum melihat tingkah keduanya.


***

“Tante Gabbbyyyyy…” Eve dan Wilson berlari menghambur kepelukan Gabby yang tengah duduk di sofa dengan majalah dipangkuannya. Seperti biasa Eve selalu kalah jika adu lari dengan Wilson. Setelah bergantian mencium Eve dan Wilson, Gabby melihat penampakan William dengan koper yang diseretnya dengan malas-malasan.
Maria memang menyuruhnya dan William untuk menginap selama beberapa hari di rumah besar. Tidak tahu untuk apa, tapi Gabby benar-benar meninggalkan Flatnya dalam keadaan berantakan.
“Gue gak ngerti mereka bisa nempel banget sama lo.”
Sapaan yang tentu saja tidak baik dari William untuk Gabby, meski begitu Gabby tetap berdiri dan memeluk William. “Mungkin gue secantik Deana?” Ungkapan Gabby membuat William mengerlingkan mata mulai tidak suka jika Gabby mulai memuji diri sendiri. Dilihatnya Eve dan Wilson yang sudah berdiri di samping Gabby dengan memegang kuat-kuat kaki perempuan itu.
“Mama mana?”
“Di atas. Papa juga udah nungguin lo, kayaknya ada yang mau di omongin deh.”
“Penting?”

 “Pasti.”
 “Misal?”
 “Cabut jabatan lo dari Direktur Excello, bisa jadi.”
 “Dan lo ditendang jauh-jauh ke timbuctoo?”
Meskipun pada dasarnya kedua kakak beradik ini saling memperhatikan satu sama lain tapi tetap saja tidak luput dari pertengkaran setiap kali mereka bertemu. Sekarang agak jarang mungkin, karena Gabby juga memutuskan tinggal di apartemennya sendiri seperti William.
“Ayo Eve, Son, kita kasih salam buat nenek dulu.”

“Eve sama tante Gabby aja.”
“Aku juga.”
“Wilson, jalan sendiri dong kan cowok!”

***
     
Baik Gabby maupun William sama-sama terpaku ketika Johan Ardiwilaga memberitahu keduanya untuk segera mencari pendamping masing-masing. William pernah bertekad sebelumnya untuk tidak menikah lagi dan menggantikan Deana tapi sepertinya sekarang tekadnya itu harus ia kubur dalam-dalam karena Johan malah memintanya langsung untuk kembali menikah.
Juga dengan Gabby yang sampai saat ini belum juga memperkenalkan calon suaminya ke hadapan Johan. Pria berusia pertengahan lima puluh itu yakin Gabby bisa mendapatkan Pria dengan mudah toh Johan tidak pernah meminta syarat pada Siapa Gabby harus menikah atau pria seperti apa yang layak dinikahi anaknya.
Dalam hati Gabby merutuki Johan, kalau saja Johan tahu Gabby baru saja putus cinta karena mantan pacarnya selingkuh begitu saja. Jujur ia tidak sedang ingin menjalin hubungan dengan siapapun saat ini.

“William, Anak-anak kamu akan terus bertambah besar, Eve dan Son akan butuh ibu baru yang dapat membantu kamu membimbing mereka. Kamu tidak mungkin mengandalkan Gabby dan ibumu terus kan?”
     
Tentu saja tidak ada jawaban dari William, Anak laki-laki itu bingung harus bagaimana. Memang benar apa yang dikatakan Johan, tapi apa bisa ia kembali mencintai seseorang seperti ia mencintai Deana? Rasanya mustahil.
         
“Dan kamu, Gabriella, menikahlah, bawa calon suamimu ke hadapan Papa dan Mama, kamu tahu betul bagaimana keluarga Ardiwilaga, kita tidak membedakan si kaya dan miskin ataupun hal diskriminatif lainnya, Papa percaya kamu bisa memilih yang tepat.”
      
Gabby memandangi William yang kini menyandarkan punggungnya ke sofa. Berat sekali pasti bagi William untuk menggeser posisi Deana dalam hidupnya, tapi memang betul apa yang dikatakan Johan, William harus bangkit demi anak-anaknya juga.
      
“Willy?”
      
Panggilang Maria pada William yang khas itu, membuatnya mengerjap dan mengangkat kepala. Dilihatnya Maria yang memegang beberapa lembar foto dan di serahkan padanya.
      
Foto berisi gadis-gadis cantik dengan rambut panjang dan bibir berlapis lipstick. Apa maksud Maria?
“Apa?”
     
“Itu foto beberapa kenalan Mama, kamu bisa memilih satu diantaranya untuk dijadikan pacar jika kamu belum punya.”
     
“Oh my God, Mama..” Demi Tuhan William langsung menringis setelah mendengarkan ungkapan Mamanya. Jika maksud Maria adalah William akan dijodohkan laki-laki itu harus siap senjata terlebih dahulu. Ini memang bukan kali pertama Maria berniat menjodohkan William, tapi William tetap dibuat muak karenanya.
     
“Aku bisa cari pacar sendiri kok, Ma.”
     
Sepertinya Johan mulai tertarik dengan apa yang akan dikatakan William kemudian, dia memandangi anak bungsunya itu dengan dahi mengerut, dan William bingung harus kembali mengatakan apa.
    
“Atau kamu sudah punya pacar?” Kali ini Johan berkontribusi memojokkannya. Di sampingnya, Gabby tertawa cekikikan melihat William kembali di cecar orang tuanya.
   
“Gabriella, jangan menertawakan adik kamu. Kamu bisa Mama jodohkan juga kalau dalam dua minggu ini tidak ada pria yang kamu perkenalkan sebagai calon suami kamu.”

***
   
“Lo mau yang masih muda, atau yang udah berpengalaman?”
    
Apa katanya?
    
Beberapa saat yang lalu William meminta bantuan Gabby untuk mencarikannya gadis yang bisa ia kencani beberapa hari dan membawanya ke hadapan Maria dan Johan. Setelah itu ia akan meminta putus, seperti sebelum-sebelumnya.
   
“Terserah lo. Yang penting mau gue putusin setelah gue kenalin ke Mama dan Papa.”
   
Gabby tidak langsunng menjawab kemudian malah membuka contact person di ponselnya. Beberapa nama yang ia kenal sepertinya bisa membantunya, seperti Kate, Abby, Tita, Delphine, … tunggu Delphine! Iya gadis itu!
   
Gadis bernama Delphine yang dimaksudnya adalah salah satu karyawan di Golda, butik mahal dan terkenal miliknya. Ia ingat bagaimana Delphine mencintai anak-anak dan bukan perempuan manja penghambur uang. Ditatapnya William beberapa saat, Sepertinya William akan sangat mmebutuhkan tipe perempuan seperti Delphine.
   
Tapi bagaimana jika William benar-benar memutuskan Delphine setelah adiknya itu membawa Delphine ke rumah besar? Sedikit tidak rela karena Delphine adalah gadis baik-baik, pekerja keras, pintar dan cukup cantik.
   
Tapi, siapa tahu William benar-benar menyukai Delphine. Ia adalah orang yang akan sangat berbahagia jika akhirnya William menikah dengan Delphine suatu saat, membayangkan Delphine akan menjadi adik iparnya .. dan  membangun Golda bersama-sama.
  
“Kalau gitu, bisa datang ke butik gue besok?”
  
“Lunch?”
  
“Terserah, tapi jangan kesorean, kasian anaknya nanti.”
   
William hanya mengangguk-angguk mengerti sambil terus mengetikan jarinya di Macbook dengan beberapa pekerjaan yang harus segera di selesaikannya. Eve dan Wilson sudah tertidur lelap di ranjangnya. Kamarnya dulu di rumah besar lebih besar dari kamarnya di apartemen membuat Eve dan Wilson nyaman tidur di ranjang ayahnya sejak masih muda.
   
Sedangkan Gabby masih sibuk memoleskan kuteks di jari-jari kakinya. Bersekolah di Paris dan menjalankan bisnis butik membuatnya terlihat glamour kadang-kadang, Designya banyak dipakai artis terkenal dan kaum sosialita yang gemar menghabiskan uang.

Asalkan kalian tahu, Golda berdiri kuarang lebih empat tahun ini tanpa bantuan dan naungan Laga Group. Gabby sukses dibidangnya sendiri dengan penghargaan yang melimpah dari diri sendiri, lembaga dan orangtua.
  
“Eve sama Son, cakep banget sih .. beda sama lo dulu.”
   
Mendengar perkataan Gabby membuat William berhenti mengetikan jarinya di keyboard dan memandang ganas kakaknya yang kini sudah berbaring di samping Son. Tangannya mengusap rambut halus Wilson dan Eve bergantian.
 
“Ck, dasar … awas aja kalo mereka sampe bangun!”
 
Evelyn Sazy dan Wilson Abiputra adalah nama yang diberikan Gabby empat tahun silam. Saat itu William benar-benar payah memberikan nama bagi cucu pertama keluarga Johan Ardiwilaga, dan Gabby mengambil alihnya.

Tidak menyangka keponakannya akan sebegini lucunya.

***
      
Dua orang perempuan masih berkutat dengan pekerjaan masing-masing di Golda pada malam hari. Delphine masih menyelesaikan rajutannya untuk bunga di pakaian yang baru tadi di selesaikannya. Ada dua jenis bunga yang akhirnya ia buat, satu dengan rajutan dan satunya lagi dengan pita bahan sifon yang berhasil dibuatnya dengan sangat cantik.
       
Perempuan lain sibuk dengan komputer kapsul di tangan dan duduk dengan tidak wajar di sofa, sedari tadi ia mencari informasi menarik tentang jenis bahan baju yang cocok digunakan saat musim dingin, untuk ia tulis di pojok fashion majalah Spin-twirl edisi yang entah keberapa puluh. Sebut saja dia Yuma. Nama itu diperolehnya sekitar tiga tahun lalu saat kembali dari Perancis. Ia datang ke perancis dengan nama Yudi Mahardika, dan kembali dengan nama Yuma.
       
Yuma memang bukan wanita seutuhnya, tapi perlu kalian ketahui bahwa ia lebih wanita dari wanita lainnya.
       
“Del, Lo inget adeknya si Boss gak?”
       
Sambil terus merajut apa yang telah dimulainya, Delphine mencoba mengingat apakah ia mengenal sosok adik dari Gabby alias si Bos paling baik sedunia. “Gak, kenapa emang?”
       
“Doi, cakep banget tauuuu. Ih mau deh gue di kawinin.”
       
Spontan Delphine mengerlingkan mata dan menghela napas. Ini bukan kali pertama Yuma mengagumi kaumnya. Dan kali ini Yuma malah naksir adiknya si bos? Yang konglomerat itu? Sepertinya Yuma harus benar-benar mengubur identitasnya yang dulu jika benar-benar ingin menjadi bagian dari keluarga besar Ardiwilaga.
       
“Yakin gak lo, kalo dia mau sama lo?”
       
“Sialan!” Dengan kasar Yuma melemparkan bantal sofa ke arah Delphine dan meleset. Tambahan hal yang menyebalkan adalah Delphine menjulurkan lidahnya.
       
“Lo sendiri kapan mau kawin?”
       
“Pacar aja gak punya. Lagian enakan single kali, masih bisa kerja semangat dan masih bisa diandelin buat cuci piring di rumah.”
       
Jelas saja mata Yuma membelalak mendengar jawaban Delphine. Delphone terlalu naïf dengan menganggap membantu orang tua adalah segalanya, bekerja harus dengan semangat dan menjaga anak kakaknya adalah kebaikan tak terhingga. Sigh, masih ada orang senaif Delphine rupanya.


“Dear, lo cantik, pinter, Stylish model yang oke, punya kerjaan dan gue harap lo bisa lebih buka mata kalau jaman sekarang beda sama jaman nyokap lo dulu.”
            
Kali ini Delphine benar-benar mengalihkan apa yang tengah dikerjakannya pada Yuma. Ini bukan percakapan pertama mereka dalam hal yang sama. Berjuta-juta kali mulut ember Yuma memberitahunya untuk tidak menganut ajaran ibu-ibu terdahulu.
            
“Pointnya?”
            
“Pacaran sebatas ‘kecupan hangat di dahi’ itu kuno, ya minimal lo udah pernah make out gitu.”
           
 “Gilak!”

 

This entry was posted on Kamis, 25 Juli 2013 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply