Gold Hold [Chapter 5]



Sepanjang jalan Delphine terus menjerit di dalam Volvo milik William dengan histeris. Laki-laki itu sengaja menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar Delphine tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Dalam hati William menggeram kesal karena Delphine yang sedemikian urakannya. Coba, lihat gadis itu sekarang! Pakaian dan rambutnya berantakan, air matanya membuat bedak yang telah dibubuhkan luntur, jika William membawa Delphine ke rumah dalam keadaan seperti ini, maka tuduhan pemerkosa seperti yang di teriakan Delphine tadi akan dianggap serius oleh orang seisi rumahnya.

    Volvonya sudah terparkir masuk kedalam pelataran rumah besar keluarga Ardiwilaga. Laki-laki itu keluar dan menunggu Delphine mengekorinya. Tapi, beberapa saat kemudian dia tersadar bahwa gadis itu sama sekali tidak keluar dari mobilnya.

    Dengan terpaksa William harus sedikit menggeret Delphine keluar dan mengikutinya menemui Eve. Dibukanya pintu mobil dan merasakan jaraknya berada sedemikian dekat dengan Delphine. Mata kecil gadis itu menatapnya dengan nyalang dan menantang. Tipe gadis pembangkang dan keras kepala. Laki-laki itu merendahkan tubuhnya hingga wajah mereka setara. Delphine sudah panik sendiri memikirkan apa yang akan dilakukan William. Napasnya tercekat seakan diikat kuat dengan dasi mahal yang dikenakan seorang William Ardiwilaga, lidahnya kelu dan sama sekali tidak bisa meggetarkan pita suaranya. Bahkan kini Delphine bisa merasakan hembusan napas William yang begitu hangat.

    Ceklek.

    Safety belt nya terlepas dan Delphine menyaksikan William yang masih berada di posisinya dengan tegang. Hanya itu yang dilakukan William? Melepas safety beltnya? Oh, apa yang dipikirkan Delphine sebenarnya?

    “Hah, kenapa wajah kamu jelek banget sih?”

    Delphine masih membelalak dengan apa yang baru saja dikatakan William terhadap wajahnya, dan kali ini William malah membersihkan wajahnya yang banjir air mata dengan sapu tangan miliknya. Delphine merasakan wajahnya sudah mengering, kemudian dengan kurang ajarnya William merogoh totebag miliknya lalu mengambil sisir dan bedak yang selalu ia bawa setiap hari.

    “Rapikan rambut kamu dan pakai bedak lagi!” William berdiri dan menyadarkan lengannya pada pintu mobilnya yang terbuka, menunggu Delphine selesai menjalankan perintahnya dan kembali menggeret gadis itu. “Kenapa kamu masih diam? Kamu enggak denger apa yang barusan saya bilang?”

    Cukup sudah! Memangnya siapa William berani-beraninya memerintah Delphine dengan semena-mena, mengomentari wajahnya dan jangan lupakan aksi pemuda itu yang menamparnya tempo hari. Delphine benar-benar sudah meradang, kepalanya siap meledak dan jangan salahkan gadis itu jika William terkena semburannya.

    “Saya gak mau!”

    Giliran William yang meradang dan bersiap membentak Delphine kembali. Tangannya terkepal, marah. “Cepat!”

    “Dengar ya, William Ardiwilaga yang terhormat. Saya bahkan tidak mengenal kamu, jadi apa hak kamu unt –“

    Sepertinya Delphine terlalu banyak bicara dan hal itu membuat William tidak bisa mentolerir lagi waktunya yang sudah terbuang begitu saja demi menghadapi seorang gadis biasa seperti Delphine. Ya, William akui, dirinya sempat terpesona dengan sosok Delphine, tapi jika tahu Delphine sebengini menyebalkannya, dipastikan William akan mundur dengan teratur bahkan sebelum laki-laki itu bersiap memulai.

    Lengannya menarik kuat lengan kecil Delphine ke rumah besar. Tidak peduli dengan makian kasar gadis itu serta beberapa pukulan untuk lengannya. Delphine kira dia sedang melawan siapa? Sadarkah gadis itu? Seorang William Ardiwilaga yang seharusnya ia hormati.

