Gold Hold [Chapter 3]



 
Darahnya naik mengalir lebih cepat hingga ke ubun-ubun, marah bukan main ketika melihat William pergi begitu saja melewatinya. Dia berbalik saat William masih belum terlalu jauh darinya. Laki-laki itu berjalan agak limbung. Delphine masih menggerutu kasar dengan kaki yang lecet karena sepatunya sendiri, padahal William menggunakan setelan jas lengkap layaknya seorang direktur, kenapa bisa-bisanya dia berada di sini?

            Gadis itu masih diam ditempatnya dengan tangan terkepal dan memandangi William yang bahkan kini sudah tidak terlihat.

            Seketika tubuhnya tersentak kaget merasakan sebuah lengan yang kini menyentuh lengannya yang masih terkepal. Buru-buru Delphine berbalik dan siap menghajar siapa saja yang berani-beraninya menyentuh dirinya.

            Galang?

            Kenapa dia ada di sini?

            Eh?

            Tubuhnya tertarik ketika Galang merengkuhnya dengan tiba-tiba. Delphine bisa merasakan bagaimana eratnya pelukan pemuda itu. Kepalanya mendongak di bahu sang mantan, karena tinggi mereka yang tak setara.

            “Lang…”

            Sekuat tenaga Delphine mencoba melepaskan diri dari pelukan Galang. Rasanya sesak. Lain dari dulu. Dekapan hangat Galang adalah tempat paling nyaman baginya. Batinnya mulai bergejolak tak suka. Pada bumi, udara, alam, Tuhan dan takdir. Mengapa harus ada perubahan?

            “Lang, sakit…”

            Ketika mendengar rintihan Delphine, barulah Galang tersadar dan mengurai rengkuhannya. Ditatapnya Delphine dan mengunci bola mata gadis itu. Kenapa sulit sekali mengurai perasaannya sendiri? Pada siapa? Jelas pada gadis berbadan flat di depannya kini. Gadis yang bahkan tidak bisa di bandingkan dengan kecantikan siapapun. Gadis biasa yang sudah menawannya dengan rasa luar biasa.

            Sial, karena dulu dia menyia-nyiakannya.

            Sejujurnya Galang khawatir pada Delphine yang tidak kunjung kembali dari toilet. Dia melihat kebagian dalam toilet wanita dengan hasil jeritan kaum hawa yang menyaksikan seorang pejantan merangsek masuk ke dalam daerah privat gender itu. Padahal dia sudah menggadaikan rasa malunya, tapi Delphine tidak ada di sana.

            “Kemana aja kamu?”

            Suaranya pelan dan tercekat. Seingatnya, Galang selalu mendesis seperti ini ketika sedang marah atau Delphine melakukan kesalahan. Oh, tentu saja itu dulu ketika mereka masih terajut asmara.

            Lidahnya kembali kelu, gadis itu tidak menjawab apapun yang ditanyakan Galang. Dia hanya menyaksikan bagaimana Galang kembali menghakiminya ketika dia salah. Rindunya bersarang di sana. Entah kenapa. Tapi jelas-jelas dia merindukan caranya sendiri untuk membuat Galang kesal.

            Beberapa saat tidak ada suara diantara mereka. Ketika Galang menariknya, Delphine mengira mereka akan kembali ke meja dengan pemandangan pebuh orang-orang hedonis seperti sebelumnya.

            Ternyata tidak.

            Laki-laki itu menarik Delphine ke tempat parkir dan mereka kembali menaiki lancer milik Galang. Kali ini entah kemana Galang akan membawanya. Yang jelas ini bukanlah jalan kembali ke rumah. Masih tidak ada percakapan diantara mereka.

            Dengan geram Galang melihat ke arah Delphine yang tengah memandangi jalanan melalui kaca di sampignya. Dagunya seperti tertanam di sisi kaca, beberapa kali bernapas dan mengeluarkan embun yang menempel di kaca mobilnya.

            Dia memang salah karena berani-beraninya mengajak Delphine ke tempat seperti itu, tapi Delphine juga salah karena telah membuatnya khawatir seperti ini. Ugh, jelek sekali hubungan mereka.

            Delphine tidak mengenakan safety beltnya, dan hal itu membuat Galang kembali mendengus kesal.

            Gadis itu mengalihkan perhatiannya dari kaca mobil ketika merasakan lancer yang ditumpanginya berhenti. Ia memandang Galang yang kini tengah menatapnya. Tunggu? Ini di pinggiran jalan. Ada yang salahkah dengan mobilnya?

            “Kenapa berhenti?”

            Sama sekali tidak ada jawaban verbal yang keluar dari mulut Galang. Ia hanya merasakan Galang yang mendekat dengan mata yang tak melepskannya sedikitpun. Dengan refleks Delphine menjauh ketika Galang semakin mendekat. Wajah mereka hanya tinggal beberapa senti dan Delphine bisa melihat bagaimana mata tajam Galang berkilat kesal.

            Apakah ia berbuat salah? Oh, jangan bilang insiden tadi di night club yang membuatnya kesal? Matilah Delphine.

            Satu lengan Galang terulur dan hal itu membuat Delphine tercekat. Oh God, Oh God Oh God …

            Galang menarik safety belt Delphine dan memakaikannya dengan kencang. Setelah itu ia kembali bersama kemudinya dan menjalankan mobil. Hanya itu? Laki-laki itu hanya berusaha memakaikan safety beltnya? Oh astaga …

            “Kebiasaan buruk kamu.”

            Terdengar satu kalimat pendek saja malam itu dari Galang. Delphine paham betul apa maksudnya. Dulu, Keluarganya pernah mengalami kecelakaan mobil dan ibunya tidak bisa terselamatkan karena memiliki luka paling parah diantara semua penumpang mobil saat itu. Ibunya yang berada di bangku penumpang depan jelas menjadi korban terparah apalagi dengan kondisi tidak mengenakan safety belt.

            Dan yang Delphine tahu, Galang mulai paranoid dengan satu hal bernama safety belt, ketika masih berhubungan saja, mereka sering bertengkar gara-gara kebiasaan buruk Delphine yang jarang mengenakan safety beltnya.

            Jika kalian sadar mengapa Delphine bisa sangat mengerti Galang nantinya, aku tak akan meminta penjelasan apapun. Aku hanya ingin mengemis beberapa sayap doa untuk di terbangkan pada Tuhan, untuk Delphine, yang jika suatu saat nanti mencinta kemudian terjatuh, ia bisa kembali bangkit kemudian kembali mencinta.

***
            William kini berbaring di king size bed miliknya tanpa mengganti pakaian ataupun melepas sepatu. Matanya terpejam menghadap lampu yang menyala dengan begitu terang. Mungkin saat ini William lebih terlihat seperti Edward yang merindukan Bella. Napasnya memang teratur, tapi detak jantungnya tidak sama sekali, seperti memendam seribu kekhawatiran dalam hatinya hingga meradang karena tak kunjung terurai.

            Padahal apa? Ia sama sekali tidak tahu mengapa otaknya terus-menerus memperlihatkan bayangan Delphine saat di night club tadi. Entah dia telah melakukan sesuatu yang benar dengan secara tidak langsung menjudgenya sebagai ‘bukan wanita baik-baik’ –tapi, apa bedanya dengan William yang juga berada di tempat yang sama, atau …

            Atau dia tidak tahu sama sekali tentang apa yang kini mengganjal di hatinya. Lagi pula bagaimana Bisa Gabby mengatakan bahwa Delphine adalah wanita baik-baik sedangkan ia melihat sendiri Delphine berada di night club.

            Tidak bisa dipercaya memang mengapa William bisa se-sarkatis ini. Tapi nyatanya memang begitu. Kalian jangan menuduhku melebih-lebihkan atau apa.

            Tok-tok-tok!

            Suara pintu jati kamarnya terdengar di ketuk seseorang, tapi William sama sekali tidak beringsut bangun atau sekedar menyahut. Yang ia lakukan adalah semakin memejamkan matanya dan berusaha membunuh Delphine dalam bayangannya.

            “Will, pindahin anak-anak tuh. Mereka tidur di kamar gue.”

            William malah meringkuk semakin dalam dan mengubah posisi hingga memunggungi sang kakak tercinta. “Gak apa-apa lah, sekali-kali mereka tidur di kamar tantenya.”

            Dipukulnya lengan William sekali dan sukses membuat laki-laki itu meringis. Ya, satu kali memang, hanya satu kali, tapi perlu kalian ketahui di balik kehalusan lengan Gabby ada seribu kekuatan melebihi cheng-sul di film a werewolf boy. Oke ini hiperbola abis.

            “Masalahnya, terakhir mereka nginep di kamar gue, mereka ngompol!”

            Beberapa saat kemudian tidak ada reaksi berarti dari William yang kini masih membuka matanya dan malah menulikan pendengarannya dari omelan Gabby. Dia memang sangat rindu anak-anaknya, tapi tidak sekarang. Tidak sekarang saat ia malah memikirkan sosok gadis lain selain Deana.

            “Kak?”
            “Apa?”

            Suara Gabby masih terdengar galak, tapi kali ini William bisa melihat kakaknya itu tengah mengetikan sesuatu di ponselnya. Tanpa sadar ia menghela napas berat.

            “Katanya Delphine anak baik-baik, polos, tapi … so’ polos sih iya!”

            Mungkin sakit hati kali, ya, karena William sempat mengagumi paras Delphine saat lunch bersama tadi siang.

            “Kok gitu?”

            Dengan refleks Gabby mengalihkan perhatian penuhnya pada William yang kini malah menatapnya lurus-lurus.

            “Tadi, pas gue ke night club buat Menuhin undangan client Papa, gue ketemu dia. Di sana.”

            Mulut Gabby terbuka, yang jelas saja saat ini mengurangi keanggunan yang sudah ia bangun sedemikian lama, sirna semua saat Gabby malah melongo menatap adiknya. “Sendiri?”

            “Mana mungkin sih ke night club sendiri. Ngapain coba?”

            “Setahu gue, Delphine bener-bener buta kalo nyangkut masalah night life gitu. Bener deh… lagian emang kenapa kalo dia ada di night club?”

            Gak rela ajaaaaaa, kalo ternyata dia udah di apa-apain orang gimana?

            Dalam hati William refleks menjawab pertanyaan kakaknya. Tapi tentu saja tidak sampai menggerakan pita suara dan terlantun keras-keras, dia hanya mencoba meradangkannya dalam hati.

            “Jangan bilang lo udah suka sama dia?” Gabby mulai menggoda William bahkan hingga wajahnya memerah. Seperti tomat, buah kesukaan Eve dan Wilson.

            “Mana mungkin?”

            Pertanyaan yang sama terlantun kembali, kali ini untuk dirinya sendiri. Lagi pula mengapa sosok Delphine belum enyah juga dari pikirannya sekarang? Hah?! Membuat William migraine tiba-tiba dan mual dalam waktu yang bersamaan.

            Oh, God. Dia merasakan dirinya berada dalam de Javu ketika dulu tak bisa melepas bayangan Deana dalam benaknya.

            Mana mungkin?

***

            Papa Delphine adalah polisi, dan Mamanya nya hanyalah Ibu rumah tangga biasa. Delphine adalah anak bungsu dari empat bersaudara, ketiga kakaknya sudah menikah dan tinggal di kota yang berbeda. Rumah sederhanya menjadi sangat sepi memang, tapi kali ini cukup terobati karena kehadiran Alexandra adik sepupunya dari Yogyakarta yang kini tinggal di rumahnya karena harus berkulian di Jakarta.

            Saat itu masih sangat pagi, dan Papa sudah pergi ke kantor. Ibu terbiasa menyiram tanaman di halaman depan rumah setiap pagi, dan Delphine sudah bersiap-siap akan pegi ke Golda. Pakaiannya masih blus –model pakaian yang sedang disukainya saat ini, tapi kali ini dengan lace bolero lengan panjang dan flat shoes berwarna senanda yang terpaksa dipakainya.

            Ugh, bagaimana tidak?

            Kemarin kakinya lecet karena memakai high heel suede merah ke night club, plus di tarik-tarik Galang.

            Alexandra mengekori ketika Delphine telah sampai di pintu, dan menghampiri Mama yang masih mengguntingi tangkai mawar yang mengering.

            “Ma, Delphine berangkat dulu ya?”

            “Lexy, juga ya tante ..”

            Mereka menunggu Mama melepas sarung tangannya dan mencium punggung tangan Mama bergantian. “Mau pada berangkat naik apa? Mobil kamu kan masih dipinjam Mas Dante, Del?”

            Malam kemarin saat Delphine pergi dengan Galang itu, mobilnya memang dipinjam Mas Dante, kakak sulungnya yang terpaksa harus pergi ke Yogyakarta untuk urusan kantor di sana, mobil Mas Dante sendiri sedang berada di Bengkel dan hanya bisa diambil satu bukan ke depan.

            Hampir saja Delphine lupa dan bersiap akan mengeluarkan mobil dari garasi. Tangannya tidak merasakan sebuah kunci dengan gantungan super besar berbentuk Barbie Khas Korea, dan saat itulah Delphine sadar ia tidak bisa menggunakan mobilnya saat ini.

            Lalu bagaimana nasibnya dengan Alexandra pagi ini?

            “Gimana dong, Kak? Lexy ada kelas pagi.”

            Nasib memang hanya Tuhan yang menentukan, Disaat dirinya harus benar-benar datang pagi buta ke Golda mobilnya malah tidak ada, apalagi kini Alexandra yang merengek karena kelas paginya.

            “Panggil taksi aja, Nduk.”

            “Gak ada pilihan lain juga, Tenang Lex, Kakak telfon taksi dulu.”

            Dirogohnya tote bag yang menggantung di lengan dengan kesal, mencari keberadaan smartphone berlogo apel yang di dapatnya dari pameran besar-besaran kota Jakarta bulan lalu bersama Yuma yang juga sama-sama berburu Gadget.

            Ada satu kontak perusahaan Jasa Taksi yang sengaja disimpannya untuk berjaga-jaga terhadap keadaan seperti ini. Belum sempat ia menekan tombol hijau di ponselnya, seseorang mengagetkannya dalam seketika, suara baritonnya yang khas membuat Delphine tidak perlu menebak siapa yang baru saja hadir diantara mereka saat ini.

            Galang.

            Laki-laki itu tengah tersenyum dan mendekati Mama untuk mencium punggung tangannya. Tentu saja Mama terkejut atas kehadiran mantan calon mantunya.

            “Apa kabar tante?”

            “Baik, loh kapan pulang dari Inggris? Kok ndak ngasih tahu sebelumnya?”

            Mama memang tipe orang yang ramah pada siapa saja, termasuk pada orang yang bahkan telah membuat Delphine menangis sepanjang hari saat Galang memutuskan hubungan mereka. Mama tahu betul bagaimana Delphine menangis saat itu, jadi mengapa beliau masih begitu ramah pada Galang?

            Gadis dengan Tote bag ditangan yang kini sedikit terbuka itu hanya bisa meringis ketika Galang melakukan foreplay dengan balas beramah tamah pada Mama. Demi Tuhan apa yang sedang dilakukan laki-laki itu sebenarnya? Kembali mengambil hati Mama? Tapi kenapa?

            “Mau jemput Delphine, Tante.”

            Kepala Delphine langsung mendongak mendengar jawaban Galang saat menanyakan maksud dirinya berkunjung pagi-pagi sekali ke rumah. Sejak setahun yang lalu, setelah Galang memutuskan hubungan mereka dan menetap di inggris, Tidak ada bentuk perhatian sama-sekali dari laki-laki itu. Lalu kenapa dengan tiba-tiba Galang merangsek masuk kedalam kehidupannya lagi? Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Berlaku seolah air mata yang Delphine tumpahkan setahun lalu hanyalah tafsiran kesakitan yang menyedihkan dan taksepantasnya diingat bahkan diketahui?

            Tiba-tiba saja Delphine merasakan tangannya di sentuh seseorang, wajah Galang sudah memamerkan senyumannya, giginya berderet rapi dan semuanya membuat Delphine seolah terhempas jauh-jauh ke masa lalu, saat sebuah sungai belum membentang dan mengalirkan air di depan matanya.

            Kemudian tubuhnya ditarik dengan lembut. Mama terlihat melambaikan tangan dan mengucapkan salam seperti biasa, Alexandra mengekori. Pembicaraan apa yang terjadi selama ia terapung-apung di bayangan masa lalunya tadi? Mengapa saat ini dia sudah berada di bangku penumpang depan lancer Galang dan Alexandra mengekori dengan duduk di belakang.

            Lidahnya masih kelu. Entah hanya masih tidak menyangka dengan kehadiran Galang atau terjebak dalam bayangan masa lalunya sendiri, terperangkap dan meradang bersama lapisan rindu yang entah sudah bertumpuk seberapa tebal.

            Tenggorokannya meneguk ludah yang kemudian sangat terasa pahit saat Galang memasangkan safety beltnya seperti hari kemarin, seperti setahun lalu dan kembali seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

            “Kenapa diem aja sih?”

            Suara baritone Galang terdengar dan menggema di telinganya saat lancer mulai melaju di jalan aspal dengan sempurna. Delphine perlu memutar tubuhnya untuk melihat Alexandra yang sekarang duduk dengan manis di jok penumpang belakang sembari memeluk boneka tazmania yang tergeletak di sana.

            Ugh, betapa Tuhan merencanakan hari sialan ini dengan sangat apik, boneka tazmania yang tengah di peluk Alexandra itu adalah milkinya. Dulu ia selalu menyimpannya di mobil Galang dan memeluknya erat-erat saat hanya berdua. Dulu lancer ini memang bukan mobil Galang, tapi Delphine tidak menyangkan laki-laki itu masih menyimpan boneka miliknya.

            “Gak mau ngenalin aku sama cewek di belakang nih?”

            Galang kembali berseru. Kali ini cukup membuat Delphine sedikit responsive dengan mendengus dan memukul lengannya. “Lex, ini Galang.”

            Alexandara yang merasa kakak sepupunya sudah kembali ke alam sadar tersenyum dan memandangi punggung Galang yang sedikit terlihat dari tempat duduknya saat ini. “Oh, Jadi ini toh cowok yang sukses bikin Lo nangis kejer seharian?”

            Oh, God, apa katanya? Kenapa Alexandra malah berubah menjadi orang kampret dengan mulut yang sangat menyebalkan sekali saat ini?

            “Kamu nangis kejer? Pas aku berangkat ke Inggris itu?”

            Tuhan, Alam, angin dan mulut kampret Alexandra sukses membuatnya berada pada pagi hari yang menyebalkan dan terombang-ambing dalam tawa mereka yang kemudian malah membicarakan kekonyolan Mike dan Sullivan dalam monster Univeristy. Situasi yang awakward dengan orang-orang yang tak kalah awakward.

            Mereka masih tertawa berdua saat lancer Galang berjalan melewati perempatan jalan raya yang cukup ramai. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu hingga tidak melihat jalanan di depan dan hampir menabrak sebuah mobil yang lurus melaju dengan berlawanan arah. Mobil memang melaju dengan kecepatan standard tapi karena kecerobohan Galang, mobil terpaksa di rem mendadak untuk menghindari benturan dengan mobil di depannya. Membuat mereka terhempas ke depan karena gaya gesek mobil yang tiba-tiba terhenti.

            Alexandra menahan dirinya dengan cukup baik, tapi Delphine sedikit terbentur dashboard dan terhempas kembali berkat safety belt yang digunakannya. Meski begitu, gadis itu tetap meringis dengan dahi yang kini sedikit terlihat memerah.

            Galang sendiri sedikit membentur kemudi dan menekan klakson kuat-kuat, tidak dipikirkannya dirinya sendiri, dia hanya khawatir terjadi apa-apa dengan Delphine atau Alexandra.

            “Del, kamu gak apa-apa?”

            Lengannya yang mencoba menyentuh lengan Delphine terhempas begitu saja karena gadis itu menepisnya dengan kasar. Galang semakin panik, pikirannya mengalunkan bayangan masa lalu saat kecelakaan yang menimpa keluarganya dan merenggut nyawa Mama. Dia tidak ingin semuanya terulang kembali, tidak ingin kehilangan orang yang di sayanginya untuk keduakalinya. Tidak ingin. Tidak . Jangan.

            “Maaf, Del ..”

            “Kak Galang! Yang bener dong bawa mobilnya, lo mau kita semua mati di sini apa?”

            “Enggak!”

            Suara Galang terdengar sangat keras dan lantang di dalam mobil. Delphine tahu betul bagaimana perasaan Galang menghadapi kejadian seperti ini, Gadis itu tahu betul bagaimana Galang tidak mau kehilangan orang yang dia sayangi kembali. Lantas kenapa Delphine malah menepis Galang tadi?

            Refleks, katanya.

            Seseorang mengetuk pintu mobil dan Galang sepertinya mulai tersadar, “Kalian gak apa-apakan?” Masih ada kekhawatiran yang seperti terukir dengan jelas ketika Galang memastikan kembali bahwa tidak ada yang terluka.

            Kemudian mata Delphine menangkap sosok lain yang kini menunggu Galang keluar dari dalam mobil. Laki-laki dan Tinggi. Mengenakan setelan jas mahal dengan dasi yang mencekik sempurna dan terlihat benar-benar elegan, wajahnya tidak asing …

            Ugh, silahkan ucapkan salam duka pada Delphine karena kini William berada di depan Galang dan sedikit marah karena laki-laki itu yang ceroboh menjalankan mobilnya.

***

            Hari ini adalah hari pertama bagi Eve dan Wilson untuk menginjakan kaki dan belajar di taman kanak-kanak. Mereka semakin beranjak besar dan semakin menyebalkan, bagaimana tidak? Sepasang anak kembarnya itu memaksa sang Pop untuk mengantarkannya ke sekolah, dan duduk di bangku penumpang depan. Berdua. Satu safety belt digunakan berdua, konyol.

            Si kecil Eve sudah siap dengan seragam barunya, ransel berwarna baby green dan rambut hasil kunciran Gabby dengan simpul pita hijau yang cantik dan membuat rambut kecoklatannya tidak terlihat pucat. Begitupun dengan Wilson, yang berbeda hanya Wilson tetap membawa PSP kesayangannya dan memainkannya sepanjang jalan. Padahal William sudah melarang Wilson membawanya karena bisa dipastikan Wilson akan memainkannya sepanjang hari.

            “Pop, guru itu apa?”

            Eve dengan bibir cerewetnya selalu bertanya hal-hal yang baru diketahuinya, Seperti tempo hari saat Eve bertanya apa itu tanggal, dan apa itu calendar, hanya karena William memberitahunya bahwa Eve dan Wilson akan mulai bersekolah pada tanggal sekian.

            “Guru itu … orang yang berjasa mengajarkan kita banyak hal, Eve.”

            Gadis kecil dengan rambut yang kini mulai berjatuhan karena simpul pita yang mengendur itu hanya memandangi Ayahnya yang tengah mengemudi. Masih tidak mengerti sepertinya. “Guru itu orang?”

            “Iya, dear ..”

            “Oma guru bukan?”

            Bingung juga harus menjawab apalagi, karena seseorang pasti pernah berjasa mengajarkan sesuatu termasuk orang tua yang mengajarkan bagaimana mengucapkan salam, memegang sendok dan berterima kasih.

            “Nanti, di sekolah Eve bakal dapet ibu guru. Kamu tinggal lihat gimana dia dan bedakan dengan orang lain di sekitar kamu, oke?”

            Cukup lama William mengalihkan perhatian dari jalan didepannya demi memandangi wajah polos Eve yang berusaha berpikir keras tentang ucapannya. Andai saja Deana ada di sampingnya saat ini, dia pasti akan mengajarkan Eve dan Wilson banyak hal, menyayangi mereka dengan sepenuh hati dan …

            CKIIIITTTT …

            Tiba-tiba saja sebuah mobil merangsek masuk ke jalur yang tidak seharusnya, William menginjak rem dengan refleks kemudian memandangi anak-anaknya. Tidak terjadi apa-apa kan?

            Cinta nya –Eve dan Wilson– tidak apa-apakan?
            Sial!

            Siapa yang berada di dalam mobil di depannya dan menjalankan mobilnya dengan begitu sembrono?

            PSP Wilson hingga terjauh dan mendarat di bawah jok dan tidak terlihat lagi dari tempat duduknya saat ini, kemudian menangis karena mobil yang menghentak dengan tiba-tiba dan membuat mainan kesayangannya terjatuh. Oh, tidak .. Wilson, cintanya, menangis begitu keras dan memilukan. Sedangkan Eve yang melihat adiknya menangis malah ikut menangis. Keras, memilukan dan menyebalkan dalam waktu bersamaan.

            “Hey, gak apa-apa sayang, sudah .. gak apa-apa.”

            Mereka masih menangis dengan begitu keras dan membuatnya sedikit frustasi. “Hey, ada yang sakit? Gak apa-apa, jangan nangis lagi ..”

            Tidak berguna. Oh, kalian harus tahu bahwa William bukanlah orang yang pandai merayu. William memutuskan untuk keluar dari dalam mobil dan memberi sedikit teguran pada siapa yang berada di balik lancer di depannya itu.

            Terpaksa juga dirinya meninggalkan Eve dan Wilson dalam keadaan menangis dalam mobil, salah mereka sendiri kenapa tidak berhenti menangis. William memang ayah yang kejam, dan tolong jangan salahkan dirinya untuk hal yang satu ini.

            Ada seorang laki-laki dengan kemeja rapi plus dengan dasi yang hampir sama persis dengan miliknya di balik kemudi lancer –dan William bersumpah tidak akan pernah memakai kembali dasi itu. Dia keluar dan meminta maaf, meski begitu William tetap protes dengan kecerobohan si pengemudi.

            Sial.

            Matanya menangkap sosok Delphine yang berada di bangku penumpang depan dan seorang gadis lain di bangku penumpang belakang. Oh, siapa katanya? Delphine?

            Kenapa harus bersangkutan kembali dengan Delphine pagi ini? Setelah kemarin dia telah sedikit dibuat kecewa? Sedang apa gadis itu di dalam lancer jelek yang bisa dibelinya dengan mudah tanpa harus kekurangan uang setelahnya? Apakah laki-laki ceroboh di depannya kini adalah kekasih gadis yang begitu dibanggakan sang kakak?

            Ada apa sebenarnya dengan gadis ini? Mengapa semakin lama semakin banyak minus yang tergambar jelas di wajah oriental cantiknya? Mengapa juga dia begitu tidak suka saat memikirkan Delphine berada satu mobil dengan laki-laki lain? Oh tidak, siapa dia? Berhakkah?

            Saat mata kecil gadis itu menangkap sosoknya, William membuang pandang dan mendengus kesal. Sangat jelas terlihat kesal dan laki-laki itu yakin hal yang baru saja dilakukannya dapat menyakiti gadis itu.

            Melukai gadis itu jelas-jelas tidak berada di angedanya, lantas mengapa masih terjadi? Entahlah, bagian takdir tersirat Tuhan, mungkin.

***

            Beberapa design andalan Golda yang teranyar di hadapkan pada seorang gadis cantik yang Delphine tahu sebagai model terkenal Indonesia. Jika tidak salah menyebutkan namanya, Tiara Sudjajanto. Siapa yang tidak kenal Tiara? Model cantik yang beberapa bulan lalu mendaptkan gelar top model se-Asia. Selain cantik –pastinya, Tiara ini juga memiliki selera yang sangat bagus untuk masalah pakaian dan fashion, tidak spesial juga sih wong dia Model.

            Mata kecil Delphine tidak henti-hentinya mengagumi kecantikan Tiara yang benar-benar terpancar cerah. Orang seperti Tiara pasti tidak kesulitan mencari pendamping hidup, lagi pula siapa yang kuasa menolak seorang seperti Tiara?

            Gabby keluar dari lift dan menghampiri mereka, Delphine sempat memberikan salam dengan tersenyum singkat pada sang boss sedangkan perempuan itu sendiri langsung menyapa Tiara yang sebelumnya telah memberitahu tentang kedatangannya ke Golda. Tiara memang sahabat Gabby saat masih bersekolah di Paris dulu.

            “Tiara …, ugh how flat you are!”

            “Sialan.”

            Mereka saling berpelukan dan saling menyapa satu sama lain tanpa menghiraukan Delphine yang kini mulai membereskan album royal design Golda yang baru saja dilihat Tiara. Kemudian terdengar keduanya mengobrolkan hal yang Delphine tidak ketahui. Bodo amatlah, memang dia siapa? Kenapa harus tahu?

            Yang Delphine bingungkan adalah posisinya saat ini. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di mejanya, tapi tidak mungkin juga Delphine melipir pergi begitu saja sementara dirinya masih harus mengurusi pakaian yang akan dipesan Tiara.

            “Gimana Bangkok?”

            Oh, Ya. Jika tidak salah Tiara menghabiskan beberapa minggu terakhirnya di Bangkok untuk boot camp para model yang terpilih untuk mengikuti acara fashion show  taraf eropa dan Asia beberapa minggu ke depan. Mengapa Tuhan bisa menyiptakan manusia se sempurna Tiara? Batin Delphine bergejolak seketika merasa iri dan tak pantas dibandingkan dalam waktu bersamaan.

            “Gitu-gitu aja. Yang bikin Shock cuma temen-temen gue di sana banyak yang transgender.”

            Oh, Transgender ya? Di Golda juga ada kok maskotnya! Siapa lagi kalau bukan Yuma. Manusia aneh yang sialnya sahabat baik Delphine. Biang gossip di kantor dan teman shopping yang menyenangkan.

            “Di sana biasa kan yang kayak begituan?” Gabby menuntun Tiara mendekati Delphine yang saat itu masih berdiri dengan album Royal Design Golda di tangannya. “Eh, udah kenal Delphine kan?” Katanya kemudian setelah meminta album yang dipegang Delphine saat itu, membukanya dan melihatnya bersama dengan Tiara di sofa. Delphine masih berdiri. Nasib jadi kacung.

            “Udah. Tadi udah kenalan.”

            Ya, beruntung sekali memang Delphine berkesempatan berkenalan dengan model cantik seperti Tiara. Kapan lagi? Jika Yuma tahu saat ini Delphine akan berperan sebagai stylish Tiara untuk GFS tahun ini, anak itu pasti akan mengumpat tidak terima.

            “Sini Del.” Gabby menyuruhnya mendekat dan kembali berhadapan dengan Tiara. “Delphine ini yang bakal jadi Stylish lo di acara Golda nanti. Kalian jadi partner yang kompak ya. Do the best buat acaranya nanti.”

            “Kayaknya anaknya seru.” Tiara menyentuh lengan Delphine, membuatnya sedikit tersentak kemudian tersenyum sungkan. “Masih muda, ya. Umur berapa?”

            “Saya 24, Mbak.”

            “Yaaah, gimana sih lo, Gab! Masa gue di cariin stylish yang masih muda. Keliatan tuwir banget kan gue.”

            Jelas saja rengekan Tiara terdengar menggelikan di telinga Delphine. Oh, God. Wajah Tiara bahkan jauh lebih terlihat muda dibandingkan dengannya. Warna kulitnya juga bagus, kuning langsat yang sangat halus, berbeda dengan Delphine yang jika lupa mengenakan Blush on, wajahnya akan benar-benar terlihat pucat. Putih sekali.

            “Eh, Mbak  Tiara malah keliatan muda banget.”

            Kalimat terakhir Delphine diakhiri dengan senyuman dari Gabby dan Tiara, tapi anehnya mata mereka malah tidak tertuju pada Delphine yang baru saja mengakhiri kalimatnya, melainkan pada seseorang yang baru keluar dari lift.

            Oh, sosok itu lagi. William lagi.

            Kali ini ia berjalan dengan begitu gagah dan elegan. Berjalan menghiraukannya yang ikut berdiri menatapnya kagum. William terlihat memeluk Tiara dan saling menanyakan kabar. Tubuh Tiara sangat pas dengan tubuh William yang jangkung. Terlihat serasi sebagai pasangan.

            Bola mata hitam William jelas-jelas mengagumi kecantikan Tiara, meski tidak bersuara memang, tapi hal itu sangat kentara dan jika Delphine menafsirkan pandangan Tiara pada William secara kasar maka kesimpulan besar dan bulatnya adalah Tiara menyukai William. Entahlah dengan William. Kabar yang beredar tentang dia yang sangat mencintai istrinya itu meyakinkan Delphine bahwa William tidak akan mudah jatuh cinta meski pada gadis secatik Tiara sekalipun.

            Entah apa yang dilakukannya hingga tertinggal diam di tempatnya sedangkan Gabby, William dan Tiara sudah beranjak dan berada di lift.

            Tunggu ….

            Hampir saja Lift tertutup jika Delphine tidak segera bergabung di dalamnya. Tiara hanya tertawa menanggapi tingkah konyol Delphine sedangkan William mendengus kesal.

            “Kamu ngelamun sih, Del.”

            “Maaf.”

            Lirihannya membuat William mengalihkan padangan dan melihat Delphine yang menunduk memandangi flat shoesnya. “Bisa gak sih kamu gak usah muncul terus di hadapan saya?”

            Nusuk.

            William memang berkata dengan sangat dingin dan datar, tapi meski tanpa intonasi yang memojokan, kata-katan yang terlontar dan menggema di dalam lift Golda menuju lantai Tiga itu sangat menohoknya. Seakan ada tali yang mencekiknya dengan kencang luar biasa dan memuntahkan segala kekaguman yang telah terbangun dalam dirinya pada sosok William.

            Iya, sebelum ia merasa di tusuk yang luar biasa sakitnya.

***

            “Sialan! Emang siapa juga yang mau ketemu dia terus?!” Delphine mencak-mencak sendiri saat sedang makan siang di restaurant jepang bersama Galang. Mantan kekasihnya itu hanya diam menanggapi Delphine yang sudah seperti orang kesurupan. Bukan hal yang baru meskipun mereka baru kembali bertemu lagi.

            “Yang kerja di Golda kan aku! Kalau dia gak mau ketemu aku terus, ya gak usah dateng ke Golda!”

            Kesal juga mendengar Delphine terus berkicau. Dengan supitnya, Galang mengambil sepotong chicken spicy yang sebelumnya sudah ia lumuri dengan mayones lalu …

            “Kan gak ada kerjaan banget bikin ak –“

            BLEEMM

            Berhasil.

            Chicken spicy miliknya sudah bersemayan kurang nyaman di dalam mulut Delphine yang kini malah meringis karena mulutnya terlalu kecil untuk si chicken Spicy dengan potongan besar miliknya.

            “Makanya, kalo lagi makan berhenti ngomong dulu, dear.”

            Puah!

            Dengan sukses Delphine menumpahkan chicken spicy yang sama sekali tidak terkunyahnya ke piring isi sushinya yang masih utuh.

            Ugh, Jijik.

            “Tuh kan, sekarang malah di lepeh, kena makanan kamu.”

            Galang berdecak dan beringsut berdiri karena merasa kehilangan nafsu makannya begitu saja. Laki-laki itu meninggalkan Delphine sendirian di hadapan Chicken Spicynya. Oh, apa-apaan ini!

            Sampai di kasir, Delphine menahan lengan Galang dengan dahi mengernyit dan seolah bertanya mengapa.

            “Aku balik ke kantor.”

            Kok gitu? Kenapa sekarang Delphine yang malah ditinggalkan?

            “Kok balik? Aku bahkan belum makan.”

            Sepertinya Galang berusaha untuk tidak menghiraukan Delphine dan tetap berjalan keluar. Dia terlanjur kesal. Delphine payah sekali hingga harus menghancurkan selera makannya.

            Lancernya sudah terlihat di parkiran dan sebelum Galang menyentuhnya, Delphine menarik Galang dengan satu hentakan dan mencium pipi laki-laki itu sekilas. Oh, apa? Delphine baru saja mencium pipinya?

            Oh, God. Delphine berhasil membuat Galang tercenung saat ini dan menatapnya dengan kedua mata yang membelalak.

            Sedangkan Delphine bertanya-tanya pada dirinya sendiri, berhasilkah?

            “Kamu …”

            “Ayo balik lagi … aku belum makan.”

            Nampaknya berhasil karena selanjutnya Galang mendengus geli dan merangkul Delphine. Ini adalah cara lama Delphine membujuknya saat mereka masih menjalin hubungan. Tapi yang membuatnya tidak menyangka adalah Delphine masih melakukannya saat mereka sudah putus. Seketika harapan bagi Galang untuk kembali mendapatkan Delphine begitu cerah dan dia siap untuk itu.

            Mereka akan berbalik ke dalam saat suara seorang anak kecil terdengar begitu keras menangis. Delphine dengan refleks melepas rangkulan Galang dan melihat siapa anak yang menangis dengan tiba-tiba seperti itu.

            Dua orang anak kecil menangis di depan restoran. Seorang satpam membantu mereka berdiri, tapi keduanya enggan. Entah apa yang mendorong Delphine mendekati mereka berdua dan membujuk keduanya berdiri.

            Sepertinya mereka terjatuh, meski anak laki-laki dengan seragam sama hanya duduk berjongkok di sebelah anak gadis yang jatuh terngkurap. “Hey, kenapa?”

            “Aaaaaaaaaa, huhuhuhuu …”

            Keduanya hanya menangis dan tidak mau diam.

            “Mereka gak mau saya bantu berdiri, Mbak.”

            Galang sudah berdiri di belakang Delphine dengan kedua tangan di kantong celana. Delphine selalu seperti ini jika menyangkut anak-anak. Entah seberapa besar kecintaannya pada anak kecil.

            Kemudian Delphine terlihat mencium kedua pipi anak kecil di depannya hingga keduanya diam seketika dan malah memandangi Delphine dengan tatapan aneh.

            Mereka berdua tidak menangis lagi. Galang kembali mendengus geli, betapa ajaibnya ciuman Delphine.

            “Ayo, kakak bantu berdiri.”

            “Huh? Kakak? Tante lebih cocok, Dear.”

            “Issh!”

            Dipukulnya lengan Galang dengan cukup keras dan mendelik sebal. Tatapannya kembali tertuju pada dua anak kecil yang kini memandanginya masih dengan tatapan aneh, “Uh, siku kamu berdarah. Pasti sakit ya?”

            Terlihat luka di siku si anak gadis, Delphine perlu jongkok di depannya kemudian meniupi luka yang masih basah di sikut si gadis. “Sakit, tante.”

            “Iya, sakit, cup-cup, nanti tante obatin ya? Nama kalian siapa?”

            “Aku Eve.”

            “Aku Wilson.”

***

Hallo, guys. Kalian bisa kasih review di sini atau bisa juga kasih review dengan mention Twitter aku di @Rulitash :D Terimakasih banyak untuk pembaca yang sudi menyukai Cerita ini dan menambahkan reviewannya di kolom komentar :)

ketjup basah

Rulitash

This entry was posted on Minggu, 28 Juli 2013 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply