Akhir-akhir ini Golda memang disibukan dengan banyak pekerjaan bagi para karyawannya, selain permintaan dari konsumen yang selalu membludak, baik gaun pengantin ataupun yang lainnya, Golda juga tengah mempersiapkan berbagai pakaian yang akan ditampilkan dalam Golda’s Fashion Show tahun ini. Acara yang rutin diadakan Golda ini selalu mendapatkan respon positif baik dari konsumen ataupun pengamat fashion.
Yuma masih bertahan di mejanya
dengan telfon dan dua ponsel yang sedari tadi terus berdering. Panggilan dari
Konsumen dan sponsor GFS kali ini tentu saja tidak bisa dihiraukan begitu saja.
Golda terdiri sebuah bangunan
berlantai empat dengan butik dan show
room berada di lantai satu dan dua, sedangkan sisanya adalah Kantor
sekaligus pantry. Pramuniaga di show room cenderung bisa lebih santai
dibandingkan karyawan kantor yang termasuk stylish & Assisten Designer
seperti Delphine dan Yuma yang kerap kali harus bolak-bailk show room – kantor
untuk menemui pelanggan khusus.
Ketika Gabby keluar dari ruangannya,
beberapa karyawan mulai menghampirinya. Ada yang sekedar meminta tanda tangan
atau memperlihatkan beberapa design yang telah dibuat.
Kesibukan Golda seketika diinterupsi
oleh Gabby dengan menepukkan tangan beberapa kali, dan dalam sekejap Golda
hening, kecuali Yuma yang masih sibuk dengan konsumen di ponselnya.
Istirahat dulu ya, nanti di lanjut
lagi.” Tanpa sadar semua karyawan menarik napas lelah dan menjatuhkan punggung
di sandaran kursi. “Kita harus punya energi lebih buat persiapan GFS tahun
ini!!”
Kemudian semuanya berteriak semangat
dan mulai meninggalkan meja masing-masing, beberapa orang masih menegakkan
badan karena pegal, termasuk Delphine yang baru selesai memperbaharui
designnya.
Delphine memang tidak terlalu
kompeten di design, tapi seperti yang Yuma katakan, dia adalah Stylish yang
oke.
“Del, mau makan bareng?”
Mendengar namanya disebut, Delphine
mendongak dan mendapati Gabby yang sudah berdiri di depan mejanya. Dengan
reflex dia berdiri dan mengangguk. “Café biasa mbak?”
“Iya, tapi tunggu adik saya dulu.
Mau ikut lunch bareng katanya.”
Yuma yang saat itu masih berkutat
dengan ponselnya langsung mengalihkan perhatiannya pada Gabby yang baru saja
menyebutkan kata ‘adik’. Jangan-jangan yang dimaksud Gabby adalah adiknya yang
duda keren itu! Bukan main bersoraknya batin Yuma ketika memikirkan si duda
keren yang setengah mati ditaksirnya.
“Saya, ikut ya, Boss?”
Dress yang digunakan Yuma lumayan
bagus, pikir Gabby saat melihat Yuma yang bersemangat ikut makan bersama.
“Bukannya kamu emang selalu ngintilin kami kan?”
“Jadi boleh ya, Mbak?” Tanpa
menunggu jawaban Gabby, Yuma langsung kembali ke mejanya dan memoleskan sedikit
bedak ke wajah cantik barunya. Menutupi beberapa bedak yang mulai tersamar oleh
keringat.
Berbeda dengan Delphine yang hanya mengenakan
Blus yang sedikit diatas lutut berwarna krem, berkerah hitam polkadot dan renda
di bagian bawah baju dengan corak yang sama. Rabutnya agak sedikit bergelombang
dan terkuncir kuda dengan pita hitam di simpul ikat rambutnya. Wajahnya
oriental dengan mata sipit dan bola mata coklat.
Gabby suka mata Delphine yang hanya
dihiasi dengan eyeshadow yang tipis dengan mascara yang tidak terlalu tebal dan
bulu mata palsu yang tidak terlalu tebal pula.
Beberapa saat kemudian pintu kantor
Golda terbuka dan menampakan seorang laki-laki yang tinggi dengan setelan jas
kantor dan sepatu hitam yang mengkilap. Delphine pernah bertemu dengan
laki-laki ini sebelumnya. Oh, tentu saja laki-laki yang dimaksudanya adalah
adik si boss.
Di sampingnya, Yuma sudah bergetar
hebat ketika William melangkah masuk dan menghampiri Gabby. Mereka berpelukan
dan William mencium kedua pipi kakaknya. Demi Tuhan, Yuma ingin pingsan melihat
bagaimana sosok William ada dihadapannya saat ini.
“Will, nih kenalin, yang ini
Delphine dan yang tinggi ini Yuma.”
Gabby membawa William kehadapan
Delphine dan Yuma yang kemudian di sambut senyuman dari keduanya. Oh, God.
Siapa pula yang tidak akan tersenyum melihat cowok seperti William dan berdiri
tepat dihadapan mereka.
Dalam hati Delphine meringis karena sempat
mengagumi wajah oriental milik William.
“William.”
“Delphine.”
“Yuma.”
Saat giliran Yuma yang menjabat
tangan William, Perempuan itu mengerlingkan matanya ke arah William dengan
nakal yang kemudian dibalas dengan senyum sungkan dari William.
Ugh. Yuma emang gak tahu tempat
banget kalo lagi kambuh!
Melihat penampakan Delphine yang
diceritakan Gabby tadi pagi benar-benar mengejutkan William. Pasalnya, yang dia
bayangkan adalah seorang gadis muda yang keibu-ibuan, tinggi dan menor. Bagaimana
bisa Gabby mempekerjakan seorang anak SMA seperti Delphine dan parahnya
kakaknya itu ingin William mengencaninya? Jangan bilang Gabby gila.
“Lunch sekarang aja yuk! Gue lapar
banget.” Gabby berjalan keluar dan menggandeng tangan Delphine. Dalam hati
Gabby menyimpulkan reaksi dari keduanya. Delphine dan William. William
jelas-jelas terlihat kaget ketika melihat Delphine dan gadis itu sendiri … ah
Gabby tidak bisa menarik kesimpulan terlalu dini.
William mengekor, masih tak habis
pikir dengan penampakan si Delphine-Delphine ini. Padahal Gabby mempromosikan
Delphine habis-habisan. Dia bahkan tidak yakin Delphine bisa ciuman.
***
Sambil menunggu makanan yang mereka
pesan datang, Gabby membuka topik pembicaraan mengenai William. Sekalian
pencitraan sepertinya. Sedangkan Yuma yang tahu topik pembicaraan kali ini
menyangkut William, benar-benar antusias dan tidak henti-hentinya membenarkan
rambut dan bajunya berkali-kali.
“Meskipun duda, William ini keren
kok. Umur berapa?”
Oke, saat ini
Yuma benar-benar kehilangan kontrol. Mana sopan menanyakan umur seseorang saat
pertama kali bertemu? Oh, God, Yuma memang the
one and only. Dan Delphine berhasil di buat malu sebagai sahabatnya.
“Dua puluh tujuh.”
Dua puluh tujuh?
Pantas saja wajahnya masih terlihat
begitu muda. Tapi mengapa William sudah menduda di umurnya yang masih sangat
muda itu? Oh, God. Mungkin William menyadari jika istriya adalah tipe cewek
yang suka morotin duit laki atau … batin Yuma masih terus berdebat tentang mengapa
William menduda. Hingga ia hanya bisa diam memandangi William yang memandangi …
Delphine … tunggu! Kenapa William malah memandangi Delphine???
“Malah cuma di pandangin doang. Ajak
ngobrol bisa kali.” Dengan jail Gabby menyikut William dan berbicara
terang-terangan. Membuat William setengah mati malu karena ketahuan
memperhatikan Delphine.
“Apaan sih.”
“Delphine jomblo kali, Will, iya
kan, Del?”
Kali ini Delphine yang kebingungan
dengan arah pembicaraan orang-orang di meja ini. Jujur saja, sedari tadi
Delphine sibuk berdebat dengan Galang di Whatsapp. Dan kalian jangan dulu
bertanya mengenai siapa Galang.
“Hah?”
Berbeda dengan Gabby yang gondok
setengah mati karena gagal membuat William malu, William sendiri malah menghela
napas lega karena gadis itu tidak sadar bahwa William memperhatikannya sedari
tadi.
***
“Yang bener aja, Kak. Gue yakin dia
masih SMA!”
Ketika tiba di ruangan kakaknya,
William langsung menghakimi Gabby yang bahkan belum sempat duduk di kursinya.
Apa maksud William sebenarnya sih?
“Maksudnya?”
Dengan kesal William duduk di sofa,
menyandarkan punggung dan mengangkat sebelah kakinya. “Maksudnya, Delphine yang
lo maksud ternyata masih kecil banget dan gue gak tega kalo harus macarin dia.”
Mulai mengerti dengan apa yang
dimaskud William, Gabby melakukan hal yang sama dengan duduk di sofa dan
memandangi William yang nampak kesal. Duh, adiknya ini meskipun status sudah
duda tapi tetap saja kelakuannya seperti anak-anak.
“She’s
24.”
Hah?
“Perlu gue ulangi sekali lagi?”
Benar-benar tidak disangkanya bahwa
Delphine sudah berusia 24 tahun, apa yang dipikirkan gadis itu sebenarnya
dengan berpenampilan seperti remaja 17 tahun? Atau memang Delphinenya saja yang
baby face, ya? Bisa-bisa Johan malan menganggap William mengencani anak di
bawah umur. Oh, God.
“Lo jangan ketipu sama out looknya
dia dong. Gitu-gitu dia karyawan favorite
gue!”
Gabby bangkit dan menuju kursinya
sendiri, sedangkan William hanya bisa memandanginya dengan kesal. Lalu apa yang
harus dilakukannya sekarang untuk mendekati Delphine? William mengerang
tertahan, merutuki sang Kakak yang belum menginteupsinya kembali.
“Apa yang mau lo lakuin sekarang?”
Dilihatnya Gabby yang sudah membaca
beberapa pekerjaannya dan membubuhi tanda tangan di mana-mana. Kenapa sekarang
malah Gabby yang balik bertanya?
“Kalo yang satunya lagi? Dia agak
dewasa dan agresif kayaknya, dan gue bisa lebih tega kalo sama dia.”
Sambil masih membubuhkan tanda
tangannya, Gabby berpikir tentang siapa yang dimaksud William. Jika perkataan
yang baru saja diucapkan William berarti tunggal, maka yang dimaksud William
adalah Yuma?! Oh astaga.
“Maksud lo …Yuma?!”
“Siapa lagi?”
Mata Gabby membelalak sempurna dan
tanpa sadar bangkit dari kursinya kemudian berdiri di depan William yang masih
duduk di sofa. Jelas sekali perempuan itu tengah menahan tawa. Benar-benar …
menggelikan!
“Yakin lo mau sama Yuma?”
Dengan heran William hanya
mengernyitkan dahinya dan memandang sang kakak penuh tanya. Memangnya ada apa
dengan Yuma?
“Yuma itu baru jadi cewek tiga tahun
yang lalu, dan sebelumnya dia itu cowok!”
“APAAAA?!”
***
Sebentar lagi seluruh karyawan Golda
bisa pulang ke rumah masing-masing. Ada yang malah membawa sebagian
pekerjaannya ke rumah, ada juga yang malah ingin segera menjauh dari segala
tugas yang ada.
Setelah membereskan mejanya dengan
baik, Yuma kembali memoleskan bedak pada wajahnya. Gila saja, ini sudah pukul
empat sore, dan bedak yang Yuma beli jauh-jauh dari distributor make-up Paris luntur setelah habis jam
kerja. Benar-benar mengecewakan.
“Yaudah, jangan kemalaman jemputnya.
Mama gak bakal ngijinin.”
Mendengar Delphine mengakhiri
percakapannya di telfon, Yuma langsung menodong sahabatnya itu dengan beberapa
pertanyaan yang membuat jengah Delphine. Padahal Yuma tahu betul Delphine
selesai berbicara dengan siapa.
Galang. Mantan pacar Delphine
setahun yang lalu. Cowok belasteran indo-inggris dan sukses jadi pacar pertama
Delphine pada saat itu. Setahunya, dulu Galang yang memutuskan hubungan dengan
Delphine karena harus pulang kampung ke Inggris, lalu dengan santainya sekarang
Galang kembali mendekati sahabatnya? Kok sialan ya?
“Mau ngapain lagi sih dia?”
Mereka sudah meninggalkan meja
masing-masing dan berjalan ke luar kantor. “Ngajak ketemuan katanya.”
Jawaban singkat Delphine benar-benar
membuat Yuma muak. Meski dia tahu Delphine sempat menolak ajakan si Galang itu,
tapi Yuma tetap tidak habis pikir jika Delphine akhirnya mau menemui laki-laki
yang dulu pernah mencampakkannya. Sungguh, Yuma tidak tahu hati Delphine
terbuat dari apa.
“Lagian, kenapa kalian bisa putus sih?”
Mereka masih berdiri di depan lift dan menunggunya terbuka. Yuma kembali
mencecar, “Gue gak yakin alesannya cuma gara-gara dia harus balik ke inggris
dan stay di sana setaonan gitu.”
Mata Delphine menyipit memandangi
Yuma dengan sebal. Sialnya, sahabatnya selama ia bekerja di Golda ini
menyebalkan sekali, Yuma punya cara-cara sendiri yang membuat Delphine akhirnya
tidak bisa berbohong.
Dengusan keras Delphine malah
membuat Yuma semakin semangat mengorek informasi tentangnya.
Setengah mati Delphine menutup
mulutnya. Masalah yang satu ini kalau bisa tidak boleh bocor pada Yuma. Karena
jika hal itu terjadi, maka seluruh karyawan Golda juga akan tahu. Bagaimana
tidak? Yuma adalah ratu gossip di kantor. Menyenangkan memang dalam beberapa
saat, tapi jika kita yang menjadi objek gossip Yuma, secara langsung efek
menyenangkannya kandas. Total.
“Ah, atau … jangan-jangan lo gak mau
di ajak ML sama doi ya?”
Mata sipit Delphine membelalak kaget
mendengar tebakan dari Yuma. Sial! Kenapa? Karena tebakannya tepat!
“Siapa yang ML?”
Tiba-tiba Gabby sudah berada
diantara mereka, lengkap dengan tatapan kaget dari William. Oh, God. Tamatlah
sudah nasib dia sebagai karyawan baik-baik.
Buru-buru Delphine menggeleng dan
mengibas-ngibaskan tangannya. Boro-boro ML. ciuman saja dia belum pernah.
“Kamu? ML?” Gabby menunjuk Delphine
yang saat ini benar-benar terlihat pucat pasi. Kemudian Gabby merangkul
Delphine yang lebih pendek darinya, membuat gadis itu tegang seketika dan
serasa ingin mati saja. “Delphine maksud kamu, Yum? Kalo kamu sih saya
percaya.”
Bahu tegang Delphine merosot dalam
rangkulan Gabby. Untung saja si boss baik hati tidak percaya dengan apa yang
dikatakan Yuma. Sialannya Yuma jadi kuadrat! Matanya kembali memicing ke arah
Yuma yang saat ini sedang menahan tawa.
Selain itu William juga tidak
percaya gadis seperti Delphine bisa berbuat sejauh itu. Sesuai ekspetasi
pertamanya saat melihat Delphine, gadis itu benar-benar naïf.
***
William menyempatkan diri pulang ke
rumah besar untuk melihat keadaan si kembar Eve dan Wilson. Seperti biasa,
rumah besar selalu terlihat sepi meskipun ia tahu betul berapa banyak yang
menghuni rumah ini.
Jasnya tersampir di lengan sedangkan
lengan kemejanya sudah tersingkap hingga siku. Dia menemukan Eve dan Wilson
yang sedang bermain di depan televisi di ruang tengah. Mainan berserakan
dimana-mana. Lego, Barbie, mobil remote control.
Saat menyadari keberadaan Ayahnya,
si kembar langsung berhambur kepelukan William. “Hallo, Eve, Son.” William bergantian
mencium kedua anaknya. Di dahi, kedua pipi dan bibir mereka yang kecil dengan
ringan.
“Pop, ayo temenin Eve main Barbie.”
Di pangkunya Eve dan Son, dia
terbiasa menggendong kedua anaknya bersamaan seperti ini. “Pop mandi dulu,
oke?”
Keduanya cemberut seketika. Apalagi
Eve yang mulai sebal karena merasa sang ayah tidak lagi perhatian padanya.
“Pop, gak suka ya main sama Eve?”
Oh, apa katanya?
Mana mungkin. William mencintai
mereka lebih dari apapun yang ada di muka bumi ini. Di tatapnya Eve dengan
lembut, lalu disadarinya bola mata Eve yang berwarna cokelat terang. “Pop,
sayang sama kalian berdua. Dan gak mungkin Pop gak suka main sama kalian.”
“Tapi Pop jarang di rumah.”
Ungkapan terakhir dari mulut Eve
membungkam mulut William. Dipeluknya si kembar dengan penuh kasih sayang, erat
dan seakan tidak ingin terpisah walaupun hanya sepersekian detik.
Dulu, jeritan tangis mereka berdua
yang menyambung nyawa William, untuk tetap bertahan hidup setelah di tinggal
Deana. Sekarang rengekan manja mereka membuatnya sakit hati, bagaimana tidak?
William merasa gagal menjadi seorang ayah dengan tidak selalu berada di samping
kedua anaknya.
***
Sebuah blus diatas lutut berlengan
pendek membalut tubuh Delphine dengan cantik. Gelang perak yang dibelinya
beberapa minggu yang lalu dari teman Yuma kini menghiasi lengan kirinya.
Kakinya terbalut high heel suede
berwarna merah terang. Di bahunya tersampir shoulder
long strap bag dengan twist lock flap
closure berwarna biru yang seingatnya adalah hibahan dari sang kakak.
Kini gadis itu berdiri di hadapan
seorang laki-laki yang tengah bersandar ke lancer terbaru miliknya. Menurut
kalian? Siapa lagi kalau bukan Galang yang sebelumnya berusaha setengah mati
mengajak Delphine keluar malam ini.
Menyaksikan kecantikan gadis yang
dulu adalah kekasihnya ini membuat Galang terpesona. Malam ini Delphine seakan
bisa membekukan waktu dan membuatnya hanya diam dengan lidah kelu dan mata yang
menangkap penuh mata cokelat terang milik Delphine.
“Where
are we going now?”
Suara lembut Delphine menyentakannya
kembali ke alam nyata. Ada sebagian dari dirinya yang masih tertinggal
dalam-dalam di hati Delphine. Mungkin mengendap di sana, tersisih dan tak
terlihat lagi.
Salahnya memang mengapa dulu hanya
mengandalkan nafsu dan membuat Delphine lepas dari genggamannya. Mungkin saat
ini aia harus kembali mendapatkan Delphine dan mengambil sebagian dari dirinya
kembali.
“Jangan protes, Oke?”
Masih bingung dengan apa yang baru
saja di ucapkan Galang, lengannya sudah di tarik laki-laki itu menuju bangku penumpang
depan. Dilihatnya Galang yang masih mempertahankan senyumannya bahkan saat
mobil sudah mulai melaju.
Dulu, senyuman Galang adalah hal
yang membuatnya menyandu kasih, sekarang lain, meskipun jantungnya masih sering
berdebar liar entah kenapa.
***
Hentakan musik dari alat pengeras
suara yang entah dipasang berapa ribu volt membuat kepala William pusing.
Pandangannya memburam melihat para hedonis yang menghabiskan waktu di lantai
dansa dengan musik keras dan tarian erotis. Di sampingnya ada Burhan, clientnya untuk kerja sama baru di
bidang property bersama Karta Group. Entah kenapa Johan malah memintanya
menyanggupi undangan Burhan untuk menghabiskan waktu sambil membicarakan
masalah bisnis di night club milik
laki-laki tua berperut buncit itu.
Di leher laki-laki tua itu ada
sepasang lengan cantik yang sedari tadi menggelayut manja pada Burhan. Beberapa
kali dengan nakal mengecup atau bahkan bergelut lidah dalam mulut yang
benar-benar membuat William muak sekaligus gelisah.
Sudah di tenggaknya tiga gelas
alkohol yang disuguhkan Barhan, dan William benar-benar tidak akan meminumnya
lagi. Tenggorokannya panas bukan main setelah menenggak satu gelas alkohol dan
pandangannya memburam ketika menenggak gelas ke tiga.
Seorang perempuan dengan pakaian
super mini dan rambut halus yang tergerai menghampiri William dan duduk di
sampingnya. Tidak. Hampir duduk di pangkuan William.
Laki-laki itu mengerang tertahan
ketika sebagian besar reaksi tubuhnya mengambil alih akalnya sendiri. Tanpa
sadar lengannya menarik kepala si gadis dan hanya dikecupnya dengan ringan.
“HUEEEEK!”
Yang terjadi kemudian adalah William
yang memuntahkan isi perutnya di dada si gadis.
“AWWWWW!!”
Jeritan si gadis malang tetap tidak
terdengar di dalam suasana bising dan gelap night
club ini.
William di dorong hingga terjengkang
di sofa, dan si gadis malah merengek melihat kondisi tubuhnya saat ini.
Sekuat tenaga William bangkit dan
berlari menuju toilet untuk kembali mengeluarkan isi perutnya.
***
Sial! Kenapa Galang dengan beraninya
malah membawa Delphine ke tempat seperti ini.
Ini adalah kali pertama baginya
mengunjungi night club. Rasanya benar-benar aneh melihat orang-orang bergerak
liar di atas lantai dansa dengan musik yang menghentak keras. Gadis ini takut
pada beberapa orang yang berjalan limbung karena mabuk dan kerap kali menabrak
beberapa orang. Padahal Delphine
sudah duduk diantara Galang dan teman-temannya, dengan tautan tangan yang tak
terurai dan kali ini malah Delphine yang setengah mati enggan melepasnya.
Delphine diam ditempatnya sambil
curi-curi dengar suara Galang dan teman-temannya yang sedang membicarakan
masalah kontruksi bangunan. Mungkin ini berhubungan dengan bisnis, atau yang
lainnya. Sungguh, Delphine tidak ingin berlama-lama di sini. Ia hanya ingin
cepat pergi dan menendang Galang sekencang-kencangnya.
“Lang, Aku ke toilet sebentar ya.”
Bisikan Delphine sama sekali tidak
terdengar karena hentakan musik yang keras jelas meredam suaranya. Putus asa,
Delphine sedikit berdiri dan mendekatkan mulutnya ke telinga Galang. Sekali
lagi ia mengulangi perkataannya, “Aku mau ke Toilet.”
“Mau dianter?”
Jelas saja mata Delphine membelalak
mendengar tawaran dari Galang. Antar katanya? Ke Toilet? Tidak. Tidak usah.
“Gak usah.”
"Oke, take care.”
Setelah mengangguk pada teman-teman
Galang yang masih memperhatikannya, Delphine langsung melipir pergi. Setidaknya
ia bisa terlepas dulu dari manusia sialan bernama Galang dan kemudian menemukan
Toilet dan kemudian pulang melarikan diri dan kemudian ….
“Aww!”
Seseorang menambraknya dari belakang.
Laki-laki. Gadis itu mengumpat keras melihat laki-laki itu berlari sambil
sedikit membungkukan tubuhnya.
Ada apa dengan semua orang di sini?
Dengusan kesal kembali terlantun
dari mulut Delphine. Kemudian matanya menatap Night club ini dengan sesama.
Cahaya yang memendar remang dan semakin Delphine berjalan jauh, semakin banyak
orang yang berlaku aneh, eh? Berciuman di sisi dinding dengan erangan
menakutkan termasuk hal anehkah?
Ah, akalnya menginterupsi untuk
segera meninggalkan tempat ini dan kabur dari Galang, tapi reaksi yang
diberikan tubuhnya lain. Delphine benar-benar ingin pipis. Sekarang juga.
Omong-omong toiletnya dimana? Kenapa
Night club ini ternyata begitu luas?
Kakinya dibuat pegal dengan tinggi
sepatu 10 senti. Masih dengan kepala yang berputar kemana-mana mencari ruangan
bernama Toilet, seseorang kembali menabraknya. Kali ini dari arah belakang.
“Aww!”
Delphine menatap berang laki-laki di
depannya. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati William dengan wajah pucat
berdiri di hadapannya saat ini. Tangannya berada di perut dan sedikit
menekannya entah kenapa.
“Kamu ngapain disini?”
Boro-boro bisa menjawab pertanyaan
William yang dilantunkan sangat pelan, Delphine malah mematung menyaksikan adik
laki-laki bossnya berada di tempat seperti ini. Bagaimana bisa? Bukankah
keluarga besar Ardiwilaga adalah keluarga terpandang? Kenapa bisa-bisa salah
satu anggota keluarga mereka ada di tempat seperti ini?
Please, segala hal diluar batas
kewajaran Delphine yang naïf adalah aneh. Tolong kalian mengerti.
Sedangkan William yang melihat
keterdiaman Delphine malah mendengus sarkastis, tidak bersuara apalagi menggema
memang, tapi cukup membuat perut Delphine seperti diperas dengan keras dan kencang.
Duh.
“Oh, seharusnya saya gak usah nanya.
Memangnya apa yang orang lakukan di night club seperti ini?”
Begitu saja yang dikatakan William,
kemudian laki-laki itu bergerak meninggalkan Delphine yang masih berdiri dengan
lidah kelu dan Menahan pipis yang sudah benar-benar di ujung.
Lagi pula kenapa William selalu
menemukannya dalam keadaan buruk dan tidak dalam pencitraan yang baik?