Gold Hold [Chapter 4]



Dengan kecepatan penuh Galang membawa Lancernya ke Golda. Delphine duduk di belakang bersama anak kecil yang mereka temui di depan restaurant tadi. Awalnya memang Delphine seolah tidak mengenal keduanya, tapi setelah mengetahui nama kedua anak itu dan bertanya langsung siapa ayah mereka, Delphine langsung terpekik kaget dan meminta Galang segera mengantarkannya ke Golda.

            Di tempatnya, Delphine tengah mengobati sikut Eve dan kerap kali menenangkannya ketika gadis itu meringis kesakitan. Si kecil Wilson kali ini mulai tenang dengan PSPnya. Jujur saja Galang masih tidak mengerti mengapa Delphine langsung meminta mengantarkannya ke Golda, tapi sepertinya, ketidakmengertian Galang tidak akan terurai saat ini, melihat Delphine yang masih sibuk mengobati Eve dan tidak berniat menjelaskan apapun padanya.

            Setelah selesai membalut luka Eve dengan Plester, Delphine membawa anak gadis itu kepangkuannya. Saat mereka menyebutkan nama mereka masing-masing tadi, Delphine ingat bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya.

            Boss nya, Gabby, pernah membawa keduanya suatu hari dan mengenalkan mereka sebagai keponakannya. Anak William, menurut kalian siapa lagi? Apalagi nama mereka yang sama. Mengapa si kembar bisa berada di depan restaurant tadi? Memangnya kemana William? Oh tidak, bukankah laki-laki itu masih bersama Tiara si Model yang cantik luar biasa itu? Delphine menghela napas dan memejamkan matanya dengan mengeratkan dekapannya pada Eve. Rasa yang  sama seperti ketika Delphine memeluk boneka tazmanianya dengan erat-erat.

            Delphine melihat Eve yang tertidur dipangkuannya dan juga badan anak gadis itu yang kemudian memberat. Lelah kerena terus menangis, mungkin. Tapi Wilson masih sibuk memainkan PSPnya. The walking Dead. Permainan yang sudah dihatamkan Delphine belum lama ini.

            “Wil, kok kamu bisa ada di depan restoran tadi, sayang?”

            Anak laki-laki itu tidak langsung menjawab, tapi dia sudah mengalihkan perhatiannya dari layar PSP berwarna merah yang masih saja menggantung di leher, jika normalnya anak TK mengalungi tempat minum berwarna-warni, Wilson malah menggantungkan barang eletronik. Benar-benar seperti cucu keluarga Ardiwilaga yang berkuasa.

            “Pop gak jemput kami, jadi kami pulang sendiri deh,” Hanya itu yang dikatakan Wilson sebelum anak laki-laki itu kembali mengalihkan seluruh perhatiannya pada The Walking Dead.

            “Kayaknya mereka lari-larian bareng dan akhirnya jatuh di depan resto jepang tadi.” Galang ikut-ikutan memberikan kesimpulan dan membuat Delphine tersadar bahwa sedari tadi Galang ada diantaranya. Oh, God. Delphine memang selalu seperti ini jika sedang menghadapi anak-anak, hal lain di sekitarnya menjadi seperti hanya abu dan debu.

            “Terus kamu mau balikin mereka ke boss kamu?”

            Anggukan Delphine bisa Galang lihat di kaca spion, dia kembali diam dan hanya mengemudikan mobil sebagaimana mestinya. Melihat Delphine memangku Eve seperti itu membuatnya jauh terlihat dewasa, terlihat seperti ibu dan anak. Bukan main bahagianya hati Galang ketika memikirkan suatu hari nanti Delphine bisa menjadi istri dari anak-anaknya kelak.

            Setidaknya Galang masih berani bermimpi.

***

            Di kantor Golda, Tiara bisa menyaksikan bagaimana terkejutnya William saat mendapatkan kabar lewat telfon bahwa kedua anaknya sudah tidak ada di sekolah. Bagaimana mungkin? Bukankah sekolah itu memiliki tingkat keamanan yang tinggi sehingga tidak mungkin ada penculik yang mengincar anak-anak orang kaya yang bersekolah di sana?

            Wajahnya pucat pasi memikirkan bagaimana keadaan Eve dan Wilson saat ini. Merasa bodoh dan kejam sekali, di hari pertama kedua anaknya bersekolah, William malah menyuruh salah satu supir keluarga Ardwilaga untuk menjemput mereka? Padahal seharusnya William mendengarkan lebih banyak tentang hari pertama Eve dan Wilson di sekolah barunya.

            Ini salahnya karena lebih mementingkan menyambut Tiara di Golda dan berniat menghadiri beberapa meeting dengan investor luar negri sebentar lagi. Jantungnya seakan melemah saat Gabby kembali mengatakan bahwa orang suruhannya tidak berhasil menemukan Eve dan Wilson.

            “Tenang, Wil. Anak-anak kamu pasti baik-baik saja.”

            Lengan cantik Tiara membelai bahu William dengan lembut, tapi kali ini William hanya menepisnya dengan perlahan untuk menghindarinya. Wait, menghindari seorang Tiara? Sahabat baik kakaknya sekaligus model cantik terkenal?

            Halah! Siapa peduli, yang paling penting saat ini hanyalah kedua anaknya.

            “Kak, gue keluar ya, cari anak-anak.”

            “Tap –“

            Gabby sama sekali belum menyelesaikan satu patah katapun dan William sudah merangsek keluar dari ruangan sang kakak. Meninggalkan Tiara yang masih sempat menahannya agar tidak pergi. Apa yang dipikirkan gadis itu sebenarnya? Menahannya untuk tidak mencari buah hatinya? William rasa Tiara gila.

            Lift membawa William ke lantai satu, Show room Golda yang besar dan megah. Beberapa konsumen yang sedang melihat beberapa design pakaian di sana sempat tercekik melihat seorang William keluar dari lift dan melewati mereka. Aroma tubuhnya menguar dan menggoda indra penciuman mereka. Seorang William, Duda keren yang bahkan sangat terkenal dan amat diminati.

            Betapa nama Ardiwilaga sangat mempengaruhi.

            Sampai di parkiran, William berniat mengeluarkan Volvonya dan langsung meluncur mencari Eve dan Wilson. Tidak, William belum benar-benar mengeluarkan volvonya, saat matanya lebih dulu melihat lancer jelek yang juga dilihatnya tadi pagi.

            Bukan lancer itu juga yang sepenuhnya menarik perhatian William, melainkan Delphine yang keluar dari bangku penumpang belakang dengan menggendong seorang anak kecil berambut coklat dan anak kecil lain yang mengikutinya dengan sebuah PSP yang menggantung di leher.

            Demi Tuhan, itu Eve dan Wilson!

            Tapi mengapa Delphine bisa …

            “Pop!”

            Teriakan Wilson terdengar begitu cempreng namun begitu melegakan di telinga William. Anak laki-laki itu berlari ke arah sang ayah yang sudah berjongkok dan merentangkan tangan demi menyambut Wilson masuk ke dalam pelukannya.

            Ya Tuhan, Wilson baik-baik saja meski saat ini suhu tubuhnya sedikit tidak normal. Agak panas.

            “Kamu baik-baik aja kan?”

            Anggukan kecil Wilson kembali membuat William lega luar bisa, “Tapi Eve berdarah.” Mata William membelalak sempurna saat ini dan memandangi Delphine yang kini sudah berdiri di depannya dengan memangku Eve yang sepertinya terlelap.

            Lancer jelek itu masih belum beranjak.

            Tanpa ada yang menyangka William mengambil Eve dari dekapan Delphine dengan kasar dan membuat gadis kecil itu terbangun dari tidur singkatnya. Gadis itu sempat mengerang dan William menenangkannya dalam sekejap.

            “Kenapa mereka bisa ada sama kamu?”

            Pertanyaan William terdengar tajam dan menghakimi. Seolah-olah Delphine adalah penculik si kembar yang berhasil di ciduk dengan begitu mudah. Laki-laki arogan dengan tubuh jangkung itu menatapnya dengan tatapan membunuh, tatapan benci yang Delphine tidak tahu mengapa. Salah apa dirinya? “Kenapa. Mereka. Bisa. Ada. Sama. Kamu?” William mengulangi kata-katanya dengan penuh penekanan. Delphine meneguk ludah dan jatungnya berpacu dengan hebat. Anarkis dan menyiksa dirinya sendiri.

            Plak!

            Tamparan William mendarat di pipi Delphine yang saat itu masih saja berdiri kaku. Dari sudut matanya William bisa melihat Seseorang keluar dari dalam si lancer jelek. Huh, aksi penculikan yang payah sekali.

            Air mata Delphine merebak dan mengambang di pelupuk mata. Orang yang pertama kali menamparnya di depan anak kecil, di tempat umum dan bahkan di posisi Delphine yang sebenarnya tidak salah apapun.

            “Jangan pernah kamu menyentuh anak-anak saya lagi!”

            Ancaman macam apa itu? Tidak tahukah laki-laki itu bagaimana Delphine khawatir dengan Eve yang terjatuh dan berdarah? Tidak tahukan laki-laki itu bagaimana seribu lapis ketakutan menyerangnya saat mengetahui Eve dan Wilson berusaha pulang sendiri dari sekolahnya?

            Kini air matanya benar-benar jatuh dan mengalir di pipi putihnya. Penghinaan macam apa ini? Galang sudah akan menahannya dan menenangkan Delphine yang kini menangis dan akan beranjak ke dalam bangunan Golda, tapi tidak berhasil karena Delphine yang menepisnya dengan kasar. Ugh, Pasti sakit sekali di tampar oleh laki-laki tidak tahu berterima kasih seperti William.

            “Brengsek!” Sekuat tenaga Galang menahan dirinya untuk tidak melayangkan tinjunya kepada William yang masih berdiri dengan pongah. Sial betul, laki-laki tidak tahu diuntungk itu terselamatkan dengan kehadiran anak-anaknya, karena Galang tidak mungkin merubuhkan William di depan Eve dan Wilson.

            Saat Galang dan Lancernya sudah pergi dan menghilang. William membawa Eve dan Wilson ke dalam mobil. Mengatur posisi Eve dan Wilson seperti tadi pagi. Keduanya berada di jok depan dengan safety belt yang digunakan bersamaan.

            William mulai menstater mobilnya. Tidak berniat membahas apapun saat ini tentang kejadian tadi. Ada rasa sesal yang mengental dalam dirinya karena telah menampar Delphine tadi, membuatnya menangis di depan matanya. Sungguh, saat air mata gadis itu tadi terjatuh, jantungnya pun hampir jatuh dan menghantam mata kaki. Sakit, seakan ada yang menendangnya tepat di ulu hati.

            “Pop, kenapa tadi Pop mukul tante cantik?”

            Tante cantik?

            Oh, jangan sampai kedua anaknya meniru perlakuan kasar William tadi. Betapa buruknya William jika hal itu sampai terjadi.

            “Pop?”

            Eve kembali bertanya, harus mejawab apa dirinya saat ini? “Ibu guru baru Eve di sekolah bilang gak boleh kasar, apalagi sama orang baik.”

            “Tapi dia gak baik, Eve.”

            Mulut sialannya refleks membalas perkataan polos Eve, William benar-benar buruk saat ini. “Tante cantik baik, Pop. Dia obatin Eve tadi.”

            Suara Eve mulai menurun dan kini padangannya beralih pada sikunya sendiri yang sudah dibalut dengan plester. Apakah benar Delphine telah membantu Eve dan bukan berniat menculik kedua anaknya? Hatinya mencelos melihat kini Eve benar-benar murung. Apakah hal ini karena William telah menampar Delphine? atau apa?

            “Pop, jahat.”

Terkutuklah William.

***

            Sudah hampir pukul tujuh malam dan Delphine tidak berniat sama sekali untuk pulang ke rumah. Yuma masih disampingnya, mulai membereskan beberapa barangnya di meja dan merapikan pakaian. Setelah di tahan sejak tadi siang, air matanya tumpah saat ini. Enggan surut dan semakin merebak, membuat pandangannya memburam dan napasnya tersenggal.

            Seumur-umur, Delphine belum pernah di tampar orang lain. Tapi dengan lancangnya William menamparnya begitu saja di tempat umum. Rasanya seperti ada ribuan godam besi yang berat dan menyakitkan jatuh dan menimpa kepalanya.

            Puluhan panggilan dari Galang diabaikannya begitu saja. Delphine tahu betul Galang melihatnya di tampar tadi siang, laki-laki itu pasti khawatir dan Delphine enggan menunjukan wajahnya yang sembab karena air mata di depan Galang. Cukup Delphine merepotkan Yuma dengan memaksa sahabatnya itu menemaninya di sini.

            Merasa cukup dengan tangisannya sendiri, Delphine mencoba mengatur napas dan menahan segukan tangisnya sendiri. Rasanya sakit, seperti menahan sumbu bom supaya tidak meledak dengan pantat.

            “Udah mendingan, Del?”

            Yuma kembali memberikan Delphine kotak Tissue yang baru dan menarik kursinya ke samping Delphine. Diusapnya rambut panjang milik Delphine. Yuma yang setengah mati mengangumi sosok William saja merasa kesal dengan perbuatan laki-laki itu setelah perilaku dengan kurang ajarnya dengan berani-beraninya menampar Delphine. Benar-benar tidak bisa dimaafkan, jika tidak ingat bahwa William adalah adik kandung boss nya, Yuma benar-benar akan melaporkan William ke komnas HAM.

            “Yum, emang gue salah ya?”

            Pertanyaan yang sama yang dilontarkan Delphine ketika gadis itu sudah cukup bisa mengendalikan napasnya sendiri. Sahabatnya itu sudah menceritakan semuanya dengan lengkap, dimulai Delphine dan Galang yang lunch bersama dan mereka yang menemukan Eve dan Wilson yang menangis di depan restaurant. Menurutnya, jelas-jelas William yang gampang menjudge orang lain dan terlalu menganggap orang lain rendah. Benar-benar cocok menjadi putra mahkota keluarga Ardiwilaga.

            “Udah, lo gak salah.” Yuma kembali membawa Delphine kedalam pelukannya. Delphine adalah salah satu ornag yang benar-benar menerima Yuma apa adanya, tidak merasa jijik bahkan menganggapnya sama. Tidak ada diskriminasi atau bentuk penghinaan lainnya, yang dia tahu adalah Delphine terlalu baik dan naïf untuk seorang gadis berusi 24 tahun. “Kalo lo gak berhenti nangis, mata lo bakal bengkak segede bola pingpong, dan nyokap lo bakal khawatir.”

            Mendengar mamanya disebut, Delphine langsung menegakan badan dan kembali mengatur napas. Benar kata Yuma, Jika Delphine pulang dalam keadaan seperti ini, Mama akan sangat khawatir dan membuat Mama khawatir adalah hal yang tak pernah diagendakannya.

            “Udah, lo ikutin saran gue aja.” Kali ini Yuma berbicara dengan nada terserius yang pernah Delphine dengar. “Kalo nanti lo ketemu si kampret William, Lo pura-pura gak kenal dan gak usah berinteraksi sedikitpun sama dia, gimana?”

            Jika memang itu adalah satu-satunya cara, kenapa Delphine tidak mencobanya? Enak saja pipi mulusnya main di gaplok aja. “Terus Gabby gimana?”

            “Apa urusannya sama si Mbak Boss? Lagian gue yakin setelah ini si William kampret gak bakalan berani datang kesini lagi.”

            Ugh, dadanya sakit bukan main. Menangis memang melegakan dan menyakitkan dalam waktu bersamaan. Delphine mulai mengais kesimpulan mengapa Tuhan membedakan detik dengan menit dan membedakan menit dengan jam. Kenapa? Karena Jika segala sesuatu terjadi dalam waktu yang bersamaan, maka tidak aka nada kehidupan.

***

            Setelah kembali dari Golda bersama anak-anak, William menghabiskan waktunya di ruang kerja. Mumpung masih di rumah Mama dan hal ini tidak bisa dikerjakannya jika dirinya berada di apartemen. Laki-laki dengan wajah oriental yang khas itu melirik lengannya, salah, telapak tangannya yang kotor karena telah menampar seorang perempuan. Hina sekali. Ada beribu penyesalan dari sorot matanya tapi William sama sekali tidak melihat bercak bercahaya tanda termaafkan bagi dirinya sendiri.

            Gadis itu pasti sangat sakit hati dan bisa saja hingga meradangkan dendam dan mencangkokan sejumlah kebencian terhdap dirinya. Tapi bisa apa ia saat ini? Mengubah kembali bubur menjadi nasi? Tidak. William lebih memilih memakan buburnya begitu saja dibandingkan dengan harus repot-repot menyihir bubur menjadi nasi kembali.

            Beberapa saat yang lalu Wilson masuk dan menghampirinya. Dia meminta William menemaninya bermain sebentar, saat ditanya mengapa tidak bermain dengan Eve, Wilson dengan lugas mengatakan bahwa Eve sedang marah besar pada Pop.

            “Terus sekarang Evenya dimana?”

            “Gak tahu, tadi sih main di kamar Opa.”

            Apakah Johan sudah kembali? Mengapa tidak mengabarinya?

            Saat ini Eve entah dimana. Masih di kamar Opa-nya atau sudah mengungsi dengan pindah ke kamar Gabby. Bahkan William tidak mampu melihat Eve yang hampir menangis tadi, ketika melihat tangan kotornya menampar Delphine dengan keji.

            Haruskah ia meminta maaf pada Delphine atas perlakuaannya tadi? Menampar dan menuduh gadis itu berniat menculik anak-anaknya? William kembali menciut, merasa tidak memiliki kekuatan untuk menyihir benci dengan kata maaf.

            Oh, Will, tolong berhenti menyebut sihir.

            William mematikan macbooknya. Pekerjaannya hari ini sudah selesai meski dengan beberapa meeting yang terpaksa ditundanya dan seharusnya William turun untuk makan malam bersama. Entah Gabby, Maria atau Johan menungguinya turun untuk makan atau malah mendahuluinya. Tidak. Bukan itu yang ia pikirkan. Yang ia pikirkan saat ini adalah ‘apakah Eve danWilson sudah berada di depan meja makan?’

            Sambil meregangkan otot-otot tubuhnya William beringsut dan mulai keluar dari ruang kerjanya. Pintu jati besar nan tinggi dibukanya dengan mudah, agak sedikit berdecit memang tapi tak lantas membangunkan sekumpulan burung hantu yang tertidur di siang hari, karena rumah besar keluarga Ardiwilaga cukup besar untuk menggemakan suaranya. Beberapa pelayan yang sedang membersihkan ruangan di samping ruang kerjanya membungkukan badan dan menyapa William yang terlihat melenggang keluar kemudian menuruni tangga. Bukannya bisikan para pelayan tentang William tidak terdengar, laki-laki itu hanya malas jika harus menegurnya. Malas sekali. Apalagi Moodnya benar-benar sedang kacau. Biarkanlah saja mereka bergunjing dan menikmati dirinya dalam kubangan obrolan murahan.

            Benar saja. Di meja makan super besar rumah besar, Johan sudah terlihat menanti piringnya terisi makanan. Maria sedang menyendokan nasi ke piring Eve lebih dulu kemudian Wilson. Kebiasaan si kembar yang selalu ingin menjadi yang pertama, bahkan masalah makananpun mereka begitu. Gabby tidak terlihat. Entah dimana dan William sama sekali tidak mau mempermasalahkan hal itu. “Will, kakakmu mana?”

            “Gak tahu, Ma.”

            Jawaban datar yang tidak biasa William lontarkan pada orangtuanya. Pantang malah. Tapi entah kenapa kali ini William malah melakukannya dan membuat kedua orangtua laki-laki itu memandanginya dengan dahi mengernyit.

            Anaknya terlihat lesu dan tidak bersemangat. Kenapa? Padahal William selalu berusaha terlihat menyenangkan di depan si kembar, dan kali ini anaknya itu tidak melakukannya.

            “Eve gak mau makan sama Pop.”

            Tiba-tiba si kecil Eve berseru kemudian turun dari kursi. Jelas saja Maria membelalak kaget ketika Eve malah berlari kecil ke tangga dan menaikinya dengan susah payah. “Evelyn sayang, kenapa?”

            Maria berusaha menahan Eve dengan seruannya, tapi, sepertinya kali ini tidak mempan karena anak gadis itu terus berlari. Kemana? Kamar Gabby, mungkin.

            Wilson sendiri masih diam di tempatnya meski sama-sama kelihatan tak suka ketika William duduk di sampingnya. PSPnya dalam keadaan mati tanpa daya dari battery kali ini sehingga perhatiannya bisa terarah penuh pada Willian yang masih saja terlihat tak bergairah.

            “Eve kenapa, Wil?”

            “Udahlah biarin aja.”

            Sekali lagi baik Johan maupun Maria benar-benar tersentak dengan jawaban yang dilontarkan William. Ada apa sebenarnya dengan anak dan cucunya? Bertengkarkah? Jika iya, untuk alasan apa?

***

            Esok harinya Gabby masih belum tahu tentang kejadian William yang menampar Delphine. Tidak ada gossip yang beredar mengenai hal itu di kantor Golda dan Gabby kira segalanya baik-baik saja. Perempuan itu masih tersenyum dan mengajak Delphine mengobrol ketika tidak sengaja bertemu di lift, memberikan langsung pekerjaan ke meja Delphine dan mengkonfirmasi design pakaian yang akan dipakai Tiara untuk acara GFS.

            Yuma juga mulai jinak sepertinya, dengan tidak heboh saat bekerja dan tidak menanyainya macam-macam saat menghampiri meja Delphine seperti biasanya. Sampai Gabby menyadari Delphine datang bersama mata panda yang menyeramkan meski telah sedikit tersamar oleh bedak dan pelembab yang digunakan Delphine.

            Sedangkan William terpaksa harus bolak-balik ke Golda atas permintaan Gabby untuk mengontrol beberapa sponsor acara GFS dan memastikan persiapannya berjalan dengan lancar. Di samping itu, Delphine benar-benar harus membentengi diri dengan tidak berada di jarak yang dekat dengan William, atau berusaha menghindar sebisanya ketika hampir berpapasan.

            Beberapa hari berlalu dan Delphine masih aman dengan perang gerilyanya bersama William. Tidak seperti terencana karena Delphine sangat yakin Tuhan dan semesta telah berkonspirasi dengan sangat baik.

            Ya, konspirasi yang baik. Dengan catatan mencoret adegan saat Delphine dan William berada pada lift yang sama saat itu. Mereka sama-sama akan menuju Show room, menemui Tiara yang akan mencoba beberapa pakaian yang telah siap pakai untuk acara GFS.

            Kalian harus melihat bagaimana pucatnya wajah Delphine saat itu. Mengerikan. Delphine memojokan dirinya sendiri ke pojokan lift dan membiarkan William berada di depannya berdiri kaku dengan napas yang terdengar begitu teratur.

            Sebenarnya Delphine mengharapkan adegan yang sedikit chiklit seperti dalam beberapa film yang pernah di tontonnya, dengan William yang menghampirinya, memandanginya dengan lembut dan mengucapkan maaf atas kejadian tempo hari dimana laki-laki itu menamparnya, kemudian mengecup bibirnya dengan lembut dan sepenuh jiwa.

            Yaiks.

            Jijik sekali pikiran Delphine.

            Lift sampai di lantai 1 dan bayangan Delphine pun terbubuh keadaan. Tidak pernah terjadi adegan chiklit di dalam lift seperti yang yang ia bayangkan, yang ada hanya situasi super menyebalkan karena kali ini Delphine berdiri di antara Tiara dan William. Oh ya, dan Gabby. Perempuan itu membantu William memberikan penilaian sedangkan Delphine membantu Tiara mengenakan pakaiannya. Ya, kembali lagi Delphine mendengus. Nasib jadi kacung.

            Di fitting room, Delphine membantu Tiara mengenakan salah satu Dress seri Formal yang akan di tampilkan di GFS nanti. Gaunnya panjang tanpa lengan, berwarna pale pink yang sangat terlihat lembut di matanya. Sebenarnya gaun itu adalah rancangan Yuma, tapi karena –sialnya– Delphine berperan sebagai tangan kanan Gabby untuk semakin menyempurnakan Tiara, jadi saat ini Delphine-lah yang berada di samping model cantik itu. Memilihkan beberapa aksesori, seperti anting-anting yang cukup besar dengan bulu itik yang telah di cat dengan warna senada, clutch berwarna keemasan, gelang di tangan berukuran besar dan cantik dengan beberapa miniature bunga yang menggatunginya serta kacamata hasil design Gabby dan selama ini sudah menjadi produk andalan Golda, Flore.

            Oh, tentu saja tidak lupa dengan open toe pump favoritenya di Golda yang sayangnya begitu cantik berada di kaki seorang model kenamaan seperti Tiara.

            “Nanti, kukunya dipakein kutek juga, Mbak.” Delphine memberi tahu Tiara yang masih mematut diri di depan cermin dengan sangat percaya diri. Tidak. Delphine tidak boleh iri dengan calon pacar musuhnya, William.

            “Oh ya? Berarti bakal cepet-cepetan dong pakenya?” Tiara menghadap Delphine yang saat ini sedikit tersentak karena wajahnya yang terlihat sangat khawatir. Seorang Tiara seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa bukan? “Ada nail artistnya kan?”

            Demi Tuhan, Tiara mengkhawatirkan nasib kukunya yang tidak akan terjamin dengan baik jika tidak ditangani oleh seorang nail artist yang baik? Oh, God, Seharusnya perempuan itu tidak meremehkan Golda. Jangankan Nail Artist, jenis kuteks terbaikpun bisa dihadirkan Gabby untuknya. Mendadak Delphine benci dengan Tiara yang selalu merasa diatas angin dan cenderung tinggi hati.

            Payah.

            “Ada kok, Mbak.”

            “Oh, ya. Ini gimana sudah selesai? cuma gini?”

            Apa maksudnya dengan ‘cuma gini’ yang dikatakan Tiara? Seumur-umur belum pernah ada yang merendahkan dirinya sebagai Stylish begini. Meski begitu, kedongkolan Delphine harus disembunyikan dengan rapat-rapat karena tidak mungkin juga Delphine bersitegang dengan seorang Tiara. Gadis berwajah oriental itu kembali menabahkan hatinya, dan mengingatkan dirinya sendiri bahwa; gini nih nasib jadi kacung.

            Tidak diperdulikannya Tiara yang masih saja berkutat dengan cermin dan sibuk mengomentari bagian tubuhnya dengan sebuah rengekan, seperti ; Kok tangan gue gendutan? Perut gue masih keliatan flat gak sih? Kok jelek banget keliatannya?

            Masa bodo! Mana peduli Delphine dengan segala ocehan Tiara. Masalah lengannya yang membesar atau perutnya yang mulai membuncit siapa peduli? Batin Delphine berseru kurang ajar dalam hatinya. Kadang-kadang melirik sinis sebelum akhirnya membawa Tiara keluar dengan gaun yang sudah dikenakannya.

***

            Entah apa yang dilakukan gadis-gadis itu di dalam fitting room dan membuat waktunya benar-benar terkuras habis. Ini masih satu baju sedangkan sesuai dengan yang dijadwalkan, William akan melihat lima busana yang akan dikenakan Tiara sebagai Main Models di hajatan Golda nanti.

            Menurutnya, semua wanita yang pernah ditemuinya tidak ada yang lebih cantik dari Deana. Sungguh. Seberapa baguspun busana yang mereka pakai, rahasianya tetap ada pada ketulusan hati orang yang memakainya. Dan Deana seperti itu.

            Oh, Deana. William mohon jangan mengganggu pikirannya saat ini.

            Beberapa saat kemudian Tiara keluar dari Fitting room dan memamerkan senyuman menawan yang William yakin bisa menghipnotis semua orang. Oh, tentu saja dirinya adalah pengecualian. Tidak perlu diulang lagi kan tentang posisi tetap Deana dalam hidupnya?

            Delphine jauh sekali dibandingkan dengan Tiara yang saat ini melenggak-lenggok dengan gaun pale pink yang dipakainya. Gadis itu hanya berdiri sambil membenahi rambutnya yang hanya tergarai. Ditangannya ada beberapa Gelang yang sepertinya lupa disimpan lagi pada tempatnya.

            Jujur saja, pemandangan Delphine yang cenderung acak-acakan dan alakadarnya itu malah menarik perhatian William. Gadis itu lebih terlihat lebih seksi apalagi dengan Paha yang terbuka karena blus yang digunakannya. Ada keringat yang menetes dari pelipis dan leher, membuat rambutnya sedikit basah dan William semakin Gila dengan fantasi liarnya.

          

Tidak peduli pada Gabby yang sibuk mengomentari Tiara dengan gaunnya, atau Delphine yang menanggapi Gabby dengan serius. William hanya … hanya .. merasa ada yang aneh dalam dirinya. Sebagian dari dalam dirinya bereaksi diluar kendali dan … sialan. Jangan sampai William terjebak dalam pesona Delphine untuk yang kedua kalinya.

***

            Banyak sekali yang harus dikerjakan William di kantor. Tapi laki-laki itu tidak mungkin betah bekerja sedangkan Eve masih enggan bicara dengannya. Anak gadis itu lebih memilih tidur di kamar Gabby atau mengganggu tidur Oma opanya beberapa hari ini. Apa maksud anaknya itu William harus benar-benar meminta maaf pada Delphine?

            Jika memang seperti itu, William benar-benar akan melakukan apapun yang diminta Eve. Ya, apapun. Sekalipun Eve memintanya terjun tanpa payung dari helicopter atau jet pribadinya.

            Untuk itu, saat Golda mulai sepi karena sebagian karyawannya sudah meninggalkan kantor, William malah menunggu di depan pintu masuk kantor Golda dan bersiap menarik Delphine apapun resikonya. Ya, apapun resikonya. Demi Eve.

            Sudah lima belas menit berlalu, seharusnya Delphine sudah keluar dari lima belas menit yang lalu. Kemana gadis itu? William tidak biasa dibuat kesal oleh orang lain, tolong.

            Udara mulai dingin, selain dari AC, udara malam kota Jakarta akhir-akhir ini memang menjadi momok bagi William yang benci dingin malam. Terpaksa ia berlama-lama. Demi menemui Delphine. Ralat. Demi Eve.

            Begitu dilihatnya Delphine keluar dari pintu Golda, William langsung siaga dan menarik gadis itu dengan kekuatan penuh. Tidak dipedulikannya Delphine yang meringis kesakitan atau apa. Demi apapun, William tidak peduli sama sekali. Kecuali saat mereka sudah tiba di parkiran dan Delphine berteriak kurang ajar.

            “Tolooooooooong saya mau diperkosaaaaaaa!!”

***

Huh, awalnya aku gak mau bikin karakter William yang kayak gini loh, tapi gegara maraton nonton Anime The Unlimited tadi subuh, aku malah kelepasan bangun karakter William yang kayak gini, ini gegara si Hyoubu Kyousuke jadi salahin dia aja kalo kalian merasa bermasalah dengan William, Okay?

Kalian bisa kasih review di sini atau bisa juga kasih review dengan mention Twitter aku di @Rulitash :D Terimakasih banyak untuk pembaca yang sudi menyukai Cerita ini dan menambahkan reviewannya di kolom komentar :)

Ketjup basah

Rulitash

This entry was posted on Minggu, 28 Juli 2013 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply