Sial sekali hidup Delphine setelah bertemu dengan William. Seharusnya Delphine sadar lebih awal bahwa pertemuaannya dengan William tidak lebih dari bencana yang semakin hari semakin merongrongnya.
Dan kali ini Delphine tersaruk di kantor polisi.
Karena William brengsek itu meninggalkannya begitu saja, pemilik Avanza yang keluar dengan marah-marah tadi menggeretnya ke kantor polisi dan melaporkan tindakan William yang seenaknya ketika berada di jalan raya. Lagi-lagi Delphine kembali terseret ke dalam kehidupan William yang brengsek itu.
Polisi mengintrogasinya dengan beberapa pertanyaan dan Delphine menjawab dengan jujur dan tanpa ada yang di tutup-tutupi. Tak ayal, polisi malah semakin kebingungan karena jawaban Delphine yang terkesan mengada-ngada.
Beberapa saat yang lalu ia telah menelfon Galang dan meminta laki-laki itu menemuinya di kantor polisi. Seperti dugaannya, sang mantan kekasih begitu terkejut mendengar keberadaan Delphine di kantor polisi. Ia sama sekali belum menceritakan alasannya tersaruk di tempat busuk ini dan seharusnya Galang sudah tiba beberapa menit yang lalu.
Delphine dibiarkan duduk sendiri sedangkan polisi yang mengintrogasinya menyalin laporan yang telah dibuatnya ke dalam komputer untuk kemudian di cetak, si pemilik avanza yang berperut buncit dan nyaris tanpa rambut itu kerap melemparkan tatapan sinis kearahnya. Jelas Delphine kesal. Sebenarnya apa dosa Delphine, Tuhan? Mengapa berat sekali hari-harinya akhir-akhir ini?
Tanpa disadarinya William tiba di kantor polisi karena telfon yang mengabarkan volvonya tersaruk di sani bersama Delphine yang kali ini berstatus saksi.
Melihat Delphine yang hanya diam dengan tatapan kosong dan menyedihkan duduk di salah satu bangku berwarna merah membuat hati William semakin teriris, terpecah belah bak debu yang menyebar katika Angin mengusiknya.
Kakinya baru saja akan melangkah mendekat ke arah gadis itu dan mencoba menenangkannya. Ini memang salahnya yang begitu mudah tersulut emosi ketika Delphine mulai berlaku menyebalkan. Lagi pula mengapa William harus sebegitu tersiksanya ketika Delphine bersikap menyebalkan dan mulai kenanak-kanakan, rasanya tidak sebanding dengan selusin sikap kurang ajar William pada Delphine.
Langkahnya terhenti begitu saja ketika seseorang bergerak dengan cepat ke arah Delphine dan William bisa melihat bagaimana wajah khawatirnya ketika melihat Delphine yang duduk dengan menyedihkan. William hanya memandangi mereka tanpa melakukan apa-apa, hingga dia menyaksikan sendiri bagaimana Delphine yang menghambur ke pelukan laki-laki dengan polo shirt itu dengan sedikit menyentakkan badan. Yang kemudian membuat William mengepalkan tangannya kuat-kuat adalah ketika Delphine menangis dengan suara rendah dan tertahan di bahu laki-laki beruntung yang tidak di ketahui William sama sekali.
Delphine masih terisak dan William masih berpikir keras mengenai siapa laki-laki yang menjadi sandaran Delphine ketika menangis seperti ini.
Mungkinkah kekasih? Tidak, Gabby pernah bilang tentang status Delphine yang single dan tidak terikat siapapun. Lalu siapa? Sahabatkah? Iya, sahabat. Untuk kali ini William mencoba berpikiran positif.
Dengan keberanian alakadarnya William kembali melangkahkan kaki meski dengan kecepatan yang menurun drastis dari sebelumnya pada dua anak adam yang masih melakukan adegan sangat menjengkel baginya saat ini.
“Hey, tenang. Aku ada di sini. Semuanya akan baik-baik aja.”
Deg.
Kakinya kembali berhenti dan malah memandangi mereka dalam diam dan kepalan tangan yang tak kunjung terurai. Mengapa semenyakitkan ini rasanya melihat Delphine berada di dalam pelukan orang lain? Deana, tolong William untuk keluar dari mimpi buruknya.
“Sodara William?”
Seorang polisi lengkap dengan badge name di dadanya menghampiri William dan memintanya duduk di sebelah Delphine untuk berkontribusi memperikan laporan kecelakaan tadi. Semesta mengabaikan doanya untuk ditempatkan sedikit jauh dari Delphine.
Baik Delphine maupun Galang sama-sama melihat ke arah William yang mulai mengambil tempat di dekat mereka. Galang tetap berdiri dan Delphine masih memegangi tangan laki-laki itu ketika Polisi mulai membuka suara untuk rentetan pertanyaan yang sudah disiapkan dan siap dilahap William.
Harga dirinya benar-benar tergadaikan ketika gadis yang diinginkannya malah bersembunyi dengan nyaman di balik punggung laki-laki lain.
***
Masih dengan isakannya yang sekali-kali terdengar, Delphine sudah berada di depan kantor polisi setelah dengan mudah William menyelesaikan masalah mereka. Bagaimana bisa Delphine meremehkan orang kaya seperti William? Seharusnya Delphine tahu itu dan tidak perlu mengkhawatirkan macam-macam hal yang akhirnya hanya menjadi beban pikirannya saja.
Sejujurnya Delphine khawatir dan takut terjadi apa-apa ketika William dengan bodohnya menabrakan diri dan meninggalkannya begitu saja di tengah jalan, Delphine takut perkataannya menyakiti William dan membuatnya marah. Apalagi ketika akhirnya si pemilik Avanza menggeretnya ke kantor polisi dan melayangkan serangkaian tuduhan yang memberatkan Delphine juga William. Asal kalian tahu saja, Delphine hanya takut William dihujani dampak buruk atas kejadian tadi.
Tapi, ternyata semua mengingkari dirinya.
William datang seolah tanpa beban dan memberikan keterangan yang benar adanya. Kemudian sedikit bernegosiasi dengan si pemilik Avanza dan memberikan uang kompensasi dan semuanya beres terselesaikan. Lantas apa gunanya tangisan tertahan Delphine sedari tadi? Sia-siakah?
Beberapa kali Galang menenangkannya yang berada dalam kekalutan, Delphine harus berterimakasih untuk itu. Meski rasa terima kasihnya tidak benar-benar terucap, tapi Delphine berharap Galang bisa membaca rasa terimakasihnya lewat mata dan senyuman Delphine sedari tadi. Semoga.
William terlihat keluar dari pintu bersama si pemilik Avanza, mereka sempat berjabat tangan untuk yang terakhir kalinya sebelum pria berperut buncit itu pergi terlebih dahulu meninggalkan mereka. Matanya menangkap mata William yang tengah menatapnya. Entah tatapan semcam apa, tapi Delphine benar-benar dibuat buta dan tidak bisa membaca sorot matanya sama sekali.
“Lain kali kamu harus kompromi sama emosi kamu sendiri.” Sejenak Delphine bisa melihat kerutan kecil di dahi William kemudian tanpa dengan beraninya Delphine kembali melanjutkan kalimatnya dengan lugas dan tegas. “Saya heran kenapa ada orang setega, sepemarah dan sebodoh kamu di dunia ini.”
***
“Yang tadi itu? Aku kayak pernah
ketemu sebelumnya.”
Galang mulai membuka suara kembali
ketika mereka sudah berada dalam mobil dan melaju dengan begitu tenang di
jalanan yang lenggang. Galang memang sengaja mengambil jalan lain karena tahu
ada demo yang akan membuat jalanan macet dan menghambat perjalanan mereka.
Tiba-tiba saja Delphine sadar,
seharusnya ia tetap bersama William dan datang menemui Gabby. Jika kalian
bingung kenapa Yuma sama sekali tidak terlihat batang hidungnya padahal Gabby
pun memanggil sahabatnya itu, Aku akan memberitahu bahwa Yuma sedang bersantai
dengan terapinya di bogor saat ini.
Jangan heran karena bagi Yuma
sedikit pikiran berat yang ditanggungnya adalah sulaman keriput menjijikan yang
akan terukir di wajah cantiknya.
“Dia yang waktu itu hampir kamu
tabrak.”
Terlihat Galang yang menghela nafas
dan tersenyum pada jalanan di depannya. “Udah aku duga. Tapi, gimana kamu bisa
kenal sama dia?”
“Dia William. Adiknya boss aku.”
“Dan ayahnya si kembar?”
Buru-buru Delphine melihat ke arah
Galang yang masih serius dengan kemudi dan jalanan di depannya. Ada nada seperti
tidak suka yang didengarnya dari mulut Galang. Bukannya Delphine tidak peka
atau apa. Mengingat gelagat Galang yang sepertinya masih menginginkan hubungan
mereka kembali terajut adalah hal pertama yang dilihatnya ketika bertemu
kembali dengan mantan kekasihnya itu. Delphine bahkan tahu betul jika saat ini
dengan diam-diam Galang menelusupkan sejumput cemburu ke celah hatinya.
Seharusnya Galang tidak melakukan hal itu. Delphine akan merasa sangat berdosa
jika Galang malah meradangkan cemburunya dalam-dalam lalu dengan mudah dapat
meledak sewaktu-waktu.
“Aku lupa bilang sama kamu kalau
Mbak Gabby, maksudnya, Boss ku kecelakaan kemarin.”
“Aku udah tahu.”
Mata Delphine semakin melekat
memandangi Galang yang masih dengan tenang mengemudikan lancernya. Hati
kecilnya bertanya-tanya mengapa Galang bisa tahu Gabby berada dalam kecelakaan
kemarin sedangkan Delphine tidak yakin Galang mengenal bossnya. Sebelum
pikirannya semakin berkembang dan menagih jawaban, Galang terlebih dahulu
bersuara, membuat Delphine urung mengaikannya dengan beberapa keganjilan yang
dirasakannya kemarin.
“Yuma cerita sama aku tentang
masalah ini.”
“Apa?”
Galang terlihat kembali menghela
nafas dan kini sedikit mengalihkan padangan padanya untuk tersenyum, ada aura
kemenangan yang dilihatnya.
“Jangan bilang kamu cemburu karena
Yuma masih sering cerita apapun sama aku?”
Apa katanya? Cemburu? Delphine hanya
akan cemburu saat satu tahun yang lalu
ketika hubungan mereka masih sebagai pasangan. Ketika Galang tidak
meminta hal menjijikan dan membuat kantung harga diri Delphine robek dalam
sekejap.
“Ngarep banget aku cemburu?”
Ledekan Delphine lebih terdengar
membahagiakan dari pada perkataannya yang skeptic dan menendang ulu hatinya
kuat-kuat. Kali ini Delphine mulai mengurai senyum dan terlihat lebih nyaman
dari sebelumnya. Ini adalah Delphine beberapa waktu yang lalu sebelum dirinya
bertemu dengan William dan laki-laki itu menyeduhkan secangkir masalah baginya.
Mobil berhenti di perempatan lampu
merah yang kini masih terlihat padat. Udaranya mulai terasa dingin, padahal
ketika berada satu mobil dengan William tadi, Delphine merasa banr-benar
kepanasan. Galang dan William sangat jauh berbeda.
Bagai
jembatan batu dan jalan tol Jakarta. Dimana William adalah jembatan batu dan
Galang adalah jalan tol di Jakarta yang selalu padat dan berpolusi. Entah mana
yang lebih baik, tapi jika semesta membiarkannya memilih, Delphine akan dengan
mudah memilik Galang yang berperan sebagai jalan tol. Oh, tentu saja. Siapa
yang butuh jembatan batu yang hanya ada di pedesaan dan hanya menghubungkan dua
desa yang terpisahkan sungai besar?
Siapa
yang butuh manusia primitive seperti William? Delphine kembali skeptic dan
sebisa mungkin ia menyembunyikan kekesalannya sendri. Mobil masih diam di
posisinya tanpa bergerak se-inchipun dari semula. Lampu-lampu di depannya
seakan menghipnotis dan membuatnya mengantuk seketika. Kemudian sebuah tangan menyentuh tangannya yang tergeletak dekat
persneling. Seakan de javu, ketika William pun dengan tidak sengaja menyentuh
tangannya ketika mereka berada dalam satu mobil beberapa waktu yang lalu. Tapi
Galang terlihat tersenyum dan semakin mengeratkan genggamannya. Lagi-lagi
Galang terlihat berbeda dengan William. Jika Galang dengan percaya diri
menggenggam tangannya, William malah selalu berlagak munafik dengan selalu
mengabaikannya.
Oh,
Tuhan. Berhenti mambuat Delphine selalu berprasangka buruk.
“Maksudnya
kamu pegang-pegang tangan aku ini apa?”
Sederet
gigi rapi Galang terlihat menggemaskan dengan senyuman menawan laki-laki itu,
Delphine tidak habis pikir mengapa Galang lebih mendahulukan tersenyum dari
pada menjawab ketika ditanya. “Kangen aja pegang tangan kamu. Gak boleh?”
“Ya
gak boleh lah!”
“Gak
ada peraturan tertulis yang sah aku gak boleh nostalgia sama perasaan aku
sendiri.”
Ck.
Delphine berdecak kesal lantas membuat Galang tertawa keras-keras. Apa-apaan
Galang ini? Mengapa dia terlihat menyebalkan dua kali lipat dari sebelumnya? “Kamu
nyindir atau ngarep kita balikan lagi?”
“Dua-duanya.”
“Nyebelin
banget sih!”
Ketika
melihat traffic light yang berubah menjadi hijau, Delphine memainkan kemudi
yang dipegang Galang dengan asal. Ya, Tuhan. Apa-apaan Delphine ini! Selain
kesal dengan Galang yang menggodanya, Delphine juga kesal dengan William yang
selalu bertingkah sesuka hatinya. Karena kalut dalam kekesalannya sendiri
Delphine dengan ganasnya memukul Galang yang tak berdosa.
“Kamu
apa-apaan sih?”
***
Gabby
benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan William. Adiknya itu tidak datang
bersama Yuma ataupun Delphine. Dia malah datang dengan wajah lesu dan
mengerikan ketika Gabby baru selesai menyantap makan malamnya dengan susah
payah. Ini bukan William yang biasanya. Bukan William yang sok tegar bahkan
ketika kematian Deana. Ini bukan sosok William, karena saat ini yang dilihatnya
adalah William yang arrogant dan meluap-luapkan amarah.
Perlu
kalian ketahui jika William bukanlah orang yang bisa dengan mudah marah pada
siapapun. Tapi kali ini jelas-jelas Gabby bisa melihat ekspresi William yang
menahan emosinya sendiri. Dan kesimpulannya adalah karena Delphine.
Bukannya
Gabby sok tahu atau dia punya bakat peramal. William sendiri yang menceritakan
semua kejadian antara William dengan Delphine akhir-akhir ini padanya. Ini
bukan kali pertama William curhat pada Gabby, ini ke … sejuta kalinya! Jadi
tidak ada yang salah jika akhirnya Gabby bisa begitu menganal William.
“Lo
bego atau apa sih?” Entah sudah berapa kali Gabby mengumpat pada William yang
kini malah asik memakan buah jeruk yang sudah dikupas Maria sebelum beliau
pulang tadi. Sebenarnya Gabby juga tidak tega terus menerus menghakimi adiknya
itu, tapi entah kenapa mulutnya tidak bisa berhenti mengumpat ketika membayangkan
perlakuan William pada karyawan terbaiknya. Oh, God. Bangunkan Gabby dari mimpi
buruknya saat ini.
“Berhenti
bilang gue bego.”
Dokter
bilang Gabby harus menjadi penghuni rumah sakit kurang lebih dua minggu ini,
Tergantung dari perkembangan kesehatannya sendiri. Sedangkan GFS akan segera dilaksanakan
dan persiapan berjalan sangat molor dari semestinya.Tadinya Gabby berniat
menyuruh William mengawasi kerja Delphine yang akan ditanggunginya pekerjaan
berat sebagai penanggung jawab acara sekaligus penanggung jawab fashion art –sekaligus
acara jodoh-menjodohkannya dulu, tapi jika memang saat ini kondisi hubungan
William dan Delphine sebegini buruknya, Gabby bisa apa?
“Bego.
William bego.”
“Berhenti
bilang gue bego, Gabriella!” Blazer William sudah tersampir entah sejak kapan
di sandaran kursi yang didudukinya. William jadi nampak lebih tinggi dengan
dada bisang yang tereskpos oleh kemeja pale blue yang dikenakannya. “Besok gue
gak bisa diganggu ya. Titip anak-anak juga sebentar.”
“Gila
lo, gue lagi sakit gini masih aja disuruh jagain si kembar.”
Entah
kerusakan apa yang terjadi dengan otak William saat ini. Laki-laki itu meminum
air dari gelas milik Gabby yang tersimpan di atas nakas samping tempat tidur.
Gabby memang belum sempat meminumnya, tapi tetap saja William adalah tipe orang
sok steril yang enggan memakan atau meminum sesuatu yang bukan miliknya. Tapi
saat ini … William malah nampak seperti orang yang lupa pada dirinya sendiri.
Masa
iya efek bertengkar dengan Delphine sebegini berpengaruhnya pada seorang William
yang sombong dan acuh? Masih dengan keheranannya, Gabby menyentuh tangan
William dan membuat laki-laki itu melayangkan pandangan penuh pada sang kakak. “Lo
gak apa-apa kan?”
Begantian.
Kini malah William yang keheranan dengan pertanyaan Gabby. Bukankah Gabby yang
sedang bermasalah dengan tulang rusuknya? Untuk apa ia bertanya keadaanya?
William merasa baik-baik saja. Kecuali hatinya. Iya, hatinya sedikit sakit
entah karena apa akhir-akhir ini. Seakan berdelusi setiap hari, tapi William
masih tidak sadar dengan apa yang ia delusikan.
“Lo
baik-baik aja kan, Wil?”
“Lo
kenapa sih? Di sini kan yang statusnya lagi sakit, elo, kak. Kenapa malah
khawatirin gue?”
“Lo
janji gak akan kenapa-napa, ya!”
Sepertinya
memang ada yang bermasalah dengan perasaan sang Kakak. William berpikir mungkin
Gabby trauma pasca kecelakaan yang dialaminya. Untuk itu ia tidak melakukan apapun
ketika dipaksa berjanji. Sekali lagi, memangnya ada apa dengan William? Dia
tidak kenapa-napa. Dia baik-baik saja.
Ya,
William baik-baik saja dalam keraguannya sendiri.
Pintu
kamar rawat Gabby terbuka dan sosok Johan terlihat menjulang di baliknya. Baik
William ataupun Gabby sama-sama terkejut karena sosok sang ayah yang datang
begitu saja. Tanpa diminta atau bahkan interupsi, Johan menghampiri anak
sulungnya dan tersenyum. Seolah meminta maaf karena dirinya baru bisa kembali
saat ini, padahal Gabby masih sakit dan perlu perhatian ekstra dari semua
orang.
William
refleks menggeser tubuhnya agar Johan lebih leluasa menghadapi Gabby. “Bagaimana
keadaan kamu, Gab?”
“Baik,
Pa. Cuma kadang suka sakit gitu kalau gerakin badan.”
Wejangan
panjang lebar dilontarkan sang ayah dan membuat kedua anaknya hampir kehilangan
kesadaran diri karena mengantuk. Bagaimana tidak? William menasehati Gabby
mulai dari waktu tidur, makan hingga posisi berbaring yang harus dilakukannya.
Benar-benar ayah yang baik sekaligus menyebalkan.
Diusapnya
kepala Gabby penuh kasih sayang. Seolah Gabby adalah berlian yang memantulkan
cahaya dan Johan begitu menjaga agar cahaya itu bisa terus Gabby pantulkan.
Johan menjaga Gabby seolah angin dan debu adalah salah satu awak dari sekutu
yang memusuhi mereka.
“Kamu
akan pulang kerumah besok pagi, Papa sudah berbicara dengan Dokter dan kamu
sudah diijinkan pulang dengan perawatan yang sama di rumah nanti.”
Kenapa
mendadak sekali Johan ingin Gabby cepat-cepat pulang? Ada apa dengan rumah
sakit ini? Rumah sakit ini adalah salah satu rumah sakit swasta yang ellite dan
Gabby berada di ruangan VIP. Lagi pula Gabby tidak memiliki ketakutan terhadap
rumah sakit, sama sekali –oh tidak, kecuali kamar mayat yang sanagt menyeramkan itu.
“Kenapa
emang, Pa?” Pertanyaan yang kemudian dilontarkan Gabby adalah pertanyaan yang
sama yang ingin William tanyakan. “Nanti Papa jelaskan. Sekarang kamu istirahat
karena besok harus bangun pagi.” Seperti anak berusia lima tahun, Gabby menurut
begitu saja ketika Johan membaringkan dirinya dengan sangat perlahan kemudian
menurup matanya saat Johan menyelimuti tubuhnya.
“Ikut
Papa sebentar, Will.”
***
Johan
membawa William ke luar rungan rawat Gabby dan menemukan seorang pria seusia
ayahnya tengah duduk di salah satu bangku yang ada. William tersenyum sebagai
penggantu salam dan kembali menatap Johan ketika ayahnya mulai membukan suara.
“Ini
Pak Goes. Teman papa semasa kuliah dulu.”
“Walah,
ini toh anakmu itu. Tinggi benar.”
William
tersenyum mendengar Pak Goes yang memujinya dengan gaya khas. Tidak menghormati
tapi menghargainya. Rasanya seperti Mama Delphine yang memperlakukannya
sedemikian sama.
“Gini
loh, Will. Papa sudah meminta bantuan Pak Goes ini untuk melaukan investigasi
kecelakaan Gabby kemarin. Bagaimanapun ini bahaya dan dapat mengancaman seluruh
keluarga kita.”
Tentu
saja William mengerti. Johan sudah mulai duduk di samping Goes dan William
mengekorinya. jantungnya berdetak panik ketika Pak Goes mulai mengeluarkan
sesuatu dari balik jaket kulit mengkilapnya. William diminta menerima apa yang
disodorkan Pak Goes dan melihatnya.
Kini jantungnya marathon bersama detik waktu
yang konstan dan menekan.
Sebuah
gambar mobil jeap berwarna hitam dengan bumper yang tertutup penutup hitam
polos terlihat jelas oleh matanya. Gambar ini diambil dengan angle yang sangat
baik sehingga William bisa menelitinya dengan mudah. “Itu adalah mobil yang
digunakan pelaku untuk menabrak Gabby, William.”
Masih
mengamatinya, William melihat rangkaian angka dan huruf di sudut gambar. Itu
adalah sebuah plat nomor, dan seharusnya plat nomor ini sesuai dengan plat
nomor yang diingat Yuma.
“Apakah
ini sama dengan plat nomor yang diingat Yuma?”
Pak
Goes terlihat menghela nafas dan membenahi posisi duduknya. Setelah jantungnya
Marathon, kini jantungnya push up dan kayang di tempat. “Anehnya, tidak sama.
Hanya ada dua kemungkinan. Yuma keliru atau Yuma sengaja mengelirukan semuanya.”
Maksudnya?
***
Hey, gais. Kependekan chapter ini memang sebuah kesengajaan. So jangan protes masalah panjang pendeknya, Oke^^ Review after read and sorry for any typos and miss word 'cause i'm just amateur writer :) Oke, see you on the next chapter :3
BACK NEXT