Beberapa
saat yang lalu sidang telah dimulai dan keputusan hakim menyatakan Terdakwa
atas kecelakaan yang menimpa Gabby bersalah dan dijatuhi hukuman selama lima
tahun penjara untuk pasal berlapis dan kejahatan yang direncanakan. William
berada di sana. Begitupun dengan Yuma yang hadir sebagai saksi.
Sidang berlangsung dengan lancar,
Pak Goes mengatakan akan ke kantor polisi untuk mengurusi beberapa hal. Tidak
ada yang harus dilakukan William lagi kali ini selain mengamati gerak-gerik
Yuma. Gadis (yang bukan gadis) itu akan keluar dari ruang sidang dan entah
kemana. Sedangkan keputusan mengikuti Yuma sangat beresiko, William tidak akan
begitu saja menempatkan dirinya sendiri dalam msalah besar.
Seharusnya ada Delphine saat ini.
Gadis itu akan banyak membantu dengan selalu ikut mengawasi Yuma.
Sambil terus berjalan di belakang
Yuma, William memikirkan apakah Pak Goes telah memberitahukan perihal
penyelidikan ini pada Delphine. Jika sudah, apa reaksi yang akan datang dari
Delphine? Mendengar sahabatnya menjadi seorang terduga bersalah pasti akan
sangat sulit bagi Delphine.
Ketika mereka mulai keluar dari
pengadilah, Yuma terlihat memasuki taksi dan William tidak berencana
mengejarnya. Tidak sekarang, pikirnya.
Tanpa William ketahui, dari arah
belakangnya seseorang bertubuh tinggi tegap baru saja keluar dari pengadilan.
Ketika laki-laki itu berjalan melewatinya, William baru bisa melihat bagaimana
ia berpakaian serba hitam. Menurutnya, jaket kulit yang digunakan laki-laki itu
benar-benar payah. Jujur saja, dia malah terlihat sebagai seorang detektif
amatir yang tidak bisa menyamarkan penampilan.
Matanya masih mengamati si pria
serba hitam dengan saksama. Cara dia berjalan dengan menundukan kepala tentu
saja akan menarik perhatian orang lain. Seperti ada sebuah dosa yang tertempel
di wajahnya dan sebisa mungkin ia menghindari orang lain untuk melihatnya.
Sesimple itu.
Seseorang menepuk bahunya dengan
sesuatu dan hal itu membat William kaget bukan main. Ketika berbalik, matanya
menangkap sosok Delphine dengan wajah kesalnya dan mau tidak mau hal itu
membuat William bertanya-tanya. Wahanya seolah berkata ‘apa?’
“Kamu ngerasa punya kuping gak sih? Saya manggil-manggil kamu dari tadi.”
Oh ya? Delphine memanggilnya beberapa
kali?
Kerutan di dahi William membuat Delphine kesal dan tergerak untuk melihat apa yang menjadi pusat perhatian William sedari tadi hingga mengabaikan panggilannya.
Hanya ada jalanan yang padat
pengguna kendaraan dan seseorang yang berjalan di trotoar dengan pakaian serba
hitam yang mencolok. Pria itukah yang menarik perhatian William?
Tunggu, bicara soal orang berpakaian
serba hitam itu … Delphine merasa pernah menemuinya juga. Kalau tidak salah di
…
“Pria itu lagi?”
Suara Delphine balik menarik
perhatian William. Tanpa sadar laki-laki itu menunggu apa yang akan dikatakan
Delphine selajutnya.
“Saya juga pernah ketemu dia kalau
gak salah. Di apartemen kamu, dia baru keluar lift kalau gak salah.”
Apa katanya?
Kini pandangan William benar-benar hanya
tertuju pada Delphine. Menangkap matanya dan melihat apakah gadis itu
mengatakan hal yang sebenarnya. Ucapan Delphine tadi mau tidak mau malah
menakutinya. Apakah pria tadi adalah salah satu bagian dari benang merah kasus
yang tengah diselidikinya ini? Tidak menutup kemungkinan untuk semua jawaban Ya
atau tidak.
Jika memang Ya, berarti William harus meningkatkan keamanan untuk seluruh anggota keluarganya. Dan Delphine.
***
“Jadi untuk apa kamu menemui saya?”
Mulut Delphine kembali mendengus
mendengar pertanyaan William. Bukankah Delphine sudah beberapa kali
memberitahunya bahwa tujuannya datang ke pengadilan adalah titah dari sang
ayah? Lama-lama William berkembang kembali menjadi manusia super menyebalkan.
Dihiraukannya pertanyaan William dan Delphine tetap mengunyah wafer yang ada pada minumannya. Sedangkan pemandangan Delphine dengan mulut penuh wafer dan gaya cueknya malah membuat William mengunci rapat-rapat pandangannya pada gadis itu.
Entah kenapa Delphine selalu dengan
pesonanya. Tidak biasa, tapi mampu menggetarkan dinding dan rongga hatinya
dalam waktu bersamaan. Entah ini yang namanya cinta atau apa. Ia lupa bagaimana
saat pertama kali dirinya menyadari bagaimana ia bisa jatuh cinta pada Deana
dulu.
Melihat William tersenyum-senyum
sendiri seperti itu membuat Delphine risih. Ada yang salahkah di wajahnya?
Sambil terus menatap William yang masih tersenyum tangannya meraba beberapa
bagaian wajahnya, takut-takut kalau ada kotoran atau semacamnya. William yang
menyadari Delphine mulai risih dengan tatapannya pun mengurai senyum
berangsur-angsur.
Dia jadi salah tingkah sendiri “Gak ada apa-apa di wajah kamu.”
“Eh?” Tertangkap basah, Delphine
menurunkan tangannya perlahan dan meraih sedotan. Milk shake oreo yang
dipesannya tadi berubah jadi rasa buah tiba-tiba lengkap dengan debaran jantung
tak terhingga.
“Waktu istirahat habis, kamu harus
kembali ke Golda.” Dengan tenang William beringsut beridiri setelah menghela
nafas yang cukup panjang. Kuris tergeser dan Delphine ikut berdiri. “Biar saya
antar kamu. Kamu gak bawa mobil kan?”
Delphine memang tidak membawa
mobilnya dari Golda tadi. Gadis itu memilih menumpang mobil Melati yang juga
akan memenuhi janji makan siang di sekitar pengadilan negeri.
William berjalan mendahului Delphine
yang sepertinya agak kerepotan dengan totebagnya yang terbuka. Ketika sadar
Delphine tertinggal, William memutuskan berhenti dan melihat Delphine yang
semakin kesulitan dengan tasnya. Baru saja William akan membantu Delphine,
seseorang menabrak bahu Delphine dari belakang dan mengakibatkan semua isi tas
Delphine muntah.
Tanpa basa basi William menghampiri
Delphine yang siuk membereskan isi tasnya. Pandangan mata semua orang mengarah
kearah mereka saat ini, membuat tangan Delphine bergetar dan seolah tidak bisa
dikendalikan otak.
Sambil tetap membantu Delphine, mata
William menangkap sosok itu lagi. Sosok pria dalam balutan pakaian hitam dan ia
tengah berjalan keluar saat ini.
Apakah mungkin …
“Hey, gak apa-apa?”
Tangan Delphine masih bergetar.
William meraihnya dan menghentikan pekerjaan Delphine. Dengan cepat ia
memasukan semua barang Delphine dan membawa gadis itu pergi dari sana.
Dengan tergesa-gesa William menarik
Delphine hingga tempat parkir. Setelah membukakan pintu untuk Delphine dan
memastikan gadis itu mengenakan safety belt nya dengan benar, William menancap
gas mobil seolah ia akan terbang sebentar lagi. Terbang bersama kekhawatirannya.
“Kenapa sih bawa mobilnya ngebut
banget?!” Saat itu Delphine agak membentak William yang benar-benar membawa
mobilnya dengan gila. Ia sama sekali tidak akan melarang William jika laki-laki
itu hanya membawa dirinya sendiri. Masalahnya adalah William membawa Delphine
dan keselamatan Delphine berada di tangan William saat ini.
Sampai di perempatan traffic light,
William memberhentikan mobilnya hingga berada di tengah deretan mobil yang
lain.
“Tadi kamu lihat siapa yang nabrak
kamu?”
Mendengar pertanyaan William membuat
Delphine sedikit memutar ingatannya pada kejadian di café tadi. Ia memang
merasa di tabrak dengan sengaja, hanya saja Delphine tidak bisa melihat dengan
jelas bagaimana orang yang telah menabraknya saat itu karena topi hitam yang
dikenakannya ..
Topi hitam?
Delphine ingat betul bagaimana orang
yang menabraknya tadi mengenakan pakaian serba hitam seperti yang dilihatnya
tempo hari di apartemen William dan beberapa saat yang lalu saat William juga
melihatnya.
Apakah itu orang yang sama?
Apakah ini disegaja.
“Itu orang yang tadi kan?”
Meski dengan ragu dan merasa ini
semua cukup aneh, Delphine mengangguk dan membuat William mendesah keras-keras.
Kenapa? Entahlah, saat ini dia terlihat sangat frustasi.
***
Tidak tanggung-tanggung, William
mengantarkan Delphine hingga ke meja kerjanya. Membuat teman-temannya yang lain
keheranan seklaigus iri. Bagaimana bisa seorang William bersama gadis seperti
William? Kira-kira seperti itu mereka memandangi Delphine saat ini.
Ketika bersama William Delphine
merasa kesulitan meneguk ludahnya sendiri, entah kenapa. Juga dengan debaran
jantung yang sekali-kali berdetak melebihi batas normal. Kadang menyesakan dan
kadang Delphine bisa dengan diam-diam tersipu malu karena perlakuannya.
Seperti sekarang ini.
“Kamu gak harus nganterin saya sampai ke sini.”
Tidak ada jawaban dari William
karena ia sendiri bingung harus menjawab apa. Bingung harus bagaimana dan
bingung kenapa ia bisa seperti ini. Bersama Delphine membuat dirinya nampaka
bodoh dan terlalu gentle.
Tanpa mengatakan apapun lagi William
berniat meninggalkan Delphine untuk kembali bekerja. Lihat kan? Bagaimana ia
kesusahan berkata hanya di depan Delphine? Kata-kata yang sudah disiapkanya
mendadak tersalib detak jantungnya sendiri. Oh my God, jika terus seperti ini
William takut akan terus berdelusi sepanjang malam nanti.
Seseorang membuka pintu dengan cukup
keras, tak ayal membuat sepasang mata melihat siapa yang melakukannya.
Seseorang bertubuh agak tambun dengan kemeja polkadot tipis dan rok sepan yang
berada jauh di atas lutut kini berderap maju kea rah meja kerja Delphine. Si
empunya yang masih berdiri jelas kaget dna bertanya mengapa.
Niat William pergi urung seketika
dan lebih memilih melihat apa yang akan terjadi kemudian.
“Lo kebawah sekarang deh, Del. Tiara
nagmuk-ngamuk lagi. Ada mbak Gabby juga di bawah.”
Kakaknya ada di bawah? William jelas
kaget karena setelah dari persidangan tadi, Gabby pergi bersama Johan dengan
mobil ayahnya itu. Lalu mengapa Gabby bisa ada di sini? Atas ijin Johankah?
“Serius lo? Jangan bilang ini
masalah baju yang ilang itu?”
Tidak ada yang bisa di dengar
William lagi setelah Delphine bertanya dnegan kepanikan penuh, ia segera turun
dengan lift dan menemukan Gabby berada di Showroom bersama Tiara yang berdiri
dengan tangan terlipat di dada.
“Kak?”
Baik Tiara maupun Gabby sama-sama
melihat siapa yang bersuara. Mereka kaget dan heran mengapa bisa William berada
di sini. Gabby mengira William masih rajin mengontrol Golda seperti keinginanya
sednagkan Tiara kembali menduga jika William benar-benar ada fair bersama Delphine.
“Emangnya lo udah di bolehin ke
sini?”
Tidak ada jawaban dari Gabby. Yang
ada, kakaknya itu malah menghampirinya dan menyuruhnya terduduk di salah satu
sofa. “Ngapain lo disini? Golda atau Delphine?”
Benci sekali William pada Gabby yang
to the point di saat-saat seperti
ini. Entah ini sindiran atau apa, yang jelas Tiara cukup terkejut dengan apa
yang baru saja dikatakan Gabby.
“Kok lo ngomong gitu , Gab? Emang
ada apa Willy sama si curut itu?”
Apa katanya? Perkataan Tiara yang
mengatai Delphine ‘si curut’ membuatnya mual dan ingin memuntahkan isi perutnya
pada Tiara. Seenaknya saja Tiara mengatai cintanya.
“Dulu gue sempet comblangin mereka.
Siapa tahu udah berhasil.”
“Apa?”
Delphine beserta gadis kemeja
polkadot tadi terlihat baru saja keluar dari lift, di susul Yuma yang tetap
berjalan dengan santai. Apa yang akan di bicarakan Gabby?
“Kalian berdua tolong kembali
bekerja.” Perkataan Gabby terdengar dingin tidak seperti biasanya ketika
menunjuk Yuma dan si gadis kemeja polkadot tadi. “Will, ini urusan intern, jadi
gue harap lo keluar dulu.”
Hah? Bahkan Gabby mengusirnya?
Apakah ini adalah hal serius dan menyangkut Delphine? Apakah akan menyakiti
gadis itu?
William harap tidak.
***
Kini hanya tersisa Gabby dengan
Tiara dan Delphine yang duduk di depannya. Karena cemas, takut-takut Tiara
mengadu pada Gabby tentang baju yang hilang itu Delphine meremas kedua tangan
yang berada di pangkuannya.
Beberbeda dengan Delphine yang panik
setengah mati, Tiara justru duduk dengan santai dan tinggi hati. Merasa menang
dan unggul dari gadis yang ‘sepertinya’ memiliki hubungan khusus dengan
William. Adik Gabby yang sampai sekarang masih diinginkannya. Sampai saat ini
Tiara tidak mengerti mengapa William bisa menolaknya. Laki-laki normal mana
yang mampu menolak pesona Tiara?
Huh, Tiara lupa jika pesona bukan
hanya apa yang nampak tapi apa yang tersembunyi dan menarik hati.
“Saya mengetahui apa yang terjadi di
Golda selama saya tidak ada.” Dalam hati Delphine menjerit ketakutan karena
Gabby belum pernah sekaku ini sebelumnya. “Termasuk kasus tiga baju yang
hilang.”
Sekarang Delphine benar-benar berada
di ujung tanduk. Tinggal menunggu angin mengganggu keseimbangannya kemudian
Delphine akan terjatuh dan meninggal dengan sensasional. Ini jelas hiperbola.
“Kamu tahu kemana baju-baju itu?”
Sesaat ia lupa apakah sebelumnya
Delphine telah mendeklarasikan ketidaktahuannya tentang baju-baju yang hilang
itu pada orang lain. Apakah mereka akan percaya jika Delphine berkata jujur
saat ini. Jujur tentang ketidaktahuannya? Nampaknya semesta hanya berpihak 2
dari 10 angka yang dimilikanya pada Delphine.
“Saya benar-benar tidak tahu. Lagi
pula, bukannya hal ini juga di tanyakan pada office boy yang membereskan
kantor?”
“Apakah saat ini kamu menyalahkan
office boy?”
Kenapa jadi seperti ini? Apakah
Gabby benar-benar menganggapnya bersalah?
“Buka –“
“Tiara, tolong suruh yang tadi
masuk.”
Siapa?
Seseorang masuk dan berdiri diantara
mereka. Seorang laki-laki dengan seragam berwarna putih berkerah biru. Badge di
dadanya sangat familiar, laundry yang tidak jauh dari sini sepertinya. Tanpa siapapun
sadari, Tiara kembali tersenyum menang. Sepertinya kali ini Delphine kalah
telak.
“Baju yang kata kamu hilang dan
membuat persiapan kita molor parah itu berada di laundry. Apa yang bisa kamu
tanggung jawabkan dari ini semua?”
Kenapa bisa? Batin Delphine terus
bertanya-tanya. Jika baju-baju itu berada di laundry, berarti ada seseorang
yang mengirimkannya. Siapa? Teman-teman di divisinya tidak ada yang sekriminal
itu dan tega menyembunyikan pekerjaannnya di Laundry. Diam-diam Delphine
melihat Gabby yang nampak tenang tapi sebenarnya marah luar biasa itu.
“Siapa yang bawa bajunya ke laundry?”
“Kamu bilang siapa?” Terdengar dengusan sebal dari Gabby sebelum ia berdiri dan menghampiri petugas laundry yang berdiri di sampingnya. “Mas, baju-baju ini atas nama siapa?”
“Atas nama Delphine Aria, Bu.”
Bukan main terkejutnya Delphine
Ketika namanya disebukan dengan begitu tenang oleh si petugas laundry. Kenapa
bisa namanya ada di sana? Kapan ia membawa baju-baju itu ke laundry? Kondisi
seperti ini jauh lebih mengerikan ketika diadili bagi Delphine.
“Kamu dengar?”
Jauh di lubuk hati Delphine, ia
merasa telah di dzalimi. Jelas-jelas Delphine di tuduh. Tangannya terkepal di
samping tubuh , tapi tentu saja ia tidak bisa marah begitu saja. Ada hal yang
menakutinya dan membuat emosinya tenggelam dan akhirnya tak nampak. Kini
Delphine hanya terlihat seperti orang yang pasrah dengan segala macam tuduhan
yang di lemparkan padanya.
“Kenapa diam?”
Sekuat tenaga Delphine mengusir dan
mengeyahnkan seluruh kepanikan yang melanda dirinya saat ini. Sekuat tenaga
Delphine menentang tubuhnya yang hanya terdiam kaku seolah tak mendengar
perintah otak.
“Saya diam, karena merasa tidak
melakukan apa yang telah dituduhkan.”
Suara Delphine tidak terdengar
bergetar sedikitpun. Ia sendiri bingung mendapatkan keberanian dari mana. Meski
setelahnya ia tetap menggit bibirnya senidri karena gugup setengah mati. Pelan-Pelan
Delphine menghela nafas, membuat Gabby dan Tiara melihatnya semakin intens. “Saya minta maaf kalau memang gara-gara saya semuanya jadi kacau.”
“Saya tidak menerima maaf kamu.”
Tanpa di sangka Gabby malah kembali meyudutkan Delphine. Mau tidak mau jantung
Delphine kembali berdebar lebih kencang, takut dan panik. “GFS tinggal sebentar
lagi. Saya minta kamu melakukan yang terbaik dan memperbaiki kesalahan kamu.”
Status bersalah masih Gabby berikan
padanya. Delphine tidak suka dengan ini. Ingin sekali ia berteriak di depan
wajah Gabby saat ini dan meneriakan bahwa dia tidak bersalah sama sekali.
Chapter 14
Prilaku seperti ini membuat Mama dan Alexandra heran. Pasalnya Delphine selalu ikut menyiapkan makan malam atau menghabiskan waktu dengan bercerita bersama Alexandra, Tapi sekarang gadis itu malah mengurung diri.
Dan jika tidak salah, Mama mendengar Delphine sempat menangis dari balik pintu. Bukan Delphine sekali.
Pak Goes berada di rumah semenjak tadi siang, menghabiskan waktu di ruang kerjanya dan memberitahu sang istri untuk menyiapkan makan malam dengan baik malam ini karena Teman lamanya Johan dan anak bungsunya akan makan malam bersama mereka.
Alhasil, Mama malah sibuk sendiri di dapur bersama Alexandra yang hanya membantu mengupasi bawang dan memotongi beberapa sayuran. Keponakannya itu memang tidak begitu pandai memasak. Tidak seperti Delphine yang sepertinya menuruni bakat pandai memasak darinya.
“Kamu denger Kakak mu nangis gak, Lex?”
Suara Mama terdengar ketika Alexandra sedang mencoba mengaduk sayur yang berada dalam kuali. Ia memang sempat mendengar Delphine menangis dan menjerit keras-keras dalam kamarnya. Sedikit khawatir memang, tapi ia yakin Delphine tidak akan berbuat hal yang macam-macam sekalipun ia dalam kondisi benar-benar terpukul. Alexandra cukup mengenal Delphine sebagai orang yang paling tenang ketika menghadapi masalah.
“Denger, Tan.”
“Kenapa ya kira-kira? Ndak biasanya loh dia gitu.”
Dengan iseng Alexandra mencicipi kuar sayurnya dengan sendok. Tidak di ragukan lagi kalau masakan tantenya itu adalah juara. “Paling diputusin pacar.”
Mama mengernyitkan dahi ketika Alexandra menjawab pertanyaanya dengan spontan. Memangnya Delphine sudah punya pacar? Bukankah terkahir kali anak gadisnya itu mengakhiri hubungan dengan Galang?
“Pacar dia sekarang siapa emang?”
“Aku kira yang waktu itu datang ke rumah. Siapa sih namanya? William ya, Tan?”
***
Sebentar lagi Johan dan William akan datang dan itu berarti makan malam akan segera dimulai. Pak Goes baru keluar dari ruang kerjanya setelah menyelesaikan berkas-berkas yang dipelajarinya tentang kasus terror yang menimpa Gabby. Masalah ini cukup rumit baginya.
Harum masakan sudah menggoda perutnya hingga terdengar sedikit berbunyi. Sang istri dan keponakannya Alexandra masih berkutat menghidangkan makanan dia atas meja makan. Delphine tidak terlihat. Ia kira anak bungsunya itu belum pulang ke rumah.
Sambil membuka kulkas dan mengambil minum suara pak Goes terdengar ditengah-tengah perdebatan istrinya dengan Alexandra tentang sosok R di film warm bodies yang baru mereka tonton kemarin. “Delphine mana, Ma?”
“Lagi patah hati.” Tanpa di sangka Mama benar-benar menanggapi apa yang dikatakan Alexandra tadi. Sambil terus menata makanan mama kembali menjelaskan tentang Delphine yang belum juga keluar setelah pulang kerja tadi.
“Hati kok dipatah-patahin, Kayak punya gantinya aja.” Pak Goes mengomentari ucapan istrinya dengan setengah bergumam setelah menenggak airnya. Kemudian ia berlalu dan menuju kamar Delphine. Ingin melihat bagaimana parahnya Delphine ketika patah hati sekaligus menyuruhnya untuk bersiap-siap makan malam.
Pintu kamar Delphine tertutup rapat. Hening. Tidak ada tanda kehidupan di dalamnya. Dengan pelan Pak Goes mengetuknya beberapa kali. Sudah kali kedua dan Delphine tidak menyahutnya. Diketukan ketiga Delphine masih tidak menjawab panggilannya, Pak Goes sempat berpikir untuk mendobrak pintunya tapi sebelumnya Delphine sudah keluar membuka pintu dengan wajah acak-acakan baru bangun tidur.
Melihat sang ayah ada di depannya tidak lantas membuat gadis itu kaget, ia berlalu begitu saja dengan setengah sadar tanpa menghiraukan Pak Goes yang masih berdiri di tempatnya. Belum jauh ia berjalan menuju kamar mandi, Pak Goes kembali bersuara.
“Jelek banget kamu. Pantes di putusin.”
Hah?
Mendengar perkataan Ayahnya, Delphine berbalik dengan dahi berkerut dan pikiran bertanya-tanya, apa katanya? Di putuskan? Delphine belum pernah diputuskan pacarnya kecuali Galang. Satu-satunya laki-laki yang pernah dengan tega memutuskannya hanyalah Galang. Atau yang dimaksud Ayahnya itu memang Galang?
“Kok papa nyebelin sih? Jelek-jelek gini juga anak Papa!”
Masih ditempatnya, Delphine membiarkan Pak Goes berjalan hingga berada beberapa senti di dekatnya. Meski sudah tua tapi badan sang ayah masih terlihat bagus dan tinggi badannya membuat Delphine iri. Kenapa dari persilangan genetika Mama dan Papanya, Harus dihasilkan Delphine yang tidak terlalu tinggi?
Huh, Delphine mendesah dalam hati. Sadar, bahwa menyesali apa yang telah digariskan Tuhan sama sekali tidak ada gunanya.
“Kamu mandi, ada temen papa mau makan malam bersama disini. Sekalian ada hal penting yang mau papa bicarakan.”
“Harus?”
“Tidak boleh menolak untuk satu hal ini.”
Delphine kembali menghela nafas dan berbalik menuju kamar mandi. Kejadian di kantor tadi membuatnya terpukul dan tidak bisa mengatur emosi saat tiba di rumah tadi hingga memutuskan mengurung diri di kamar. Saat ini Delphine merasa tidak ada orang yang bisa dipercaya sejak kejadian baju yang hilang dan tiba-tiba ada di laundry itu. Hal yang menunjukan banyak musuh berkedok teman di sekitarnya. Ia butuh seseorang yang jujur dan bersedia jadi shoulder to cry-nya bersedia membagi bahu dan menghapus airmatanya ketika jatuh tak tertampung pelupuknya.
Pak Goes duduk di sofa yang ada di ruang tengah setelah kembali dari kamar Delphine. Kepalanya berat akhir-akhir ini. Kasus yang dihadapinya begit banyak menyita waktu bersama keluarga dan untuk dirinya sendiri. Dari data yang sudah diperolehnya memang sudah ada kemajuan, Ia sudah bisa menduga-duga motif dari pelaku. Apalagi ketika mendapat laporan dari William tadi sore tentang orang berpakaian serba hitam yang selalu ada di dekat mereka.
Akan membahayakan jika Delphine selalu berada di dekat keluarga Ardiwilaga sebenarnya, karena dengan begitu pelaku juga akan mengincar Delphine. Dengan sedikit frustasi Pak Goes mengurut dahinya hingga terdengar bunyi bel di depan rumah.
Sudah pasti itu Johan dan William.
“Ma, sudah siapkan semuanya? Teman papa sudah dateng kayaknya.”
***
Setelah berpakaian malam, Delphine datang menghampiri meja makan dan menemukan William serta Johan berada di antara Mama, Pak Goes dan Alexandra. Ia sama sekali tidak ingat Pak Goes telah memberitahunya untuk bersiap-siap makan malam bersama temannya. Mana tahu Bahwa yang dimaksud Pak Goes adalah William dan ayahnya.
Kini Delphine hanya mengenakan celana piama panjang dengan atasan kaos belel longgar favoritenya. Jika seperti ini sudah pasti harga diri Delphine turun drastis, apalagi di depan William. Duh, kenapa kondisinya menjadi sangat tidak nyaman seperti ini.
Sekuat tenaga Delphine mengumpulkan kepercayaan dirinya dan bergerak mendekat ke arah meja makan. Tanpa menghiraukan tatapan semua orang tentang penampilannya Delphine cuek megambil duduk di samping Alexandra.
“Kenapa pada diem?” Sadar bahwa semua orang menyangsikan pakaian yang dikenakan Delphine, gadis itu kembali menarik napas dan melihat bajunya sendiri. “Ini New York Street style. Ada masalah?”
“Yang artinya kamu anak jalanan?”
“Kok mama gitu sih sama Adel?”
Makan malam kali ini diringi dengan tawa. Suara tawa semua orang yang menjadikan Dlephine dengan pakaiannya sebagai objek penertawaan, seperti hari bahagia. Meski mereka sama sekali tidak tahu adakah bahagia yang duduk menjemput mereka atau tidak.
***
Teras rumah Delphine terlihat lebih ramai karena ada William, Alexandra dan Delphine sendiri yang berada di sana. The melati buatan Mama menemani mereka. Tidak terdengar pervakapan diantara mereka. Delphine sibuk dengan kuas kutek yang sedang dipoleskannya pada jari-jari kuku sedangkan Alexander sibuk berselancar di timeline twitter.
Jangan tanya apa yang dilakukan William. Laki-laki itu tengah serius melihat Delphine dengan kuteknya. Ekspressi gadis itu benar-benar membuatnya ingin tertawa. Kadang memajukan bibir dan kadang menariknya dan mengigiti giginya.
Andai William yang bisa mengigitinya seperti itu.
Pak Goes dan Johan tengah membecirakan sesuatu dengan Mama. Tidak tahu apa, yang William tahu hanya mereka akan memberitahu Mama tentang kasus ini.
Omong-omong mengenai kasus ini, Kejadian tadi di Golda benar-benar membuatnya cemas. Dia memang tidak ada ketika Delphine dimarahi Gabby dan Tiara habis-habisan tadi. Tapi setelahnya Gabby menceritakan semuanya pada William. Jelas William membela Delphine. Bukannya ia memang mengetahui seuatu, ia hanya merasa yakin Delphine tidak melakukan hal seperti yang di tuduhkan.
William percaya ia masih bisa membedakan mana yang bai dan buruk, mana yang tulus dan tidak.
“Alexandra?”
“Hah?”
“Hah-hoh-hah-hoh, aja. Yang sopan sama om-om!”
Mata William mendelik mendengar apa yang dikatakan Delphine. Apakatanya tadi? Om-om? Huh, dia memang sudah pernah menikah dan memiliki dua orang anak kembar. Tapi hal itu bukan alasan Delphine menyebutnya Om-om dong. Dalam hati William bersungut sendiri.
“Saya 29 tahun, tahun ini.”
“Kamu tua ketika muda.”
Mencium akan adanya keributan, Alexandra menciut dan hanya bungkam melihat mereka berdua. William memang tidak terlihat tua. Delphine perlu ke dokter mata sepertinya.
“Oh, ya. Kemarin aku ketemu kak Yuma loh di Grand Plaza. Gak nyangka dia cantik banget, pacarnya juga ganteng.”
Mendengar perkataan Alexandra mencuri perhatian kedua orang itu. Pikiran mereka nampaknya sama. Meski Delphine belum tahu apa yang sebenarnya terjadi tapi Delphine yakin sekali ada yang disembunyikan sahabatnya itu. Sedangkan William mulai menghubungkan Yuma dengan pacarnya. Apakah mereka sekongkol? Apakah ini direncanakan?
“Kamu tahu saya kenal Yuma juga?”
“Aku pikir karena kakak adalah adik dari mbak Gabby, jadi kakak kenal Kak Yuma juga.”
Mata William menangkap Delphine yang terdiam dalam duduknya. Ia tergelitik memancing Delphine berbicara sekarang. Sepertinya ada yang disembunyikan gadis itu sejak lama.
“Saya juga kenal Yuma, Kok. Siapa pacarnya sekarang ya?”
“Masih sama kayak enam bulan lalu kok. Cuma kak Jo, agak aneh. Pakaiannya mendadak serba item gitu. Aku kira dia selesai dari pemakaman.”
Bingo!
Jo!
Dalam hati William tersenyum senang mendapat informasi lain dari Alexandra, tapi di samping lain William terkejut melihat Delphine yang tetap duduk dengan tercenung. Seolah tidak percaya apa yang dikatakan Alexandra.
Sebelum William sempat memancing Alexandra kembali berbicara, Pak Goes sudah membuka pintu dan mengajak mereka masuk untuk kembali berbincang. Tidak. William lebih tahu. Lebih tepatnya memberitahu Delphine sebuah fakta tentang sahabatnya.
Ini mungkin akan menyakitkan dan William hanya bisa berdoa supaya Delphine tidak terpukul setelahnya.
***
Jo sedang menuliskan sesuatu pada secarik kertas berwarna coklat kayu mahoni yang kasar dengan serat di atas meja kerjanya. Ia memakai pena khusus yang selalu dipakainya ketika menandatangani dokumen penting. Pena mahal nan berharga yang sulit sekali di dapatkan saat ini. Menurutnya ini adalah surat special karena memang ditujukan untuk orang special. Siapa kalian bilang? Yuma? Tidak.
Yuma tidak pernah se-special ini dihatinya. Hanya saja Yuma tidak pernah tahu. Peduli setan. Batinnya.
Asalkan kalian tahu, Jo berubah seratus delapan puluh derajat dari tahun-tahun sebelumnya ketika masih bisa menspecialkan orang yang disayanginya. Sangat disayangkan karena orang yang sangat disayanginya tidak lagi melihatnya sebagai apa yang dilihatnya dulu. Tidak ada yang tidak berubah memang. Untuk itu juga ia berubah. Menjadi kejam dan tidak berperasaan.
“Kamu akan tahu ini aku.” Bisikan Jo membangunkan Yuma yang tertidur di sofa ruang kerjanya.
***
Tak ada niatan untuk memberitahu Alexandra tentang keadaan yang mengancam Gabby serta keluarga Ardiwilaga yang lainnya. Tapi karena sebelumnya William terlebih dulu mengatakan bahwa Alexandra pernah menemukan Yuma bersama kekasihnya, atau si pria pakaian hitam yang sebelumnya pernah muncul dihadapan William (yang sepertinya) disengaja itu. Pak goes akhirnya memutuskan untuk membiarkan Alexandra tetap berada diantara percakapan mereka tadi. Ia bisa menggunakan keponakannya itu untuk bekerja sama dengan Delphine mengawasi Yuma. Kedengarannya memang tidak buruk.
Penyelidikan akan dilakukan lebih intensif, harus ada orang-orang yang benar-benar membantunya dalam hal ini.
Mama belum kembali setelah tadi meminta izin untuk ke kamar mandi. Nampaknya sang istri memang sanagt terkejut mendengar apa yang sedang terjadi pada keluarga Ardiwilaga. Apa mau dikata? Mama sudah tahu semuanya dan Pak Goes berharap istrinya itu bisa menjaga diri lebih baik.
Bukan main terkejutnya Delphine ketika Pak Goes membeberkan segala bukti yang telah didapatnya dalam penyelidikan yang telah dilakukan, segala bukti mengarah pada Yuma. Sepertinya Yuma memang berperan sebagai pelaku kasus ini, meskipun tidak ada yakin berapa besar peran Yuma.
"Papa memutuskan untuk memberitahu kamu karena kamu adalah salah satu orang yang sering berada di dekat Yuma."
Masih dengan keterdiamannya, Delphine meraih salah satu gambar yang diambil dari cctv, di sana nampak Yuma yang berjalan menuju pagar sebuah rumah. Tidak mengerti mengapa gambar seperti ini dijadikan bukti.
"Itu gambar Yuma yang akan memasuki rumah pelaku penabrakan Gabby, kambing hitam kejadian ini."
Pak Goes terdengar memberikan keterangan ketika Delphine mencoba melihat gambar itu, jika memang pelaku yang telah ditetapkan bersalah itu hanyalah kambing hitam, apakah Yuma adalah pelaku atau sama-sama korban dari pelaku sebenarnya?
Susah payah Delphine meneguk ludahnya sendiri. Jadi apa yang Jo katakana pada Yuma tempo hari di telfon itu memang benar adanya? Yuma yang sebenarnya menyebabkan kecelakaan pada Gabby? Sulit dipercaya. Lagipula untuk apa Yuma mencelakai Gabby yang selama ini baik padanya? Dendam pribadi? Delphine menganal Yuma sebagai orang yang bukan pendendam.
“Kalian mau minta Aku gabung dipenyelidikan juga?”
Johan terlihat akan mengambil alih perkataan yang akan dilontarkan Pak Goes pada anak gadisnya itu. Beberapa kali ia bertemu Delphine dalam beberapa kali kesempatan yang tak pernah terencanakan membuat Johan bisa menilai bagaimana Delphine. Ia yakin sekali gadis ini tak akan menolak. Apalagi Delphine mempunyai kedekatan dengan Gabby dan si kembar. Bahkan mungkin mempunyai hubungan khusus dengan anak bungsunya.
“Kamu bisa membantu kami kan? Kami tidak meminta kamu menjadi mata-mata atau sebagainya, kami butuh kamu sebagai informan, bersama Alexandra juga.”
Mendengar namanya disebut, Alexandra terkejut bukan main. Bagaimana bisa namanya jadi disebut-sebut? Apa katanya tadi? Informan dalam penyelidikan? Alexandra kira hal ini hanya ada dalam film-film atau sinteron yang ia tonton. Delphine memadanginya. Dalam situasi seperti ini ia sangat tahu arti tatapan itu. Tatapan bertanya. Apakah mereka akan ikut membantu atau tetap berpura-pura tidak tahu dan tetap duduk dibangku penonton.
“Bahaya?”
Jujur saja, ketika diminta menjadai bagian dalam penyelidikan yang sedang dilakukan ayahnya dan Johan serta William itu, pertanyaan yang pertama kali muncul dalam benak Delphine adalah apakah ini membahayakan dirinya dam mereka yang disayanginya? Dasar Delphine bodoh. Tentu saja.
Begitupula yang terjadi pada Alexandra. Sejatinya mereka memang hanya seorang perempuan biasa yang tidak pernah terlibat dengan hal seperti ini, jadi wajar saja jika mereka ketakutan.
“Ada saya, Papa kamu dan Papa saya. Kamu masih gak cukup yakin kalau kamu bakal kami lindungi?”
William menjadi pusat perhatian semua orang di sana. Mama hampir tertawa mendengarnya. Bukannya lucu. Hanya saja William persis suamianya ketika masih muda dulu. Ketika mereka akan mulai merajut cinta. Lalu apakah yang dilakukan William sama? Mulai merajut cinta dengan anaknya?
***
Setelah pembicaraan mereka selesai Pak Goes dan Johan kembali berbicara serius di ruang kerjanya. Mama tetap berada di dapur bersama Alexandra sedangkan Delphine menemani William duduk di teras berdua. Malam ini lumayan cerah, meski tidak ada bintang yang terlihat tapi malam ini terasa lebih hangat dibandingkan biasanya.
Delphine membuatkan secangkir kopi untuk William tadi. Sudah diregut beberapa kali dan sisa setengahnya. Lama tidak ada percakapan diantara mereka. Delphine lebih memilih diam dan memandangi pagar rumahnya sendiri sedangkan William memperhatikan Delphine diam-diam.
Jantungya berpacu dengan cepat kembali. Padahal yang mereka lakukan hanya diam dengan pikiran masing-masing. Benar-benar tidak habis pikir dengan reaksi jantungnya yang seperti ini.
“Si kembar ditinggal?”
Blep. Mendengar suara Delphine jantungnya seperti berhenti berdetak dan seolah jatuh melesat ke mata kaki.
“Hah? Eh iya, tadi di tinggal sama Mama dan Gabby.”
Tidak tahu harus berbicara apalagi, Delphine memilih kembali diam dan kembali menatap pagar di depan rumahnya.
“Besok, Jadikan?”
“Apa?”
“Ulangtahun si Kembar.”
“Oh iya.”
Ketika mendengar nama si kembar kembali, Pikiran Delphine melompat pada percakapan Jo di telfon tempo hari. Dia sudah menjadi bagian dari penyelidikan yang tengah dilakukan Ayahnya dan William ini, Jadi seharusnya Delphine memberitahu William. Siapa tau memang hal ini membantu.
“Oh iya, tepat di hari saya menemui kamu di excello itu, Paginya, Yuma mendapatkan panggilan dari Jo.”
“Jo?” William memotong ucapan Delphine, membuatnya hanya mengangguk dan meneruskan apa yang harus dikatakannya.
“Jo ini pacarnya Yuma, saya tidak tau hubungan mereka sekarang gimana, Tapi dalam percakapannya Jo membahasa tentang si kambing hitam kecelakaan Gabby dan menganggapnya sebuah kabar gembira.”
William sempat hanya terdiam menanggapi ucapan Delphine yang terbata-bata itu. Kenapa Delphine baru memberitahunya sekarang? Sudah bisa dipastikan bahwa Yuma memang terkait dengan pacarnya dalam aksi terror ini.
Segalanya nampak terlihat mudah.
“Hm, Kamu yang mengangkat panggilan itu?”
“Gak sengaja.”
Kontan William menyunggingkan senyum ketika Delphine berkata dengan jujur dan pelan seperti itu. Benar-benar menggelikan ekspresi gadis itu.
Di tengah-tengah percakapan mereka Alexandra datang membawa setoples kastengel. Gadis itu datang dengan atusias seperti telah memecahkan masalah dalam seribu soal matemati yang dikerjakannya. Tapi sepertinya tidak mungkin juga Gadis itu mengerjakan seribu soal matematika, kembali pada sifat Alexandra yang benci angka, kecuali dalam nominal uang yang ia miliki.
“Nih sambil nyemil, aku punya rencana bagus.”
Benar kan?
Kastengel adalah makanan ringan kesukaan William dan Delphine juga. Laki-laki itu sudah akan mengambil toples kue kering itu namun terhenti ketika tangan Delphine lebih dulu mengambilnya, memeluknya dan meyimpannya di pangkuan. Nampaknya Delphine akan menikmati kue kering itu sendirian.
“Rencana apa?”
Dengan mulut yang masih penuh dengan kue yang dimakannya Delphine bertanya, membuat William geli dan mengambil toples itu dari Delphine. “Makan ya makan, ngomong ya ngomong.”
Dengusan kecil Delphine terdengar, dengan so dewasa Alexandra mengengahi mereka. “Udah, dong. Aku mau ngomong nih.”
Seketika mereka berdua berhenti saling melayangkan tatapan sarkastis. Alexandra kembali mengambil posisi. “Gimana kalo kita bikin kak Yuma ‘nyanyi’ aja?”
“Hah?”
“Kemungkinan besarkan Kak Yuma itu berkomplot sama pacarnya. Nah kenapa kita gak bikin dia ngaku sendiri aja?”
“Caranya?”
***
To be Continued
Hi, Gais. Lama tak jumpa, udah kan kangen sama William nya? Tuh aku kasih special Double Cahpter, Biar lucu :) I've finished writing this story for a long time. But, for any reason i decided to keep it. But, Now ... berkat Rienditta Saffira yang nyindir dan kena banget sampe ke lubang hidung terdalam, aku post deh. Dan jin tomang yang minta Double Chapter malem-malem, nih aku post <3
Dua Chapter ini buat kalian yang selalu neror aku lewat inbox atau lewat manapun <3
Sorry for any typos and wrong word, kritik dan saran lemparin aja ke comment box di bawah ya, biar lucu :D yang sudah baca juga harus comment biar lucu, nanti aku kasih ketjup manis manja :)
and last, thank you for people who still support me until now :) *ketjup manis manja*
Beberapa
saat yang lalu sidang telah dimulai dan keputusan hakim menyatakan Terdakwa
atas kecelakaan yang menimpa Gabby bersalah dan dijatuhi hukuman selama lima
tahun penjara untuk pasal berlapis dan kejahatan yang direncanakan. William
berada di sana. Begitupun dengan Yuma yang hadir sebagai saksi.
Sidang berlangsung dengan lancar,
Pak Goes mengatakan akan ke kantor polisi untuk mengurusi beberapa hal. Tidak
ada yang harus dilakukan William lagi kali ini selain mengamati gerak-gerik
Yuma. Gadis (yang bukan gadis) itu akan keluar dari ruang sidang dan entah
kemana. Sedangkan keputusan mengikuti Yuma sangat beresiko, William tidak akan
begitu saja menempatkan dirinya sendiri dalam msalah besar.
Seharusnya ada Delphine saat ini.
Gadis itu akan banyak membantu dengan selalu ikut mengawasi Yuma.
Sambil terus berjalan di belakang
Yuma, William memikirkan apakah Pak Goes telah memberitahukan perihal
penyelidikan ini pada Delphine. Jika sudah, apa reaksi yang akan datang dari
Delphine? Mendengar sahabatnya menjadi seorang terduga bersalah pasti akan
sangat sulit bagi Delphine.
Ketika mereka mulai keluar dari
pengadilah, Yuma terlihat memasuki taksi dan William tidak berencana
mengejarnya. Tidak sekarang, pikirnya.
Tanpa William ketahui, dari arah
belakangnya seseorang bertubuh tinggi tegap baru saja keluar dari pengadilan.
Ketika laki-laki itu berjalan melewatinya, William baru bisa melihat bagaimana
ia berpakaian serba hitam. Menurutnya, jaket kulit yang digunakan laki-laki itu
benar-benar payah. Jujur saja, dia malah terlihat sebagai seorang detektif
amatir yang tidak bisa menyamarkan penampilan.
Matanya masih mengamati si pria
serba hitam dengan saksama. Cara dia berjalan dengan menundukan kepala tentu
saja akan menarik perhatian orang lain. Seperti ada sebuah dosa yang tertempel
di wajahnya dan sebisa mungkin ia menghindari orang lain untuk melihatnya.
Sesimple itu.
Seseorang menepuk bahunya dengan
sesuatu dan hal itu membat William kaget bukan main. Ketika berbalik, matanya
menangkap sosok Delphine dengan wajah kesalnya dan mau tidak mau hal itu
membuat William bertanya-tanya. Wahanya seolah berkata ‘apa?’
“Kamu ngerasa punya kuping gak sih?
Saya manggil-manggil kamu dari tadi.”
Oh ya? Delphine memanggilnya beberapa
kali?
Kerutan di dahi William membuat
Delphine kesal dan tergerak untuk melihat apa yang menjadi pusat perhatian
William sedari tadi hingga mengabaikan panggilannya.
Hanya ada jalanan yang padat
pengguna kendaraan dan seseorang yang berjalan di trotoar dengan pakaian serba
hitam yang mencolok. Pria itukah yang menarik perhatian William?
Tunggu, bicara soal orang berpakaian
serba hitam itu … Delphine merasa pernah menemuinya juga. Kalau tidak salah di
…
“Pria itu lagi?”
Suara Delphine balik menarik
perhatian William. Tanpa sadar laki-laki itu menunggu apa yang akan dikatakan
Delphine selajutnya.
“Saya juga pernah ketemu dia kalau
gak salah. Di apartemen kamu, dia baru keluar lift kalau gak salah.”
Apa katanya?
Kini pandangan William benar-benar hanya
tertuju pada Delphine. Menangkap matanya dan melihat apakah gadis itu
mengatakan hal yang sebenarnya. Ucapan Delphine tadi mau tidak mau malah
menakutinya. Apakah pria tadi adalah salah satu bagian dari benang merah kasus
yang tengah diselidikinya ini? Tidak menutup kemungkinan untuk semua jawaban Ya
atau tidak.
Jika memang Ya, berarti William
harus meningkatkan keamanan untuk seluruh anggota keluarganya. Dan Delphine.
***
“Jadi untuk apa kamu menemui saya?”
Mulut Delphine kembali mendengus
mendengar pertanyaan William. Bukankah Delphine sudah beberapa kali
memberitahunya bahwa tujuannya datang ke pengadilan adalah titah dari sang
ayah? Lama-lama William berkembang kembali menjadi manusia super menyebalkan.
Dihiraukannya pertanyaan William dan
Delphine tetap mengunyah wafer yang ada pada minumannya. Sedangkan pemandangan
Delphine dengan mulut penuh wafer dan gaya cueknya malah membuat William
mengunci rapat-rapat pandangannya pada gadis itu.
Entah kenapa Delphine selalu dengan
pesonanya. Tidak biasa, tapi mampu menggetarkan dinding dan rongga hatinya
dalam waktu bersamaan. Entah ini yang namanya cinta atau apa. Ia lupa bagaimana
saat pertama kali dirinya menyadari bagaimana ia bisa jatuh cinta pada Deana
dulu.
Melihat William tersenyum-senyum
sendiri seperti itu membuat Delphine risih. Ada yang salahkah di wajahnya?
Sambil terus menatap William yang masih tersenyum tangannya meraba beberapa
bagaian wajahnya, takut-takut kalau ada kotoran atau semacamnya. William yang
menyadari Delphine mulai risih dengan tatapannya pun mengurai senyum
berangsur-angsur.
Dia jadi salting sendiri.
“Gak ada apa-apa di wajah kamu.”
“Eh?” Tertangkap basah, Delphine
menurunkan tangannya perlahan dan meraih sedotan. Milk shake oreo yang
dipesannya tadi berubah jadi rasa buah tiba-tiba lengkap dengan debaran jantung
tak terhingga.
“Waktu istirahat habis, kamu harus
kembali ke Golda.” Dengan tenang William beringsut beridiri setelah menghela
nafas yang cukup panjang. Kuris tergeser dan Delphine ikut berdiri. “Biar saya
antar kamu. Kamu gak bawa mobil kan?”
Delphine memang tidak membawa
mobilnya dari Golda tadi. Gadis itu memilih menumpang mobil Melati yang juga
akan memenuhi janji makan siang di sekitar pengadilan negeri.
William berjalan mendahului Delphine
yang sepertinya agak kerepotan dengan totebagnya yang terbuka. Ketika sadar
Delphine tertinggal, William memutuskan berhenti dan melihat Delphine yang
semakin kesulitan dengan tasnya. Baru saja William akan membantu Delphine,
seseorang menabrak bahu Delphine dari belakang dan mengakibatkan semua isi tas
Delphine muntah.
Tanpa basa basi William menghampiri
Delphine yang siuk membereskan isi tasnya. Pandangan mata semua orang mengarah
kearah mereka saat ini, membuat tangan Delphine bergetar dan seolah tidak bisa
dikendalikan otak.
Sambil tetap membantu Delphine, mata
William menangkap sosok itu lagi. Sosok pria dalam balutan pakaian hitam dan ia
tengah berjalan keluar saat ini.
Apakah mungkin …
“Hey, gak apa-apa?”
Tangan Delphine masih bergetar.
William meraihnya dan menghentikan pekerjaan Delphine. Dengan cepat ia
memasukan semua barang Delphine dan membawa gadis itu pergi dari sana.
Dengan tergesa-gesa William menarik
Delphine hingga tempat parkir. Setelah membukakan pintu untuk Delphine dan
memastikan gadis itu mengenakan safety belt nya dengan benar, William menancap
gas mobil seolah ia akan terbang sebentar lagi. Terbang bersama kekhawatirannya.
“Kenapa sih bawa mobilnya ngebut
banget?!” Saat itu Delphine agak membentak William yang benar-benar membawa
mobilnya dengan gila. Ia sama sekali tidak akan melarang William jika laki-laki
itu hanya membawa dirinya sendiri. Masalahnya adalah William membawa Delphine
dan keselamatan Delphine berada di tangan William saat ini.
Sampai di perempatan traffic light,
William memberhentikan mobilnya hingga berada di tengah deretan mobil yang
lain.
“Tadi kamu lihat siapa yang nabrak
kamu?”
Mendengar pertanyaan William membuat
Delphine sedikit memutar ingatannya pada kejadian di café tadi. Ia memang
merasa di tabrak dengan sengaja, hanya saja Delphine tidak bisa melihat dengan
jelas bagaimana orang yang telah menabraknya saat itu karena topi hitam yang
dikenakannya ..
Topi hitam?
Delphine ingat betul bagaimana orang
yang menabraknya tadi mengenakan pakaian serba hitam seperti yang dilihatnya
tempo hari di apartemen William dan beberapa saat yang lalu saat William juga
melihatnya.
Apakah itu orang yang sama?
Apakah ini disegaja.
“Itu orang yang tadi kan?”
Meski dengan ragu dan merasa ini
semua cukup aneh, Delphine mengangguk dan membuat William mendesah keras-keras.
Kenapa? Entahlah, saat ini dia terlihat sangat frustasi.
***
Tidak tanggung-tanggung, William
mengantarkan Delphine hingga ke meja kerjanya. Membuat teman-temannya yang lain
keheranan seklaigus iri. Bagaimana bisa seorang William bersama gadis seperti
William? Kira-kira seperti itu mereka memandangi Delphine saat ini.
Ketika bersama William Delphine
merasa kesulitan meneguk ludahnya sendiri, entah kenapa. Juga dengan debaran
jantung yang sekali-kali berdetak melebihi batas normal. Kadang menyesakan dan
kadang Delphine bisa dengan diam-diam tersipu malu karena perlakuannya.
Seperti sekarang ini.
“Kamu gak harus nganterin saya
sampai ke sini.”
Tidak ada jawaban dari William
karena ia sendiri bingung harus menjawab apa. Bingung harus bagaimana dan
bingung kenapa ia bisa seperti ini. Bersama Delphine membuat dirinya nampaka
bodoh dan terlalu gentle.
Tanpa mengatakan apapun lagi William
berniat meninggalkan Delphine untuk kembali bekerja. Lihat kan? Bagaimana ia
kesusahan berkata hanya di depan Delphine? Kata-kata yang sudah disiapkanya
mendadak tersalib detak jantungnya sendiri. Oh my God, jika terus seperti ini
William takut akan terus berdelusi sepanjang malam nanti.
Seseorang membuka pintu dengan cukup
keras, tak ayal membuat sepasang mata melihat siapa yang melakukannya.
Seseorang bertubuh agak tambun dengan kemeja polkadot tipis dan rok sepan yang
berada jauh di atas lutut kini berderap maju kea rah meja kerja Delphine. Si
empunya yang masih berdiri jelas kaget dna bertanya mengapa.
Niat William pergi urung seketika
dan lebih memilih melihat apa yang akan terjadi kemudian.
“Lo kebawah sekarang deh, Del. Tiara
nagmuk-ngamuk lagi. Ada mbak Gabby juga di bawah.”
Kakaknya ada di bawah? William jelas
kaget karena setelah dari persidangan tadi, Gabby pergi bersama Johan dengan
mobil ayahnya itu. Lalu mengapa Gabby bisa ada di sini? Atas ijin Johankah?
“Serius lo? Jangan bilang ini
masalah baju yang ilang itu?”
Tidak ada yang bisa di dengar
William lagi setelah Delphine bertanya dnegan kepanikan penuh, ia segera turun
dengan lift dan menemukan Gabby berada di Showroom bersama Tiara yang berdiri
dengan tangan terlipat di dada.
“Kak?”
Baik Tiara maupun Gabby sama-sama
melihat siapa yang bersuara. Mereka kaget dan heran mengapa bisa William berada
di sini. Gabby mengira William masih rajin mengontrol Golda seperti keinginanya
sednagkan Tiara kembali menduga jika William benar-benar ada fair bersama Delphine.
“Emangnya lo udah di bolehin ke
sini?”
Tidak ada jawaban dari Gabby. Yang
ada, kakaknya itu malah menghampirinya dan menyuruhnya terduduk di salah satu
sofa. “Ngapain lo disini? Golda atau Delphine?”
Benci sekali William pada Gabby yang
to the point di saat-saat seperti
ini. Entah ini sindiran atau apa, yang jelas Tiara cukup terkejut dengan apa
yang baru saja dikatakan Gabby.
“Kok lo ngomong gitu , Gab? Emang
ada apa Willy sama si curut itu?”
Apa katanya? Perkataan Tiara yang
mengatai Delphine ‘si curut’ membuatnya mual dan ingin memuntahkan isi perutnya
pada Tiara. Seenaknya saja Tiara mengatai cintanya.
“Dulu gue sempet comblangin mereka.
Siapa tahu udah berhasil.”
“Apa?”
Delphine beserta gadis kemeja
polkadot tadi terlihat baru saja keluar dari lift, di susul Yuma yang tetap
berjalan dengan santai. Apa yang akan di bicarakan Gabby?
“Kalian berdua tolong kembali
bekerja.” Perkataan Gabby terdengar dingin tidak seperti biasanya ketika
menunjuk Yuma dan si gadis kemeja polkadot tadi. “Will, ini urusan intern, jadi
gue harap lo keluar dulu.”
Hah? Bahkan Gabby mengusirnya?
Apakah ini adalah hal serius dan menyangkut Delphine? Apakah akan menyakiti
gadis itu?
William harap tidak.
***
Kini hanya tersisa Gabby dengan
Tiara dan Delphine yang duduk di depannya. Karena cemas, takut-takut Tiara
mengadu pada Gabby tentang baju yang hilang itu Delphine meremas kedua tangan
yang berada di pangkuannya.
Beberbeda dengan Delphine yang panik
setengah mati, Tiara justru duduk dengan santai dan tinggi hati. Merasa menang
dan unggul dari gadis yang ‘sepertinya’ memiliki hubungan khusus dengan
William. Adik Gabby yang sampai sekarang masih diinginkannya. Sampai saat ini
Tiara tidak mengerti mengapa William bisa menolaknya. Laki-laki normal mana
yang mampu menolak pesona Tiara?
Huh, Tiara lupa jika pesona bukan
hanya apa yang nampak tapi apa yang tersembunyi dan menarik hati.
“Saya mengetahui apa yang terjadi di
Golda selama saya tidak ada.” Dalam hati Delphine menjerit ketakutan karena
Gabby belum pernah sekaku ini sebelumnya. “Termasuk kasus tiga baju yang
hilang.”
Sekarang Delphine benar-benar berada
di ujung tanduk. Tinggal menunggu angin mengganggu keseimbangannya kemudian
Delphine akan terjatuh dan meninggal dengan sensasional. Ini jelas hiperbola.
“Kamu tahu kemana baju-baju itu?”
Sesaat ia lupa apakah sebelumnya
Delphine telah mendeklarasikan ketidaktahuannya tentang baju-baju yang hilang
itu pada orang lain. Apakah mereka akan percaya jika Delphine berkata jujur
saat ini. Jujur tentang ketidaktahuannya? Nampaknya semesta hanya berpihak 2
dari 10 angka yang dimilikanya pada Delphine.
“Saya benar-benar tidak tahu. Lagi
pula, bukannya hal ini juga di tanyakan pada office boy yang membereskan
kantor?”
“Apakah saat ini kamu menyalahkan
office boy?”
Kenapa jadi seperti ini? Apakah
Gabby benar-benar menganggapnya bersalah?
“Buka –“
“Tiara, tolong suruh yang tadi
masuk.”
Siapa?
Seseorang masuk dan berdiri diantara
mereka. Seorang laki-laki dengan seragam berwarna putih berkerah biru. Badge di
dadanya sangat familiar, laundry yang tidak jauh dari sini sepertinya. Tanpa siapapun
sadari, Tiara kembali tersenyum menang. Sepertinya kali ini Delphine kalah
telak.
“Baju yang kata kamu hilang dan
membuat persiapan kita molor parah itu berada di laundry. Apa yang bisa kamu
tanggung jawabkan dari ini semua?”
Kenapa bisa? Batin Delphine terus
bertanya-tanya. Jika baju-baju itu berada di laundry, berarti ada seseorang
yang mengirimkannya. Siapa? Teman-teman di divisinya tidak ada yang sekriminal
itu dan tega menyembunyikan pekerjaannnya di Laundry. Diam-diam Delphine
melihat Gabby yang nampak tenang tapi sebenarnya marah luar biasa itu.
“Siapa yang bawa bajunya ke
laundry?”
“Kamu bilang siapa?” Terdengar
dengusan sebal dari Gabby sebelum ia berdiri dan menghampiri petugas laundry
yang berdiri di sampingnya. “Mas, baju-baju ini atas nama siapa?”
“Atas nama Delphine Aria, Bu.”
Bukan main terkejutnya Delphine
Ketika namanya disebukan dengan begitu tenang oleh si petugas laundry. Kenapa
bisa namanya ada di sana? Kapan ia membawa baju-baju itu ke laundry? Kondisi
seperti ini jauh lebih mengerikan ketika diadili bagi Delphine.
“Kamu dengar?”
Jauh di lubuk hati Delphine, ia
merasa telah di dzalimi. Jelas-jelas Delphine di tuduh. Tangannya terkepal di
samping tubuh , tapi tentu saja ia tidak bisa marah begitu saja. Ada hal yang
menakutinya dan membuat emosinya tenggelam dan akhirnya tak nampak. Kini
Delphine hanya terlihat seperti orang yang pasrah dengan segala macam tuduhan
yang di lemparkan padanya.
“Kenapa diam?”
Sekuat tenaga Delphine mengusir dan
mengeyahnkan seluruh kepanikan yang melanda dirinya saat ini. Sekuat tenaga
Delphine menentang tubuhnya yang hanya terdiam kaku seolah tak mendengar
perintah otak.
“Saya diam, karena merasa tidak
melakukan apa yang telah dituduhkan.”
Suara Delphine tidak terdengar
bergetar sedikitpun. Ia sendiri bingung mendapatkan keberanian dari mana. Meski
setelahnya ia tetap menggit bibirnya senidri karena gugup setengah mati. Pelan-Pelan
Delphine menghela nafas, membuat Gabby dan Tiara melihatnya semakin intens.
“Saya minta maaf kalau memang gara-gara
saya semuanya jadi kacau.”
“Saya tidak menerima maaf kamu.”
Tanpa di sangka Gabby malah kembali meyudutkan Delphine. Mau tidak mau jantung
Delphine kembali berdebar lebih kencang, takut dan panik. “GFS tinggal sebentar
lagi. Saya minta kamu melakukan yang terbaik dan memperbaiki kesalahan kamu.”
Status bersalah masih Gabby berikan
padanya. Delphine tidak suka dengan ini. Ingin sekali ia berteriak di depan
wajah Gabby saat ini dan meneriakan bahwa dia tidak bersalah sama sekali.
Beberapa
saat yang lalu sidang telah dimulai dan keputusan hakim menyatakan Terdakwa
atas kecelakaan yang menimpa Gabby bersalah dan dijatuhi hukuman selama lima
tahun penjara untuk pasal berlapis dan kejahatan yang direncanakan. William
berada di sana. Begitupun dengan Yuma yang hadir sebagai saksi.
Sidang berlangsung dengan lancar,
Pak Goes mengatakan akan ke kantor polisi untuk mengurusi beberapa hal. Tidak
ada yang harus dilakukan William lagi kali ini selain mengamati gerak-gerik
Yuma. Gadis (yang bukan gadis) itu akan keluar dari ruang sidang dan entah
kemana. Sedangkan keputusan mengikuti Yuma sangat beresiko, William tidak akan
begitu saja menempatkan dirinya sendiri dalam msalah besar.
Seharusnya ada Delphine saat ini.
Gadis itu akan banyak membantu dengan selalu ikut mengawasi Yuma.
Sambil terus berjalan di belakang
Yuma, William memikirkan apakah Pak Goes telah memberitahukan perihal
penyelidikan ini pada Delphine. Jika sudah, apa reaksi yang akan datang dari
Delphine? Mendengar sahabatnya menjadi seorang terduga bersalah pasti akan
sangat sulit bagi Delphine.
Ketika mereka mulai keluar dari
pengadilah, Yuma terlihat memasuki taksi dan William tidak berencana
mengejarnya. Tidak sekarang, pikirnya.
Tanpa William ketahui, dari arah
belakangnya seseorang bertubuh tinggi tegap baru saja keluar dari pengadilan.
Ketika laki-laki itu berjalan melewatinya, William baru bisa melihat bagaimana
ia berpakaian serba hitam. Menurutnya, jaket kulit yang digunakan laki-laki itu
benar-benar payah. Jujur saja, dia malah terlihat sebagai seorang detektif
amatir yang tidak bisa menyamarkan penampilan.
Matanya masih mengamati si pria
serba hitam dengan saksama. Cara dia berjalan dengan menundukan kepala tentu
saja akan menarik perhatian orang lain. Seperti ada sebuah dosa yang tertempel
di wajahnya dan sebisa mungkin ia menghindari orang lain untuk melihatnya.
Sesimple itu.
Seseorang menepuk bahunya dengan
sesuatu dan hal itu membat William kaget bukan main. Ketika berbalik, matanya
menangkap sosok Delphine dengan wajah kesalnya dan mau tidak mau hal itu
membuat William bertanya-tanya. Wahanya seolah berkata ‘apa?’
“Kamu ngerasa punya kuping gak sih?
Saya manggil-manggil kamu dari tadi.”
Oh ya? Delphine memanggilnya beberapa
kali?
Kerutan di dahi William membuat
Delphine kesal dan tergerak untuk melihat apa yang menjadi pusat perhatian
William sedari tadi hingga mengabaikan panggilannya.
Hanya ada jalanan yang padat
pengguna kendaraan dan seseorang yang berjalan di trotoar dengan pakaian serba
hitam yang mencolok. Pria itukah yang menarik perhatian William?
Tunggu, bicara soal orang berpakaian
serba hitam itu … Delphine merasa pernah menemuinya juga. Kalau tidak salah di
…
“Pria itu lagi?”
Suara Delphine balik menarik
perhatian William. Tanpa sadar laki-laki itu menunggu apa yang akan dikatakan
Delphine selajutnya.
“Saya juga pernah ketemu dia kalau
gak salah. Di apartemen kamu, dia baru keluar lift kalau gak salah.”
Apa katanya?
Kini pandangan William benar-benar hanya
tertuju pada Delphine. Menangkap matanya dan melihat apakah gadis itu
mengatakan hal yang sebenarnya. Ucapan Delphine tadi mau tidak mau malah
menakutinya. Apakah pria tadi adalah salah satu bagian dari benang merah kasus
yang tengah diselidikinya ini? Tidak menutup kemungkinan untuk semua jawaban Ya
atau tidak.
Jika memang Ya, berarti William
harus meningkatkan keamanan untuk seluruh anggota keluarganya. Dan Delphine.
***
“Jadi untuk apa kamu menemui saya?”
Mulut Delphine kembali mendengus
mendengar pertanyaan William. Bukankah Delphine sudah beberapa kali
memberitahunya bahwa tujuannya datang ke pengadilan adalah titah dari sang
ayah? Lama-lama William berkembang kembali menjadi manusia super menyebalkan.
Dihiraukannya pertanyaan William dan
Delphine tetap mengunyah wafer yang ada pada minumannya. Sedangkan pemandangan
Delphine dengan mulut penuh wafer dan gaya cueknya malah membuat William
mengunci rapat-rapat pandangannya pada gadis itu.
Entah kenapa Delphine selalu dengan
pesonanya. Tidak biasa, tapi mampu menggetarkan dinding dan rongga hatinya
dalam waktu bersamaan. Entah ini yang namanya cinta atau apa. Ia lupa bagaimana
saat pertama kali dirinya menyadari bagaimana ia bisa jatuh cinta pada Deana
dulu.
Melihat William tersenyum-senyum
sendiri seperti itu membuat Delphine risih. Ada yang salahkah di wajahnya?
Sambil terus menatap William yang masih tersenyum tangannya meraba beberapa
bagaian wajahnya, takut-takut kalau ada kotoran atau semacamnya. William yang
menyadari Delphine mulai risih dengan tatapannya pun mengurai senyum
berangsur-angsur.
Dia jadi salting sendiri.
“Gak ada apa-apa di wajah kamu.”
“Eh?” Tertangkap basah, Delphine
menurunkan tangannya perlahan dan meraih sedotan. Milk shake oreo yang
dipesannya tadi berubah jadi rasa buah tiba-tiba lengkap dengan debaran jantung
tak terhingga.
“Waktu istirahat habis, kamu harus
kembali ke Golda.” Dengan tenang William beringsut beridiri setelah menghela
nafas yang cukup panjang. Kuris tergeser dan Delphine ikut berdiri. “Biar saya
antar kamu. Kamu gak bawa mobil kan?”
Delphine memang tidak membawa
mobilnya dari Golda tadi. Gadis itu memilih menumpang mobil Melati yang juga
akan memenuhi janji makan siang di sekitar pengadilan negeri.
William berjalan mendahului Delphine
yang sepertinya agak kerepotan dengan totebagnya yang terbuka. Ketika sadar
Delphine tertinggal, William memutuskan berhenti dan melihat Delphine yang
semakin kesulitan dengan tasnya. Baru saja William akan membantu Delphine,
seseorang menabrak bahu Delphine dari belakang dan mengakibatkan semua isi tas
Delphine muntah.
Tanpa basa basi William menghampiri
Delphine yang siuk membereskan isi tasnya. Pandangan mata semua orang mengarah
kearah mereka saat ini, membuat tangan Delphine bergetar dan seolah tidak bisa
dikendalikan otak.
Sambil tetap membantu Delphine, mata
William menangkap sosok itu lagi. Sosok pria dalam balutan pakaian hitam dan ia
tengah berjalan keluar saat ini.
Apakah mungkin …
“Hey, gak apa-apa?”
Tangan Delphine masih bergetar.
William meraihnya dan menghentikan pekerjaan Delphine. Dengan cepat ia
memasukan semua barang Delphine dan membawa gadis itu pergi dari sana.
Dengan tergesa-gesa William menarik
Delphine hingga tempat parkir. Setelah membukakan pintu untuk Delphine dan
memastikan gadis itu mengenakan safety belt nya dengan benar, William menancap
gas mobil seolah ia akan terbang sebentar lagi. Terbang bersama kekhawatirannya.
“Kenapa sih bawa mobilnya ngebut
banget?!” Saat itu Delphine agak membentak William yang benar-benar membawa
mobilnya dengan gila. Ia sama sekali tidak akan melarang William jika laki-laki
itu hanya membawa dirinya sendiri. Masalahnya adalah William membawa Delphine
dan keselamatan Delphine berada di tangan William saat ini.
Sampai di perempatan traffic light,
William memberhentikan mobilnya hingga berada di tengah deretan mobil yang
lain.
“Tadi kamu lihat siapa yang nabrak
kamu?”
Mendengar pertanyaan William membuat
Delphine sedikit memutar ingatannya pada kejadian di café tadi. Ia memang
merasa di tabrak dengan sengaja, hanya saja Delphine tidak bisa melihat dengan
jelas bagaimana orang yang telah menabraknya saat itu karena topi hitam yang
dikenakannya ..
Topi hitam?
Delphine ingat betul bagaimana orang
yang menabraknya tadi mengenakan pakaian serba hitam seperti yang dilihatnya
tempo hari di apartemen William dan beberapa saat yang lalu saat William juga
melihatnya.
Apakah itu orang yang sama?
Apakah ini disegaja.
“Itu orang yang tadi kan?”
Meski dengan ragu dan merasa ini
semua cukup aneh, Delphine mengangguk dan membuat William mendesah keras-keras.
Kenapa? Entahlah, saat ini dia terlihat sangat frustasi.
***
Tidak tanggung-tanggung, William
mengantarkan Delphine hingga ke meja kerjanya. Membuat teman-temannya yang lain
keheranan seklaigus iri. Bagaimana bisa seorang William bersama gadis seperti
William? Kira-kira seperti itu mereka memandangi Delphine saat ini.
Ketika bersama William Delphine
merasa kesulitan meneguk ludahnya sendiri, entah kenapa. Juga dengan debaran
jantung yang sekali-kali berdetak melebihi batas normal. Kadang menyesakan dan
kadang Delphine bisa dengan diam-diam tersipu malu karena perlakuannya.
Seperti sekarang ini.
“Kamu gak harus nganterin saya
sampai ke sini.”
Tidak ada jawaban dari William
karena ia sendiri bingung harus menjawab apa. Bingung harus bagaimana dan
bingung kenapa ia bisa seperti ini. Bersama Delphine membuat dirinya nampaka
bodoh dan terlalu gentle.
Tanpa mengatakan apapun lagi William
berniat meninggalkan Delphine untuk kembali bekerja. Lihat kan? Bagaimana ia
kesusahan berkata hanya di depan Delphine? Kata-kata yang sudah disiapkanya
mendadak tersalib detak jantungnya sendiri. Oh my God, jika terus seperti ini
William takut akan terus berdelusi sepanjang malam nanti.
Seseorang membuka pintu dengan cukup
keras, tak ayal membuat sepasang mata melihat siapa yang melakukannya.
Seseorang bertubuh agak tambun dengan kemeja polkadot tipis dan rok sepan yang
berada jauh di atas lutut kini berderap maju kea rah meja kerja Delphine. Si
empunya yang masih berdiri jelas kaget dna bertanya mengapa.
Niat William pergi urung seketika
dan lebih memilih melihat apa yang akan terjadi kemudian.
“Lo kebawah sekarang deh, Del. Tiara
nagmuk-ngamuk lagi. Ada mbak Gabby juga di bawah.”
Kakaknya ada di bawah? William jelas
kaget karena setelah dari persidangan tadi, Gabby pergi bersama Johan dengan
mobil ayahnya itu. Lalu mengapa Gabby bisa ada di sini? Atas ijin Johankah?
“Serius lo? Jangan bilang ini
masalah baju yang ilang itu?”
Tidak ada yang bisa di dengar
William lagi setelah Delphine bertanya dnegan kepanikan penuh, ia segera turun
dengan lift dan menemukan Gabby berada di Showroom bersama Tiara yang berdiri
dengan tangan terlipat di dada.
“Kak?”
Baik Tiara maupun Gabby sama-sama
melihat siapa yang bersuara. Mereka kaget dan heran mengapa bisa William berada
di sini. Gabby mengira William masih rajin mengontrol Golda seperti keinginanya
sednagkan Tiara kembali menduga jika William benar-benar ada fair bersama Delphine.
“Emangnya lo udah di bolehin ke
sini?”
Tidak ada jawaban dari Gabby. Yang
ada, kakaknya itu malah menghampirinya dan menyuruhnya terduduk di salah satu
sofa. “Ngapain lo disini? Golda atau Delphine?”
Benci sekali William pada Gabby yang
to the point di saat-saat seperti
ini. Entah ini sindiran atau apa, yang jelas Tiara cukup terkejut dengan apa
yang baru saja dikatakan Gabby.
“Kok lo ngomong gitu , Gab? Emang
ada apa Willy sama si curut itu?”
Apa katanya? Perkataan Tiara yang
mengatai Delphine ‘si curut’ membuatnya mual dan ingin memuntahkan isi perutnya
pada Tiara. Seenaknya saja Tiara mengatai cintanya.
“Dulu gue sempet comblangin mereka.
Siapa tahu udah berhasil.”
“Apa?”
Delphine beserta gadis kemeja
polkadot tadi terlihat baru saja keluar dari lift, di susul Yuma yang tetap
berjalan dengan santai. Apa yang akan di bicarakan Gabby?
“Kalian berdua tolong kembali
bekerja.” Perkataan Gabby terdengar dingin tidak seperti biasanya ketika
menunjuk Yuma dan si gadis kemeja polkadot tadi. “Will, ini urusan intern, jadi
gue harap lo keluar dulu.”
Hah? Bahkan Gabby mengusirnya?
Apakah ini adalah hal serius dan menyangkut Delphine? Apakah akan menyakiti
gadis itu?
William harap tidak.
***
Kini hanya tersisa Gabby dengan
Tiara dan Delphine yang duduk di depannya. Karena cemas, takut-takut Tiara
mengadu pada Gabby tentang baju yang hilang itu Delphine meremas kedua tangan
yang berada di pangkuannya.
Beberbeda dengan Delphine yang panik
setengah mati, Tiara justru duduk dengan santai dan tinggi hati. Merasa menang
dan unggul dari gadis yang ‘sepertinya’ memiliki hubungan khusus dengan
William. Adik Gabby yang sampai sekarang masih diinginkannya. Sampai saat ini
Tiara tidak mengerti mengapa William bisa menolaknya. Laki-laki normal mana
yang mampu menolak pesona Tiara?
Huh, Tiara lupa jika pesona bukan
hanya apa yang nampak tapi apa yang tersembunyi dan menarik hati.
“Saya mengetahui apa yang terjadi di
Golda selama saya tidak ada.” Dalam hati Delphine menjerit ketakutan karena
Gabby belum pernah sekaku ini sebelumnya. “Termasuk kasus tiga baju yang
hilang.”
Sekarang Delphine benar-benar berada
di ujung tanduk. Tinggal menunggu angin mengganggu keseimbangannya kemudian
Delphine akan terjatuh dan meninggal dengan sensasional. Ini jelas hiperbola.
“Kamu tahu kemana baju-baju itu?”
Sesaat ia lupa apakah sebelumnya
Delphine telah mendeklarasikan ketidaktahuannya tentang baju-baju yang hilang
itu pada orang lain. Apakah mereka akan percaya jika Delphine berkata jujur
saat ini. Jujur tentang ketidaktahuannya? Nampaknya semesta hanya berpihak 2
dari 10 angka yang dimilikanya pada Delphine.
“Saya benar-benar tidak tahu. Lagi
pula, bukannya hal ini juga di tanyakan pada office boy yang membereskan
kantor?”
“Apakah saat ini kamu menyalahkan
office boy?”
Kenapa jadi seperti ini? Apakah
Gabby benar-benar menganggapnya bersalah?
“Buka –“
“Tiara, tolong suruh yang tadi
masuk.”
Siapa?
Seseorang masuk dan berdiri diantara
mereka. Seorang laki-laki dengan seragam berwarna putih berkerah biru. Badge di
dadanya sangat familiar, laundry yang tidak jauh dari sini sepertinya. Tanpa siapapun
sadari, Tiara kembali tersenyum menang. Sepertinya kali ini Delphine kalah
telak.
“Baju yang kata kamu hilang dan
membuat persiapan kita molor parah itu berada di laundry. Apa yang bisa kamu
tanggung jawabkan dari ini semua?”
Kenapa bisa? Batin Delphine terus
bertanya-tanya. Jika baju-baju itu berada di laundry, berarti ada seseorang
yang mengirimkannya. Siapa? Teman-teman di divisinya tidak ada yang sekriminal
itu dan tega menyembunyikan pekerjaannnya di Laundry. Diam-diam Delphine
melihat Gabby yang nampak tenang tapi sebenarnya marah luar biasa itu.
“Siapa yang bawa bajunya ke
laundry?”
“Kamu bilang siapa?” Terdengar
dengusan sebal dari Gabby sebelum ia berdiri dan menghampiri petugas laundry
yang berdiri di sampingnya. “Mas, baju-baju ini atas nama siapa?”
“Atas nama Delphine Aria, Bu.”
Bukan main terkejutnya Delphine
Ketika namanya disebukan dengan begitu tenang oleh si petugas laundry. Kenapa
bisa namanya ada di sana? Kapan ia membawa baju-baju itu ke laundry? Kondisi
seperti ini jauh lebih mengerikan ketika diadili bagi Delphine.
“Kamu dengar?”
Jauh di lubuk hati Delphine, ia
merasa telah di dzalimi. Jelas-jelas Delphine di tuduh. Tangannya terkepal di
samping tubuh , tapi tentu saja ia tidak bisa marah begitu saja. Ada hal yang
menakutinya dan membuat emosinya tenggelam dan akhirnya tak nampak. Kini
Delphine hanya terlihat seperti orang yang pasrah dengan segala macam tuduhan
yang di lemparkan padanya.
“Kenapa diam?”
Sekuat tenaga Delphine mengusir dan
mengeyahnkan seluruh kepanikan yang melanda dirinya saat ini. Sekuat tenaga
Delphine menentang tubuhnya yang hanya terdiam kaku seolah tak mendengar
perintah otak.
“Saya diam, karena merasa tidak
melakukan apa yang telah dituduhkan.”
Suara Delphine tidak terdengar
bergetar sedikitpun. Ia sendiri bingung mendapatkan keberanian dari mana. Meski
setelahnya ia tetap menggit bibirnya senidri karena gugup setengah mati. Pelan-Pelan
Delphine menghela nafas, membuat Gabby dan Tiara melihatnya semakin intens.
“Saya minta maaf kalau memang gara-gara
saya semuanya jadi kacau.”
“Saya tidak menerima maaf kamu.”
Tanpa di sangka Gabby malah kembali meyudutkan Delphine. Mau tidak mau jantung
Delphine kembali berdebar lebih kencang, takut dan panik. “GFS tinggal sebentar
lagi. Saya minta kamu melakukan yang terbaik dan memperbaiki kesalahan kamu.”
Status bersalah masih Gabby berikan
padanya. Delphine tidak suka dengan ini. Ingin sekali ia berteriak di depan
wajah Gabby saat ini dan meneriakan bahwa dia tidak bersalah sama sekali.
yeayyy akhirnya... udah kangen banget tau sama William dan penasaran banget sama pelaku terror. *brb baca* makasih banget udah mengabulkan permintaan kita-kita yaa :D mohon maaf lahir batin, selamat hari raya idul adha :D
BalasHapusHay, Galuh :) Makasih juga sudah mau nungguin aku Update Gold Hold :) makasih sudah visit dan leave comment *ketjup*
BalasHapusakhirnya dipost juga :)
BalasHapustambah seru aja nich jalan ceritanya...
next chapter ditunggu ya :)
Siti Maslacha : Makasih :) Wait for the next chapternya yaaa :)
BalasHapuskak, kok kay rada aneh pas baca kalimat "menggigiti giginya."
BalasHapusmenggigit emang pakai gigi kan kak? hehehehehe
duh, seru banget ini, lama nunggu di grup ternyata adanya di sini...