    Mereka sampai di lantai dua dengan napas yang sudah memburu. Delphine tidak pernah membayangkan dirinya berada di kediaman Ardiwilaga dan menyaksikan sendiri seorang Johan Ardiwilaga beserta sang istri menikmati secangkir teh dengan buku tebal di tangan.

    Dadanya sesak seketika.

    “Will?”

    Maria terkejut dengan kedatangan William yang tiba-tiba serta seorang gadis yang dibawanya. Gadis dengan rambut panjang bergelombang yang kini terlihat begitu acak-acakan dan mata sembab yang begitu menyedihkan. Siapa yang dibawa William? Malam-malam begini?

    “Eve mana, Ma?”

    Wanita itu menurunkan bukunya dan melihat sang suami yang nampaknya juga terkejut. Siapa yang tidak terkejut melihat hal seperti ini di depan mata? Coba diantara kalian ada yang ingin bertukar posisi?

    “Tadi, ada di kamar Gabriella. Sedang mengerjakan PR.”

    Tanpa menunggu penjelasan atau perkataan dari sang ibu, William kembali menarik Delphine dengan tiba-tiba. Membuat gadis itu terlonjak kaget dan kembali mengumpat. Kasar. Oh, tidak. Bagaimana mungkin gadis itu bisa mengumpat –apalagi dengan kasar– dihadapan tuan dan nyonya Ardiwilaga? Bagaimana mungkin? Ck, benar-benar tidak bisa dipercaya.

    Lalu, apa sekarang Delphine benar-benar akan digeret ke kamar bossnya? Serius? Ini seperti mimpi. Ya, mimpi yang mengerikan tapi.

    Pintu kamar Gabby membelalak dengan sempurna, memperlihatkan dua anak kecil yang sedang berkutat dengan buku dan pensil ditangan serta sibuk berdebat tentang huruf yang sedang mereka eja.

    “A-KU.”

    Suara Eve terdengar begitu lucu ketika membaca salah satu kata dalam buku yang sedang dipegangnya. Kemudian terdengar Wilson kembali menyangkal karena Eve begitu lama mengejanya.

    “Eve bacanya lama. Seharusnya langsung aja kayak Pop pas bacain kita dongeng.”

    Mereka masih berdebat ketika William kembali menarik Delphine masuk ke dalam kamar Gabby dan menghadapkannya dengan Eve yang kini memandanginya sambil terduduk. Matanya membelalak tak menyangka.

    “Oke, Eve. Maafin Pop karena udah jadi jahat kemarin.” William ikut duduk menyetarakan tingginya dengan Eve. Wilson hanya diam di belakang sang kakak, memandangi Delphine yang terlihat sangat acak-acakan kali ini. “Pop sudah minta maaf kok sama tante ini, karena udah mukul dia kemarin.” Lengan kokohnya mengusap rambut Eve yang tergerai cantik. Kini malah Delphine yang ditatap Eve dengan penuh selidik, seakan ada tulisan kecil di dahinya dan menyatakan bahwa apa yang dikatakan William adalah bohong.

    “Pop gak bohong kan, tante?”

    Bohong, eve. Ayah kamu adalah pembohong. Dia bahkan menyebut wajah tante jelek.

    Meski begitu, Delphine tidak mungkin berkata pada Eve bahwa ayahnya telah berbohong. Untuk itu, dengan segenap hatinya, Delphine ikut duduk dan menyetarakan tingginya dengan Eve yang masih duduk di tempatnya dengan mata nyalang bertanya, meski tahu anak gadis itu menginginkan kebenaran, Tapi memang ada kalanya berbohong lebih baik. Meski tidak lebih baik di depan pemilik semesta.

    Entah kenapa darahnya berdesir begitu saja ketika lengannya mencoba meraih lengan Eve yang masih memegangi pensil, lembut sekali. “Ayah kalian gak bohong.” Kemudian lengannya beralih pada rambut gadis itu, ikut merasakan kehalusannya dan kembali mempertegas kebohongannya, “Dia baik kok. Ayah kamu cuma khawatir tante melakukan hal jahat sama kalian. Tahu kenapa Ayah kamu takut?”

    Baik Eve maupun Wilson tidak ada yang memberikan respon pada pertanyaan Delphine, bahkan untuk sekedar menggeleng atau menganggukan kepala. “Karena ayah kalian sayang banget sama kalian berdua. Takut kalian kenapa-napa, takut kalian belum makan, takut kalian sakit, itu semua semata-mata hanya karena rasa sayang.”

    Tanpa ada yang menyangka, Eve memeluk Delphine dengan begitu erat. Menangis di pundak gadis itu dan menghiraukan segalanya. Menghiraukan ketakjuban William yang menganggap Delphine begitu ajaib, menghiraukan cibiran Wilson dan menghiraukan dirinya sendiri yang dengan mudah menangis begitu saja di depan seseorang yang tidak dikenalnya.

    Terkadang memang tidak harus saling mengenal hanya untuk sekedar terkenang ataupun bersarang. Tidak perlu mengenal untuk mendapatkan kasih sayang. Seperti Matahari dan Bulan. Jarak mereka bahkan berjauhan, tapi keberadaannya tetap disangkutpautkan.

    “Huh? Kenapa cewek gampang nangis dan lebay sih?”

    Apa?

    Si kecil Wilson mendekati William setelah melayangkan cibiran terakhirnya pada Eve dan Delphine. Mau tidak mau William tertawa dan berhigh-five ria dengan si bungsu. Entah kenapa William yakin sekali Wilson akan mewarisi seluruh sifatnya. Gemar mencibir, keras kepala dan ambisius.

***

    Terlanjur berada di kediaman keluarga Ardiwilaga, Delphine dipaksa untuk ikut bergabung menikmati teh bersama Tuan dan Nyonya Ardiwilaga. Ini adalah anugerah dan bencana yang datang dalam waktu bersamaan. Kapan lagi Delphine bisa dijamu dengan baik oleh keluarga Ardwilaga? Tapi … penampilan Delphine kali ini jelas-jelas memalukan dirinya sendiri.

    William terlihat tenang menikmati tehnya. Ralat. Terlalu tenang. Sebenarnya apa yang dipikirkan laki-laki itu? Tidak sadarkah dia tentang keberadaan Delphine di sini? Tidak sadarkah Delphine berpenampilan sangat buruk? Ugh, menyebalkan.

    “Willy, tidak baik membiarkan tamu berdiam diri.”

    Terdengar suara lembut Nyonya Ardiwilaga saat Delphine baru menandaskan tehnya dengan beringas. Seorang pelayan dengan otomatis mengisi kembali cangkir tehnya, seolah robot yang telah diprogram dengan begitu baik.

    “Hah? Dia bukan tamu William. Dia temen Eve.”

    Begitu menurutnya? Jadi, Delphine hanyalah teman Eve setelah di geret dengan kasar sedari tadi? Setelah berbohong di depan Eve dan Wilson demi melindungi nama baik William didepan anak-anaknya tadi dia hanyalah teman Eve? Oh, bahkan William masih berlaga tidak mengenalnya sampai saat ini.

    “Benar kamu teman Eve? Cucu saya?”

    Tentu saja tidak!

    “Ehm, saya juga tidak tahu posisi saya sekarang disini sebagai siapa.”

    Jawaban Delphine memang jujur dari dasar hatinya, setelah meraung-raung dalam hati tentang sikap kurang ajar William. Tidak peduli jika setelah ini nama Delphine akan di blacklist dari daftar karyawan Golda, ataupun segala kerugian lainnya karena telah berkata kurang sopan. Tidak. Ia tidak takut. Dia hanya lelah dan ingin berhenti bersandiwara.

     Delphine menolehkan kepalanya pada William yang saat inipun tengah melihatnya tepat di mata. Jika tidak ingat masih ada Tuan dan Nyonya Ardiwilaga di sini, Delphine akan kembali melontarkan umpatan-umpatan kasarnya pada laki-laki tidak tahu diuntungkan itu.

    “Oke, kita lupakan saja. Willy, apa kamu tidak mau memperkenalkan teman Eve ini pada Mama dan Papa?”

    William benci sekali saat ini. Pada siapa? Pada dirinya sendiri yang sekuat tenaga mencoba tetap bersikap kasar pada Delphine bahkan setelah Eve memaafkannya berkat gadis itu juga. Dia hanya tidak tahu kenapa sulit sekali berkata dengan baik atau sekedar manatap Delphine dengan baik. Bagaimana bisa dirinya selalu kehilangan kata-kata jika berada sedekat ini dengan Delphine? Bagaimana bisa seorang William …

    Sudahlah lupakan.

    William, cobalah nikmati permainan Tuhan dan semestaNya. Kalaupun nanti Tuhan membiarkanmu terjatuh, Tuhan pula yang akan membangunkanmu kembali. Tidak usah takut. Ada Deana dalam hatimu.

    “Dia sebenarnya karyawan Golda dan kebetulan dia nolongin Eve saat hilang tempo hari.”

    “Eve hilang? Bagaimana bisa?!” Maria hampir menjerit mendapati fakta bahwa cucunya hampir hilang saat itu.

    “Ceritanya panjang, Ma. Biar nanti William ceritakan.” Diliriknya jam tangan yang mengikat lengannya dengan elegan. Sudah malam. Delphine masih mempunyai orangtua yang akan mengkhawatirkannya jika gadis itu tidak segera pulang. “William harus nganterin Delphine pulang dulu.”

    Entah William mengenal tatakrama atau tidak, karena laki-laki itu benar-benar mengabaikan etika. Bagaimana tidak? Delphine kembali ditariknya dan berjalan dengan cepat hingga keluar rumah. Tidak terlihat mobil William di sana. Di pelataran rumah besar, maksudku. Ergh, apakah …

    “Terimakasih telah membantu saya mendapatkan maaf Eve. Dan saya harus bertanggung jawab mengantarkan kamu ke rumah dengan selamat, untuk itu sudah ada taksi di depan dan kamu tinggal pulang.”

    “Apa?”

    “Ongkosnya sudah saya bayarkan. Kamu tinggal pulang.”

    Geram.

    Delphine benar-benar geram melihat kelakuan William yang sok berkuasa dan segalanya. Geram dengan ketidakpekaan William pada sekitarnya, Geram karena Delphine telah dibuat kesakitan hari ini, Geram karena … karena telah dibuat geram olehnya. Tangannya terkepal dan matanya memandangi William dengan sarkastis. Kalian salah. Delphine tidak menuntut laki-laki itu mengantarkannya pulang langsung jika memang laki-laki itu tidak mau. Dia hanya meminta William memperlakukan dirinya dengan baik. Setidaknya lain kali, karena kita tidak mungkin kembali mengulang masa.

    Benci sekali Delphine melihat penampakan William.

    Plak!

    Lengannya dengan santai menampar pipi kanan William dengan tiba-tiba. “Itu untuk tamparan kamu pada saya tempo hari.”

    Plak!

    Sekali lagi Delphine melayangkan tamparannya pada pipi William, masih dengan wajah datar dan napas memburunya, “Itu untuk tuduhan kamu tentang saya yang menculik Eve dan Wilson.”

    Plak!

    “Untuk kamu yang semena-mena.”

    Tiga kali.

    Delphine menamparnya tiga kali dengan alasan yang telak. Sakit sekali rasanya. Bukan! Bukan sakit di pipinya, tapi sakit di hatinya, di ulu hatinya. Seakan diiris hingga sangat kecil dan menyatu dengan debu. Perih. Tidak basah dan semenyakitkan para korban perang memang, tapi Delphine benar-benar berharap segalanya bisa mengering dan sakitnya terkikis. Hingga habis dan berakhir manis.

    “Terimakasih untuk taksinya. Semoga Tuhan membalas kebaikan kamu.”

    Kali ini William tidak bisa menahan dirinya lebih lama lagi. Ada sesak yang terlampau dan enggan yang meradang melihat Delphine tersakiti. Olehnya.

    Gadis itu sudah mencapai taksi dan membuka pintunya. Bersiap masuk dan menabuh genderang perang. Bersiap menjauhkan diri untuk kemudian kembali mendekat dengan senjata lengkap. Tidak. Sepertinya Delphine bukan gadis pendendam.

    Maka sebelum sang supir taksi menjalankan tugasnya dengan mengantarkan Delphine sampai ke rumahnya dengan selamat, William sedikit berlari untuk kembali meraih Delphine. Kembali menariknya dan kembali menyakitinya.

    Mata gadis itu membelalak dan William tidak bisa menahan dirinya lagi. Tidak menjadi genap satu detik untuk akhirnya Bibir William menempel di permukaan bibir Delphine yang kering. Beberpa saat memang hanya menempel, tapi kemudian bibirnya rakus meraup mulut Delphine. Bergantian atas bawah tanpa sedikitpun respon yang sama dari Delphine.

    Tidak!

    Boro-boro membalas apa yang dilakukan William, mengontrol degup jantungnya saat inipun Delphine tidak sanggup. Tolong bantu Delphine bernapas dengan baik, tolong bantu otaknya menginstruksikan sesuatu pada jantung dan anggota tubuhnya yang lain, Tolong, siapa saja.

    Setelah hampir satu menit, William masih belum melepas raupan mulutnya. Laki-laki itu masih berusaha menggoda bibir Delphine agar sedikit merespon aksinya. Jangan sampai hal ini menjadi sia-sia dan berbuah sebuah tamparan kembali. Jangan. Sudah cukup.

    Sampai saat-saat terakhirpun Delphine tidak merespon bibirnya sedikitpun, William putus asa dan melepaskan gadis itu. Seperti bayangannya, Delphine terdiam, terkejut dan terpahat dengan begitu menegangkan dalam posisinya. Perutnya mendadak mulas melihat apa yang telah diperbuatnya pada gadis itu. Pada seseorang yang mungkin saja akan mengisi hatinya, mungkin … ini hanya hipotesis.

    “Maaf.” William menyentuh wajah Delphine dengan lembut dan menyeluruh. Dahinya, hidungnya, dagunya, bibirnya yang kini basah … “Maaf untuk segalanya.”

    Kemudian William benar-benar membantu Delphine masuk ke dalam bangku penumpang taksi dan memasangkan sabuk pengamannya. Membiarkan gadis itu pergi dengan membawa separuh hati dan harapannya. Ya, William membiarkannya. Membiarkan gadis itu membawa sebagain dalam dirinya melayang dan tenggelam bersama. Biarlah. Dengan begitu, mereka akan sakit dan senang bersama. Semoga. Kalian doakan saja.

***

    Di dalam kamarnya Delphine termenung dengan Alexandra yang sudah terlelap di sampingnya. Entah perasaan apa yang sekarang menelusup ke dalam inti tubuh dan hatinya, degup jantungnya belum berubah normal sejak tadi. Sejak dengan kurang ajarnya William mencium Delphine.

    Memang bukan ciuman pertamanya. Bukan yang paling membekas dan meninggalkan kesan terindah pula, entah apa, Delphine tidak bisa mendeskripsikannya. Yang dirasakannya adalah William seolah memberikan seluruh jiwa dan raganya saat ciuman tadi, terasa pasrah dan menyerahkan diri, padahal Delphine sekuat tenaga menahan diri supaya tidak tergoda membalas dan ikut mengecap bibir laki-laki itu. Bukan bibir yang manis tapi juga bukan bibir yang kasar. Lagi-lagi Delphine tidak tahu dan tidak bisa mendeskripsikannya.

    Diluar hujan deras. Kali ini berisik dan membuatnya semakin keras terjaga. Apa yang sebenarnya tengah direncanakan Tuhan dan semesta? Air matanya mengalir deras bersama hujan yang turun dan membasahi tanah. Suaranya tercekat dan Delphine berusaha menahan suara tangisnya sendiri hingga badannya bergetar hebat.

    Kemudian Delphine merasakan getaran lain selain tubuhnya sendiri. Ponselnya. Yuma menelfon semalam ini. Jauh dilubuk hatinya, Delphine sama sekali tidak ingin mengangkat panggilan Yuma. Tapi, mengingat Yuma yang menelfonnya semalam ini dan berpikiran ada sesuatu yang penting, meski dengan ragu Delphine mengangkatnya juga.

    “Hallo, Yum?”

    “Del, bantuin gue! Bantuin gue!”

    Yuma menyerangnya dengan jeritan ketakutan dan panik luar biasa. Apakah sesuatu terjadi pada sahabatnya itu? Apakah sebuah keadaan buruk? Apa yang harus dilakukan Delphine?

    “Ada apa?”

    “Mbak Boss … Mak-maksud Gue Gabby!”

    “Kenapa Mbak Gabby, Yum?”

    “Si Boss kecelakaan! Kita lagi di dalam ambulance, lo bantuin gue, bantuin gue!”

    Apa katanya? Gabby kecelakaan? Bagaimana bisa? Bagaimana Yuma bisa bersama Gabby? Apa yang harus dilakukan Delphine?

    “Lo tenang, Yum. SMS-in rumah sakit mana. Dan lo coba telfon keluarganya juga. Gue kesana sekarang!”

***

    Koridor rumah sakit terlihat sangat lenggang, hanya ada beberapa perawat yang lalu lalang dengan kertas dan bolpoin atau hanya stetoskop di dalam saku seragamnya. Di sampingnya Yuma masih belum berhenti menangis dan semakin lama bahunya semakin terasa berat karena sahabatnya itu yang menyandarkan kepala di bahunya.

    Sudah sekitar dua jam dari kedatangan Delphine dan dokter belum selesai menangani Gabby. Saat datang ke sini, Yuma sudah menangis dan menunggu di depan IGD dengan beberapa darah yang menghiasi dress nya.

    Tadi sore, Gabby meminta Yuma menemaninya untuk mencari beberapa sample bahan pakaian yang akan dibuatnya, karena jalanan yang cukup ramai dan menghambat perjalanan mereka, Gabby mengusulkan agar sedikit berjalan kaki menuju toko yang mereka maksud. Singkat kata mereka berjalan. Tapi entah bagaimana caranya, sebuah mobil Jeap menerobos hingga trotoar dan menabrak Gabby yang posisinya memang sedikit menjulur ke jalan.

    Saat itu Gabby langsung tak sadarkan diri dan Yuma tidak tahu harus menghubungi siapa selain Delphine. Sungguh, sampai saat ini Yuma masih terlihat ketakutan. Dan Delphine tau betul Yuma tidak pernah menipu orang lain dengan air matanya.

    Terdengar banyak suara langkah orang yang menggema di koridor rumah sakit, keluarga Ardiwilaga datang. Selain Tuan dan Nyonya, William juga ada di sana. Menggendong Eve dan menuntun Wilson. Gambaran keluarga yang harmonis, Delphine berani jujur jika ia sedikit iri dan menginginkan hal yang sama.

    Tapi kemudian sirna begitu saja ketika dirinya melihat William yang tengah menatapnya kaget. Sudah dapat dipastikan semua orang itu akan terkejut dengan keberadaan Delphine di sini.

    “Gabb-Gabby? Maksud saya .. Gabriella?”

    Suara Maria tercekat dan sedari tadi memegang dadanya sendiri dengan kencang, Delphine tidak tahu kenapa dia hanya merasa semua orang berubah sangat khawatir saat ini.

    Masih dengan Yuma yang belum berhenti menangis, Delphine berdiri dan membungkkukan badan untuk memberikan salam, Yuma ikut berdiri meski masih menangis. “Mbak Gabby masih di dalam. Sudah dua jam, dan dokter belum selesai dengan pekerjaannya.”

    Kalian pasti sudah bisa menebak bagaimana Maria yang kembali tercekat dan sedikit berteriak histeris sambil memeluk sang suami. William malah menatapnya dengan penuh tanda tanya, seakan tidak percaya Delphine malah bersarang di sini dengan sahabatnya yang terus menangis.

    Delphine membawa Yuma duduk dan mendekati Maria kemudian membawanya juga untuk terduduk di samping Yuma. “Duduk dulu, Bu. Biar saya ceritakan kejadiannya.”

***

    Setelah satu jam berlalu Dokter keluar dan memberitahukan keadaan Gabby yang sudah stabil meski belum bisa dipindahkan ke kamar inap biasa. Demi Tuhan mata Delphine sudah sangat perih dan mengantuk, tapi setengah mati Yuma menahannya dan tidak membiarkannya pergi. Sahabatnya itu bilang bahwa dia ingin menunggui Gabby sampai bossnya itu tersadar. Entah merasa bersalah atau bertanggung jawab, yang pasti Delphine harus berada di sisi Yuma sebagai sahabat yang baik saat ini.

    Bahkan saat ini Yuma sudah tertidur. Delphine duduk di sampingnya dan merenungi segala keadaan yang tercipta berkat konspirasi Tuhan dan semesta. Mengapa selalu ada hal yang mengaitkannya dengan keluarga Ardiwilaga? Mengapa dirinya harus kembali berurusan dengan William? Tidak jengahkah Tuhan?

    Delphine sempat muak kemudian tersadar untuk tidak merasa seperti itu lagi.

    Bagaimanapun juga ini bukan sebuah kebetulan, tapi takdir yang sedikit menyebalkan.

    Kepalanya menengadah dan bersandar ke sandaran kursi, menikmati setiap degup jantungnya yang berdetak tak normal dan bayangan di setiap degupannya. Kepalanya mulai pening karena sampai sepagi buta ini mata kecilnya itu sama sekali belum tertutup kemudian terlelap. Bisa apa lagi dia saat ini? Berpura-pura mati dengan menutup matanya? Atau menulikan terlinga ketika mendengar kembali jeritan sang Nyonya Ardiwilaga? Tidak. Delphine tidak bisa seperti itu. Delphine tahu bagaimana sakitnya mengkhawatirkan seseorang.

    William terlihat berjalan dari arah toilet dengan Wilson yang tertidur di pangkuannya. Entah kemana Eve. Delphine benar-benar tidak mau memikirkannya. Kepalanya sudah terlalu pusing. Sudah cukup.

    Seseorang duduk di sebelahnya. Siapa lagi kalau bukan William. Laki-laki itu sama-sama terlihat lelah dengan sekitaran mata yang menghitam meski Delphine masih bisa mendengar napasnya yang teratur.

    “Kamu sebaiknya pulang. Saya antar kamu.”

    Mata Delphine memang terpejam, tapi telinganya masih bisa mendengar dengan jelas. “Saya tahu sebentar lagi polisi akan datang dan Yuma tidak akan bicara apa-apa. Biar saya tunggu mereka dan menceritakan semuanya. Sebagai saksi.”

    “Kamu bahkan tidak ada di tempat kejadian saat itu. Bagaimana mungkin kamu bisa berlaku seolah-olah kamu adalah saksi.”

    Benar memang. Tapi Delphine masih tidak ingin beranjak dari tempatnya sekarang. Sama sekali. Tidak ingin berdebat dengan William saat ini atau bahkan melihatnya. Kalian pikir Delphine masih sudi melihat William dengan langsung setelah kejadian tadi? Setelah William benar-benar merendahkannya?

    Wilson didudukan di kursi dan William berdiri untuk meregangkan otot-otonya. Kemudian duduk kembali namun tetap membiarkan Wilson terduduk sambil tidur dengan jaket yang menyelimutinya saat ini.

    Lengan kokoh William meraih lengan Delphine untuk kemudian digenggamnya dengan sangat erat. Perlakuan William yang tiba-tiba itu membuat Delphine tersentak dan sempat ingin melepaskan diri. Berkali-kali mencoba melepaskan tangannya dari genggaman William namun tetap tidak berhasil.

    Kata-kata William selanjutnya membuat Delphine terkejut dan ingin menangis seketika. Bagaimana tidak? William yang saat ini dibencinya setengah mati malah memperlakukannya seolah Delphine adalah orang yang paling disayanginya.

    “Kalau kamu tidak mau pulang, biarkan tangan saya seperti ini. Biarkan darah kamu menjalarkan rasa sakitnya pada nadi saya.”

***

Maaf untuk telat posting, padahal terawehku udah kelar setengah jam yang lalu :3
Kalian bisa kasih review di sini atau bisa juga kasih review dengan mention Twitter aku di @Rulitash :D Terimakasih banyak untuk pembaca yang sudi menyukai Cerita ini dan menambahkan reviewannya di kolom komentar :)

ketjup basah

Rulitash

This entry was posted on Minggu, 28 Juli 2013 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply