You Have no idea how fast my heart beats when I see you. –Tumblr.
***
Kemarin malam William benar-benar dibuat pusing oleh segala hal yang
disampaikan Johan dan Pak Goes. Jika boleh sedikit hiperbolis, William
merasa dirinya terjebak bersama Sherlock holmes dan misi-misi
pemecahan kasusnya. Atau, William merasa dirinya dipaksa menjadi
seorang sinichi kudo untuk memecahkan kasus kecelakaan Gabby kemarin.
Apa yang dipikirkan orang-orang itu hingga menunjuk William untuk ikut
memata-matai Yuma sebagai tersangka mereka?
Apalagi setelah mengantar si kembar ke sekolah tadi, Pak Goes
mengabarinya bahwa seseorang telah ditangkap polisi sebagai tersangka
pembunuhan berencana yang terjadi pada Gabby. Segalanya semakin terasa
aneh bagi William. Tapi ia berusaha tetap mengingat dan memahami apa
yang dikatakan Pak Goes kemarin malam.
Bagai Benang kusut yang ia coba uraikan.
“Saya mendapatkan gambar itu dari anak buah saya, setelah melihat
cctv kami melakukan investigasi dan menemukan keganjilan tentang plat
nomor yang disebutkan Yuma.”
“Apa berarti Yuma berbohong?”
Johan mengangsurkan komputer tablet miliknya dan menujukan sebuah
rekaman cctv yang merekam peristiwa kecelakaan yang menimpa Gabby. Di
sana terlihat betul bagaimana Gabby yang sedang jalan berdua di jalanan
yang lumayan sepi dan tiba-tiba sebuah jeap menabrak sang kakak. Yuma
terlihat begitu panik. Dan William tidak menemukan keganjilan apapun
dari rekaman yang dilihatnya.
“Polisi yang melakukan penyelidikan tidak benar-benar melihat ada mobil serupa di arah lain.”
“Jadi ada dua mobil?”
“Ya, dan Yuma keliru dengan menyebutkan nomor plat mobil yang tidak bergerak.”
Saat itu William benar-benar dibuat bingung? Jadi bagaimana
masalahnya? Apakah Yuma terbukti berbohong atau tidak? “Maaf, tapi saya
masih tidak mengerti.”
Pak Goes menghela nafas lalu mengambil komputer tablet yang dipegang William.
Setelah membenarkan letak kacamatanya, beliau menggeser petunjuk
durasi hingga berada pada posisi yang diinginkannya, kemudian menekan
kembali tombol Play dan menunjukannya pada William.
“Ini, coba kamu lihat posisi mobil yang serupa. Dia tidak bergerak dan itulah plat nomor yang dilihat Yuma.”
Ada sebuah mobil lain yang nampak serupa memang jika benar-benar
ditelisik. Hanya ujung moncong mobil yang terlihat di cctv. William
mulai mengerti. Polisi pasti menerima begitu saja informasi yang
diberikan Yuma dan mencocokannya dengan gambar yang ada di cctv.
Ternyata memang cocok karena ada dua mobil di sana, yang tentu saja
saling berkomplot. Masalahnya adalah, apakah Yuma ikut berkonspirasi
atau tidak. Jika iya, siapa saja orang-orang berada di baliknya?
“Kami tujuh puluh persen mencurigai Yuma sebagai salah seorang dalang dari kecelakaan ini.”
“Kenapa tidak langsung di tangkap saja?”
William bodoh. Johan tersenyum melihat anak laki-lakinya itu. Meski
dari kecil kecerdasan William tidak dapat diragukan, saat itu William
benar-benar tidak terlihat seperti seorang William yang biasanya.
Terlalu gegabah dan cepat mengambil kesimpulan.
“Jelas kita belum mempunyai bukti yang cukup kuat dan saksi.
Satu-satunya saksi adalah Yuma, dan kita bisa apa jika dia telah
berbohong?”
Sampai saat ini William masih memikirkan apa yang dikatakan Pak Goes
selanjutnya. Dari semua percakapan mereka kemarin, William benar-benar
mengutuk perkataan Pak Goes yang ini, mengapa?
“Saya mau meminta bantuan kamu untuk ikut menyelidiki Yuma dan
melaporkan setiap gerak-geriknya pada saya.” Masih dengan kesadaran
alakadarnya, William menunggu Pak Goes menyelesaikan perkataanya.
“Tentu saja penyelidikan ini harus di mulai dari orang-orang terdekat
Yuma. Tapi, saya bisa meminta seseoang untuk membantu kamu.”
“Seseorang?”
“Kebetulan sekali anak saya bekerja di Golda dan menjadi sahabat
Yuma.” Tunggu, apa katanya? Anaknya? Sahabat Yuma dan bekerja di Golda?
Jangan bilang anaknya pak Goes ini adalah … Delphine? Tidak, jangan
katakan itu!
“Dan saya dengar juga anak saya menemani Yuma kemarin di sini, bukan begitu?”
Tuhan kembali mengabaikannya. Delphine benar-benar anak dari Pak
Goes dan William harus kembali berurusan dengan gadis itu. Jelas ini
bukan suatu kebetulan yang menyenankan. Ini adalah takdir yang entah
harus disyukuri atau William rutuki. Entah bertemu kembali dengan
Delphine pernah diagendakan Tuhan atau sekedar diguratkan dalam buku
takdirnya.
“Delphine?” Dengan parau William refleks menyebut satu nama yang
mampu membuat jantungnya berdetak jauh lebih cepat itu. Pak Goes nampak
mengembangkan senyumnya dan memandangi William tidak percaya.
“Nampkanya ini semua akan lebih mudah karena kamu mengenali anak saya?”
Tuhan, katakan pada William bahwa ini semua hanya mimpi.
Jadi, saat ini mobilnya melaju dengan kecepatan standard menuju
taman pemakaman keluarga Ardiwilaga. Tempat Deana di semayamkan dan
hari ini adalah tepat lima tahun istrinya itu meninggalkan dunia.
Sebenarnya, William sangat ingin mengajak Eve dan Wilson untuk ikut
berdoa di makam Deana, tapi tentu saja kedua anaknya itu bersikeras
ingin sekolah dibandingkan mengunjungi makam. Mereka hanya belum
mengerti arti seorang ibu karena mereka tidak dibesarkan oleh seorang
Ibu, mereka tidak salah. Mungkin hanya waktu dan keadaan yang membuat
mereka seperti itu.
Bayangan Delphine dengan kemarahannya muncul begitu saja padahal
jarak William dengan makam Deana hanya tinggal beberapa langkah saja.
Ada apa dengan William? Apakah dia benar-benar berniat menghapuskan
Deana dalam catatan sejarah hidupnya? Jangan seperti itu, William.
Makam Deana tampak bersih. Jelas karena laki-laki itu memperkerjakan
seorang penjaga makam untuk membersihkan makam istrinya setiap hari.
Dilepasnya kacamata hitam yang ia pakai dan mulai berkaca-kaca ketika
melihat nisan Deana. Sudah berapa lama William tidak kemari? Apa yang
membuatnya begitu sibuk sehingga tidak bisa berkunjung?
Sekeranjang bunga sudah disiapkan William sejak tadi pagi. Sudah
agak mengering dan terlihat layu memang, tapi tidak masalah. William
pikir ini bukan tentang seberapa bagus bunga yang akan ia taburkan,
tapi seberapa banyak dan tulus doa yang akan ia kirimkan pada Tuhan
untuk Deana.
Selain sekeranjang bunga, William juga membawa satu bucket bunga
lili yang baru dibelinya sebelum menuju kemari. Bunga lili kesukaan
Deana.
“Maaf ya, aku baru ke sini.” William mulai mengulang kebiasaanya
berbicara pada nisan Deana ketika datang melayatnya. Masih dengan
menaburi makam Deana dengan bunga, William kembali bercerita sendiri
seolah angin bisa menyampaikan segala keluh kesahnya pada sang penguasa
semesta dan menyampaikannya langsung pada Deana.
“Anak-anak udah semakin gede, Aku kewalahan, De, butuh kamu buat
jagain dan didik mereka. Semakin hari mereka semakin banyak nanya.
Apalagi Eve. Dia cerewet, kayak kamu.” William teringat dengan segala
celotehan anak gadisnya tentang segala hal. Berbeda dengan Wilson yang
cenderung cuek dan menuruti gayanya yang acuh, meski terkadang selalu
bertengkar dengan Eve karena hal sepele. Benar-benar anak-anak. Dan
mereka menggemaskan –dan menyebalkan.
“Kamu di sana baik-baik aja kan? Sampein ke Tuhan buat kasih aku
mimpi indah bareng kamu lagi kayak dulu-dulu itu.” Tak hentinya William
meracau padahal hari sudah akan beranjak sore. Ia rindu saat ini, saat
ia berada hingga larut di makam Deana, kadang tertidur karena terlalu
asik mengobrol atau malah terkadang berbicara tanpa henti dan tanpa
jeda.
Deana adalah gadis pertama yang membuatnya terpukau sekaligus
terpuruk dalam senja. Deana adalah gadis pertama yang mengajarkannya
cara berbisik pada angin dan menerbangkan pesawat kertas dengan harapan
dan cinta. Deana adalah gadis pertama yang membuatnya jatuh cinta. Ya,
pertama.
Tapi sayangnya, ketika sesuatu berhulu maka akan selalu berakhir
dengan hilir. William tahu betul jika Deana bukanlah Hilir hidupnya.
Meski tidak yakin, tapi dia benar-benar merasakannya saat ini.
Merasakan aroma hilir yang di pendarkan sang hulu dan berhenti tercium
ketika menemukan sumbu cahaya.
Kalian tahu apa maksudku? Keterlaluan sekali jika kalian tidak mengerti.
Bukankah Kalian sudah menduga akan ada segurat takdir lain yang
dituliskan Tuhan dalam agenda takdir laki-laki itu? Lalu apa yang
kalian ragukan lagi jika memang itu yang terjadi? Jika William
benar-benar ingin mengakui kekalahannya pada Deana. Kekalahan pada
sumpah yang telah ia koarkan sendiri. Benar-benar busuk. Tapi biasa apa
dia?
Kalian mungkin tidak percaya, tapi ketika William akhirnya dengan
sukses mencium Delphine dengan kurang ajar saat itu, tidak ada yang
dipikirkannya lagi selain Delphine. Tidak ada yang dipikirkannya lagi
selain melihat sumber cahaya dari sumbu yang membuatnya kehilangan aroma
sang hilir. Entah ini hanya sebuah persinggahan atau ia bisa bermukim
selamanya.
“Maaf ya, De. Aku ingkar.” Sekuat tenaga William menarik nafasnya
dan kembali menatap nisan Deana yang benar-benar terwawat bersih. “Aku
ingkar dengan memikirkan gadis lain. Jangan marah ya, tapi, tegur aku
dengan cara kamu kalau memang dia bukan yang terbaik buat aku setelah
kamu.”
Dari balik saku blazernya William mengeluarkan secarik kertas yang
telah diisi dengan tulisan tangannya sendiri dan membuatnya menjadi
sebuah pesawat kertas. Hal yang biasa mereka lakukan dulu. Tapi kali
ini William melakukannya sendiri dengan doa yang terkhusus untuk Deana
di sana.
Semoga Tuhan mau sedikit bernegosiasi tentang takdirnya.
***
Setelah kemarin sempat absen dengan tidak masuk kantor,
Delphine dan Yuma kembali pada aktivitasnya masing-masing. Yuma masih
dengan sejumlah konsumen di telfon dan Delphine dengan beberapa Design
mentah yang telah dibuatkan teman-temannya, juga Tiara yang sudah
berada di show room.
Tidak. Tidak hanya Tiara. Model cantik itu bersama
model-model lainnya, baik model Golda atau model rekrutan dari sejumlah
manajemen yang sudah menekan kontrak. Yang membuat Delphine
kelimpungan adalah Beberapa pakaian yang sudah disiapkannya untuk Tiara
menghilang begitu saja, padahal Delphine sudah bekerja keras untuk
semua itu. Tangan tertusuk jarum saat memberikan payet pada beberapa
baju, lembur demi merevisi beberapa design temannya, mencari bahan dan
mencocokan semua elemennya.
Dan apa yang sekarang terjadi? Bajunya hilang ditelan
ketidaktahuan semua orang? Sungguh tidak bisa dipercaya, Lalu apa yang
bisa dilakukannya saat ini?
Karena tidak sanggup berpikir lagi, Delphine hanya duduk
di mejanya dengan beberapa design mentah teman-temannya dan memikirkan
cara cepat agar rencana sesuai dari target waktu sebelumnya.
Yuma yang nampak selesai dengan konsumen menghampiri
Delphine dan mengecek pekerjaan sahabatnya itu. “Loh? Bukannya Tiara
udah sampe di show room ya? Kok lo masih di sini? Ntar dia ngomel
lagi.”
Delphine memandangi wajah sahabatnya itu dengan wajah
nelangsa dan menderita. Meskipun keadaan nelangsa dan menderita itu
memang sedang hinggap dan bersarang dalam waktu-waktunya sekarang ini.
“Lo tahukan gue nyimpen Baju buat Tiara dimana?” Saat
itu Yuma hanya menganggukan kepalanya dan Delphine sudah akan meledak
kembali kepada dirinya sendiri. “Tapi baju yang harusnya di coba Tiara
sekarang gak ada, Yum.”
“Serius lo?” Delphine mengangguk singkat dan Yuma berdecak heran. “Berapa baju emang yang gak ada?”
“Tiga.”
“Cepet cari lagi, kalau gak ketemu gue pastiin lo ada di ambang kematian.”
***
Meskipun Yuma sedikit berkontribusi membantunya mencari
pakaian yang hilang itu, tapi tetap saja tingkahnya menyebalkan.
Sepanjang waktu Yuma merutuki dirinya yang ceroboh dan khawatir.
Mengganggu konsentrasi Delphine untuk mencari jalan alternative dan
membuat Tiara semakin menunggu lama di Show Room.
Ada yang lebih menyebalkan dari ini?
Ada.
Apa?
Kehadiran William di pantry Golda.
Dari sekian banyak tempat di seluruh dunia dan dua puluh
empat jam dalam sehari, mengapa Tuhan menakdirkan mereka bertemu di
tempat dan waktu yang sama? Ini jelas bukan kebetulan yang
menyenangkan. Ini adalah malapetaka yang membuatnya berpikir bahwa
ternyata hidupnya sesial ini.
Setelah putus asa dan menyerah atas hilangnya tiga
pakaian itu Delphine berniat menenangkan dirinya dengan kopi yang
jarang sekali ia minum. Dalam sebulan mungkin Delphine hanya menyeduh
kopi sekali, itupun kadang tidak habis dan Delphine selalu merengut
kepaitan setelah meminumnya.
Dan kali ini ketika Delphine berniat menyeduh kopinya,
seseorang bergerak membuka pintu dan terpampanglah seorang William di
sana dengan blazer yang menyelimutinya dengan khas dan elegan. Ah,
andai saja tidak pernah terjadi hal buruk diantara mereka, mungkin
Delphine tidak akan keberatan berkata jujur tentang ketampanan William.
Tapi ini lain halnya. Delphine dan William memang
terlihat biasa saja, tapi jika semuanya didramatisir, Delphine akan
terlihat dengan senjata laras panjangnya dan William berdiri menjulang
tinggi dengan tamengnya. Buruk sekali.
“Seduhkan saya satu gelas kopi juga.” Tiba-tiba saja
suara menyebalkan William terdengar menyeramkan sekaligus membuatnya
muak. Memangnya William kira dia siapa? Pembantu keluarga Ardiwilaga
yang terhormat dan Delphine harus dengan sabar menuruti perintah tuan
mudanya? Kenapa lucu sekali?
“Kamu bahkan bukan karyawan di sini. Kurang ajar banget maen nyuruh-nyuruh aja.”
Sepertinya William tengah malas berdebat dengan Delphine
karena kemudian laki-laki itu mendekati pantry dan mengambil gelas
yang berada dalam lemari. Delphine berada di sampingnya kini, bersandar
pada kitchen set sambil meniup-niup kopi dalam mugnya.William tengah
sibuk menyeduh Kopinya dan memasukan beberapa sendok teh gula.
Delphine sempat bergidik ngeri ketika William memasukan
banyak gula. Hey, apa jadinya jika kalian memasukan banyak gula ke
dalam kopi? Ini kopi, bung. Bukan teh manis. Dalam hati Delphine
merutuk kesal sekaligus aneh.
“Terimakasih sudah mengingatkan saya, bahwa saya ini kurang ajar.”
Mendengar perkataan William membuat Delphine sedikit
melongo dan tidak menyangka. Mengapa William bisa begitu tenang berkata
demikian? Sejenis sarkastime kah? Kesal juga dibuat dongkol dengan
cara seperti ini. Delphine berniat meninggalkan William dan
menghiraukan segalanya, tapi perkataan William membuat Delphine
mengurungkan niatnya bulat-bulat.
“Sebaiknya kamu jangan keluar sekarang dulu deh.”
“Kenapa?”
“Di luar, Tiara lagi marah-marah dan ngobrak-ngabrik seisi kantor buat cari kamu.”
Hah? Serius? Delphine memang menganggurkan model cantik
itu karena tidak tahu harus bagaimana dengan baju-bajunnya yang hilang.
Masa iya Tiara yang model terkenal dan anggun marah-marah hingga
mengobrak-abrik kantor? Delphine yakin William sedang bercanda. Iya,
tidak seharusnya Delphine percaya.
“Kamu pasti lagi mikir saya bohong. Ya, itu terserah
kamu sih.” Dilihatnya William sudah menyesap kopinya hingga seperempat
bagian. Setengah mati Delphine meyakinkan hatinya agar tidak
mempercayai kata-kata William dan tetap kembali ke mejanya sekarang,
hingga ketika William berjalan keluar dari pantry Delphine mengikutinya
dari belakang. Seolah pembantu mengkuti majikannya. Aih, jelek sekali.
Bukan main leganya Delphine ketika dia sudah berada di
luar pantry dan Tiara tidak terlihat sedikitpun. Ternyata benar,
William memang sedang mengelabuinya dan tidak seharusnya Delphine
percaya. Dengan santai dan dengan mug berisi kopi di tangan Delphine
berjalan kembali ke mejanya. Posisi William masih ada di depannya meski
sekarang agak berjarak jauh karena Delphine yang tidak mengimbangi
gerak cepat laki-laki itu.
Dan kesialan pun kembali terjadi.
Belum sempat Delphine menyentuh mejanya kembali,
seseorang menepuk bahunya cukup keras. Karena terkejut Delphine
langsung berbalik dan menemukan Tiara di sana.
Byur!
Segelas air tumpah ruah dan pindah ke wajahnya yang
masih melongo dan tidak percaya. Ya, Tiara menyiram Delphine dengan air
dalam gelas yang ia pegang. Seketika seluruh perhatian karyawan Golda
berpusat pada Tiara yang sangat terlihat marah pada Delphine yang kini
berdiri dengan wajah, rambut dan baju bagian bahu yang basah. Semuanya
tidak ada yang menyangka Tiara bisa semarah itu dan seolah
menghilangkan gelar model top dan terkenalnya.
“Tahu kenapa saya siram kamu?”
Suara Tiara yang merdu terdengar begitu keras di tengah
semua orang yang terdiam di sana. Beberapa kali Delphine meneguk
ludahnya dan mencoba kembali pada dunianya saat ini. Dunianya yang
memalukan karena seorang Tiara marah besar hingga menyiram wajahnya
dengan air.
“Kamu kira saya sesibuk apa sampai kamu mengabaikan saya, dan ternyata tidak akan ada yang saya dapatkan hari ini?”
Apa maksud Tiara dia sudah tahu bahwa pakaian yang harus
dicobanya hari ini raib? Kembali dengan susah payah Delphine menelan
ludahnya.
“Heran, kenapa orang seperti kamu dipekerjakan di sini.”
William juga ada di sana, dengan kopinya yang masih
terlihat mengepul dan wajahnya yang sama-sama tidak bisa mengontrol
keterkejutan. Kenapa gadis itu susah sekali diberitahu sih? Bukankah
William sudah mengatakan untuk tidak keluar dulu karena Tiara sedang
marah dan mencarinya? Jangan bilang jika Delphine sama sekali tidak
menghiraukan ucapannya. Payah sekali gadis itu.
Dilihatnya Tiara yang semakin menghimpit Delphine dan
mencengkram wajah gadis itu dengan kuku-kuku cantiknya. Oh, meski
terlihat sangat cantik, William yakin sekali kuku-kuku itu tetap tajam
dan dirinya tidak akan pernah rela jika Tiara merusak wajah Delphine
dengan itu.
Maka sebelum segalanya berakhir dengan apa yang tidak
diinginkannya, William bergerak menarik Delphine keluar dari tekanan
Tiara dan membawa gadis itu jauh-jauh dari atmosfer Golda saat ini.
Bagaimana ini bisa terjadi?
Ah, sepertinya kalian harus membantu William memunguti sisa-sisa harga dirinya yang tercecer di tanah setelah ini.
***
Sudah lima menit berlalu dan Delphine masih terisak
dengan tangisnya. Entah kenapa William tidak sampai hati melihat
Delphine tersudutkan oleh gadis seperti Tiara. Setelah ini William
yakin sekali akan ada serangkaian gossip tentang aksi penyelamatannya
terhadap Delphine tadi. Dimulai dari Delphine naksir William, mereka
mempunyai hubungan special dan mereka yang sudah terbukti nikah sirih.
William tidak habis pikir mengapa mulut wanita ajaib sekali.
Tapi ada yang lebih dipikirkannya selain gossip yang
akan segera menjadi trending topics di Golda tentang dirinya itu. Ya,
kalian pikir siapa lagi? Delphine. Satu-satunya gadis yang sedang
menahan isakan tangisnya sendiri di depannya saat ini. Lama-lama suara
isakan tangis Delphine membuatnya ngilu dan tidak sampai hati
menyaksikannya terus menangis.
William berlutut di hadapan Delphine yang sedang
terduduk di bangku taman Golda. Nampaknya gadis itu sama sekali tidak
menyadari William ada di depannya saat ini karena yang dilakukannya
hanya terus menahan isakan tangisnya.
Teringat dengan benda pemberian Eve beberapa waktu yang
lalu, sapu tangan. Ya, sapu tangan norak bercorak teddy bear dan
William mengusapkannya ke pipi Delphine, mencoba menghapus aliran air
mata yang mengalir di pipi gadis itu.
Dengan cepat Delphine menepis sapu tangan yang William
usapkan ke wajahnya dengan sedikit beringas. Tidak menyangka akan
mendapatkan perlakuan demikian, William menatap Delphine yang masih
berlinang air mata dengan tatapan tidak percaya? Kenapa Delphine
benar-benar tidak tahu terima kasih?
Delphine sedikit meringis ketika kepalanya sedikit
ditarik William dan tangan besar William menempel di permukaan
wajahnya, dengan sedikit kesal dan cenderung kasar ia mengusap air mata
Delphine. Ini seperti perlakuan Mama berbelas-belas tahun yang lalu
saat Delphine masih hobi menangis.
“Gak usah so perhatian!”
Dengan jelas William bisa mendengar ucapan Delphine yang
memang sedikit menendang ulu hatinya, tapi itu tidak penting, William
akan mengebalkan segalanya untuk sesaat. Kemudian setelah memastikan
pekerjaannya di wajah Delphine selesai, William beralih memandangi
gadis itu tepat di manik matnya. Dan … hal ini kembali terjadi.
Detak jantungnya yang tidak normal dan telapak tangannya yang berubah dingin seketika. Sial, hal ini terjadi lagi.
Sambil mengontrol jantungnya untuk kembali berdetak
normal, William mengulum bibirnya perlahan. Delphine masih menantang
matanya dan hal itu membuatnya tambah kesal. William mendekatkan
wajahnya pada wajah Delphine dan membuat gadis itu refleks menjauhkan
wajahnya.
“Gak ada yang so’ perhatian. Cuma gak sampe hati aja lihat cewek jelek belepotan air mata gitu.”
Masih dengan posisi yang sama sebelum genap satu menit
dan Delphine membunuh suasana dengan menyerot ingusnya. Ugh, William
langsung dibuat mual olehnya. Apa-apaan gadis ini?
“Kamu jorok banget!”
“Biarin. Biar predikatnya lengkap. Jelek dan jorok. Mau nambah hina saya lagi?”
Tidak habis pikir dengan Delphine, William melongo parah
pada gadis itu. Jenis gadis seperti apa Delphine ini? Dari luar, gadis
ini benar-benar terlihat seperti anak SMA dan anggun. Tapi setelah
tahu seperti ini William tidak akan pernah menilai buku hanya dari
sampulnya saja. Benar-benar suatu pelajaran yang berharga mengenal
Delphine.
“Lagian kamu kenapa gak bilang Tiara lagi nyari saya dan marah-marah?”
Hallo? Apa katanya?
“Saya bahkan sudah memberitahu kamu sebelumnya, dan
menahan kamu untuk tidak keluar, dasar kamunya aja yang ngeyel. Lagian
bener apa kata Tiara, kenapa bisa Gabby menerima kamu bekerja disini?”
Mata Delphine sudah berkaca-kaca lagi, air matanya
merebak seketika dan menangis di hadapan William. Entah kali keberapa
gadis ini menangis di hadapan laki-laki itu. Sedangkan William semakin
tak habis pikir dan mulai salah tingkah menyaksikan Delphine yang masih
menangis hebat di depannya.
Ya, Tuhan, kenapa gadis ini tidak berhenti menangis?
Tidak tahukan jantungnya semakin teriris dan berdetak menggila ketika
melihatnya –apalagi dalam keadaan seperti ini? William mohon berhenti
menangis, Delphine.
Karena akhirnya tidak ada satu patah katapun yang keluar
dari mulutnya, yang bisa William lakukan hanyalah tetap berlutut dan
membawa gadis itu kedalam pelukannya. Entah ini gila atau lebih gila
dari yang kalian bayangkan.
***
Setelah tangis Delphine mereda, barulah Willam
memberanikan diri bertanya mengenai alasan gadis itu mengabaikan
pekerjaannya. Entah ini ada sangkut pautnya dengan masalah kecelakaan
Gabby atau hanya perasaannya saja, tapi ketika Delphine mengatakan baju
yang telah didesign dan disiapkannya untuk Tiara lenyap begitu saja
adalah sebuah keganjalan yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa pakaian
itu hilang tanpa seorangpun yang tahu sedangkan tidak mungkin adal
pencuri yang masuk dan membobol Golda hanya untuk tiga pakaian yang
dibuat Delphine.
Di sampingnya Delphine masih terisak. Mereka masih di
belakang kantor Golda dan menikmati taman yang ada di sana. Tidak
banyak yang mereka lakukan. Delphine hanya berusaha menyembunyikan diri
untuk sementara sedangkan William berusaha membantu menyembunyikan
Delphine untuk sementara.
“Terus setelah ini gimana?”
“Hah?”
“Kamu mau laporin saya sama kakak kamu dan biarin saya dipecat gara-gara hal ini?”
William memandangi Delphine dengan mata yang dibuat
semenenangkan mungkin, biasanya jurus ini selalu berhasil ditunjukan
pada anak-anaknya dan seharusnya berhasil pula pada Delphine.
“Saya gak perlu laporin kamu, toh Tiara juga temen deket Gabby dan kemungkinan kamu dipecat lebih besar.”
“Kok kamu jahaaaaaaat…”
Ada yang salah kah dengan ucapannya? Benar bukan? Angka
kemungkinan Dlephine di pecat itu lebih besar mengingat Gabby sudah
begitu lama berteman dengan Tiara. Bisa apa Delphine memang?
Tapi perkataannmu menyakiti dia, William. Ayo berbalik dan meminta maaf.
“Kenapa ketika saya jujur kamu bilang saya jahat?”
***
Gold Hold [Chapter 8]
This entry was posted on Selasa, 30 Juli 2013 and is filed under cerita bersambung,Gold Hold. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.