Gold Hold [Chapter 10]







Mobil William berhenti di depan sebuah Yayasan sekolah Elite. Ada gedung TK sampai dengan SMA. Sebelumnya memang laki-laki itu memintanya untuk ikut menjemput Eve dan Wilson, meski dengan sedikit keberatan tapi gadis itu juga tidak tega menolak jika telah bersinggungan dengan pasangan kembar itu.

            Sekolah sudah selesai sejak satu jam yang lalu dan kedua anaknya sudah terbiasa menunggu William menjemput mereka. Biasanya mereka ada di aula bermain bersama seorang guru piket dan siswa yang lainnya. William mengajak Delphine ke sana.

            Taman kanak-kanak Delphine dulu agak suram. Selain gurunya yang galak, teman-temannya dulu pun tidak semanis Eve dan Wilson saat ini. Sepertinya Delphine pun tidak begitu ingat bagaimana rasanya  duduk bersama teman-temannya mengelilingi bangku dan mewarnai atau menyambungkan garis putus-putus.

            Mereka sampai di aula dengan mudah karena jaraknya yang tidak jauh dari gerbang. Di sana terlihat Eve dan Wilson yang sedang mewarnai sebuah gambar pada sebuah buku. Mereka terlihat mengenakan pakaian olahraga dan Eve nampak berkeringat. Wilson adalah yang pertaman kali menyadari kedatangan mereka dan anak laki-laki itu langsung berlari ke pelukan sang Ayah. Eve yang telat menyadarinya mengekori di belakang sambil berteriak lucu.

            “Poooooop!”

            Ugh. Benar-benar gambaran keluarga yang bahagia dan Delphine sedikit iri.

            “Loh? Tante cantik ikut? Tante cantik udah jadi teman Pop?”

            Merasa Eve berbicara padanya dengan kepala yang menengadah sempurna, Delphine mensejajarkan tingginya dengan anak gadis itu. Badannya bertumpu pda lutut, sedikit kesulitan memang karena ia memakai rok kali ini. “Iya, dong. Kan gak boleh musuhan.”

            Tanpa disangka Eve memeluk Delphine yang masih berada di posisinya. William dan Wilson malah memandangi mereka sambil terdiam dengan bibir yang tersungging sama. Benar-benar like father like son. Apalagi kini tangan Wilson masuk kedalam kantong celananya lantas berkata menyebalkan.

            “Tante gak mau peluk Son juga?”

            Kepala Delphine berputar dan menghadap Wilson yang berada di samping bapaknya. Mereka benar-benar terlihat sama. Sama-sama menyebalkan. “Gak ah, minta peluk Pop kamu aja sana.” Di akhir kalimar menyebalkannya Delphine menjulurkan lidah dengan konyol ke arah Wilson dan Wilson mengerang kesal.

            “Nyebelin banget.”

            Delphine berdiri dan menuntun tangan mungil Eve sambil berjalan mengikuti William yang berjalan menuju mobilnya. Entah ini hanya pikirannya saja atau malah menjadi pikiran semua orang. Apa? Delphine dan William terlihat sebagai sepasang suami istri dengan dua orang anak kembar. Sekali lagi, gambaran keluarga bahagia.

            “Kalian di belakang ya. Tante cantik kalian biar duduk di depan.” Perkataan William terdengar setelah laki-laki itu membuka kunci mobil dengan remote. Sebelum mengikuti William masuk kedalam mobilnya, Delphine membantu Eve dan Wilson masuk dan memasangkan safety belt mereka. Barulah setelah itu Delphine masuk dan kembali berada di samping William.

            Sebenarnya Delphine pergi dengan mobilnya sendiri saat pertama kali mendatangi Excello tadi, tapi karena ajakan William, Delphine terpaksa meninggalkan mobilnya untuk sementara di sana dan dengan sukarela William mengemudikan mobil untuknya. Uh, enak sekali rasanya. Seperti William adalah supir pribadi paling tampan yang pernah ada.

            Hello, Delphine! Berhenti mengagumi William untuk saat ini.

            Eve dan Wilson terdengar berceloteh tentang huruf dan angka di belakang, sedangkan William tengah mencoba mengetikan sesuatu di ponselnya dengan sebelah tangan. Mata Delphine membulat melihat tingkah William yang memainkan handphone ketika berkendara. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?

            Dengan kesal gadis itu mengambil ponsel pintar yang sedang digunakan William dan melemparnya ke dashboard begitu saja. Enak saja, kalau mau cari mati gak usah ajak-ajak Delphine dan si kembar sebaiknya!

            “Kamu apa-apaan?!”

            Suara William meninggi dan terdengar seperti membentak. Ugh, kebiasaan buruk laki-laki itu kembali muncul ke permukaan. Tidak apa, Telinga dan hati Delphine sudah dibuat kebal karena terbiasa.

            “Saya mencoba menjauhkan kamu dari handphone dan membiarkan kamu fokus mengemudi.” Delphine terlihat menghela nafas kemudian melirik Eve dan Wilson yang mulai terdiam akibat suara keras William tadi. “Jangan main-main, kamu tidak sedang membawa nyawa kamu sendiri. Ada tiga orang lain yang masih mau hidup panjang!”

            Tandaskah?

            Perkataan super sarkastis dari Delphine membuat William berhenti mengernyitkan dahi dan kembali mengemudikan mobilnya seperti biasa. Laki-laki itu tertegun dan tanpa sadar menguatkan pegangannya pada kemudi. Mengapa Delphine bisa terlihat sama sekali seperti Deana ketika marah dan berucap sarkastis seperti tadi?

            Dia harus membuang pikirannya jauh-jauh. Harus. Jujur saja William memang tertarik dengan Delphine, tapi bukan berarti William harus mendepak Deana keluar dari hati dan pikirannya juga.

            “Maaf.”

            Meski dengan pelan Delphine bisa mendengar dengan jelas bagaimana William mengucapkan maafnya. Baguslah, setidaknya William lebih bisa menyadari kesalahannya dengan cepat saat ini. Tidak seperti yang dulu-dulu itu.

            “Permintaan maaf belum di terima sebelum saya kenyang.”

            Mata William beralih sedikit pada Delphine yang saat ini memandangi jalanan dalam diam sedangkan kedua anaknya kembali berceloteh di belakang.

            “Eve, Son, kalian mau Pop pesenin Burger?”

            Kalau tidak salah mereka akan melewati mall setelah jalan ini dan William teringat bagaimana kedua anaknya mencintai burger. Mereka sanggup menghabiskan satu bahkan dua buah burger sekaligus.

            “Huwaaaaa, Eve mau Pop!”

            “Aku gimana Eve aja.”

            “Uh, dasar tukang niru!”

            Selanjutnya Eve dan Wilson malah berdebat tidak penting di belakang, William tersenyum melihat mereka dari kaca spion dan ketika matanya mencoba melihat Delphine kembali, gadis itu tengah menatapnya dengan tatapan bertanya sedangkan William hanya mengernyitkan dahinya seolah balik bertanya.

            “Kamu ngapain nyodorin anak-anak makan burger?”

            “Kenapa emang?”

            Huh! Delphine mendengus kesal ke arah William. Dia tahu betul William tidak bodoh, lantas mengapa laki-laki itu malah bertanya ‘mengapa’ ketika Delphine mencoba marah pada sikap William yang seolah tidak peduli kesehatan si kembar.

            “Mereka jangan dibiasain makan junk food!”

            “Tapi mereka suka!”

            Geraman kesal Delphine kembali terdengar, seolah taring-taringnya muncul dan siap menancap di mana saja. Ini karena William yang bodoh dan menyebalkan! Delphine harus selalu mengontrol emosinya sembari mengusap dada.

            “Pokoknya mereka gak boleh makan junk food! Mereka perlu gizi yang baik dan aku gak akan biarin mereka makan makanan penuh kalori kayak gitu!”

            Entah apa yang baru saja diperbuat mulutnya barusan. Delphine malah bertingkah seolah ia adalah ibu si kembar dan adegan memarahi William tadi adalah bagian konflik rumah tangga yang menyedihkan karena sang suami yang tak mengerti istrinya.

            Oke, lupakan.

***

            Seorang perawat datang dan menemukan Gabby dengan selang infusan yang terlepas tengah terduduk di atas ranjangnya dengan mata memandangi kaca jendela yang pecah serta televisi yang hancur pula.

            Ketika menemukan Gabby bercucuran air mata dengan isakan tertahannya saat itu, si perawat langsung menghampiri Gabby dan melihat kondisinya. Perempuan itu seolah kehilangan kesadarannya dan menjadi patung tanpa bisa di bangunkan.

            Beberapa kali si perawat menekan panik button di dekat tempat tidur, setelah dipastikan dokter dan beberapa perawat lain akan datang ia mencoba membaringkan Gabby yang masih membatu di tempatnya.

            Demi Tuhaaaan, sebenarnya apa yang baru saja terjadi pada perempuan itu dan ruangan ini! Kepanikan si perawat seolah tergambar dari serangkaian kata tadi. Bertanya-tanya mengapa bisa seperti ini.

            “Mbak, mbak bisa mendengar saya?” Si perawat mulai mengguncangkan Gabby ketika perempuan itu enggan dibaringkan.

            Air matanya terus mengalir dan isakan tangisnya semakin ditahan kuat-kuat.

            Tidak berlangsung lama seorang dokter dan dua orang perawat pria datang ke kamar inap Gabby. Mereka sama terkejutnya mendapati ruangan yang berantakan, jendela yang pecah dan televisi yang hancur. “Ada apa, Suster?”

            “Tidak tahu dokter, saat saya ke sini keadaan ruangan sudah seperti ini begitupun dengan pasien.”

            Dengan perlahan dokter beserta dua orang perawat lainnya mencoba membaringkan Gabby. Tidak berhasil. Gabby enggan mengistirahatkan tubunya dan tetap berada di posisinya saat ini.

            “Anda baik-baik saja?” Dokter melihat selang infusan yang terlepas dan menyuruh salah seorang dari dua perwat tadi memasangkannya kembali sementara ia mencoa memeriksa keadaan Delphine. Jantungnya berdetak sangat kecang dan raut wajahnya yang pucat meski hidungnya terlihat memerah karena menahan tangis.

            Gabby jelas-jelas terlihat tengah menahan isakannya sendiri.

            “Suster, tolong hubungi orangtua atau wali pasien dan bantu saya menyuntikan obat penenang.”

***

            Karena perkataan sarkas yang di ucapkan Delphine tadi, William batal berhenti di Mall dan memesan beberapa burger di McDonald. Eve dan Wilson sempat merengek memang, tapi ketika tiba di restoran baru yang dimiliki salah satu temannya yang benar-benar sangat keren, kedua anaknya diam dan ikut-ikutan memesan makanan dan memilihnya sendiri di menu.

            Restaurant ini adalah sebuah family resto dan mempunyai beberapa kelas yang membuat pelanggan terpisah-pisah. Agak mirip karoke hanya saja tidak ada fasilitas untuk bernyanyi dan koleksi lagu-lagu seperti di tempat karaoke biasanya.

            Mereka berada di kelas VVIP. Makanan yang disediakan juga tentunya mempunyai bintang lima dari lima bintang yang tersedia.

            “Katanya kamu cuma punya dua tiket, emang anak-anak gak diitung ya?”

            “Kenapa emang? Ngarep cuma lunch berdua bareng saya aja?”

            “Dih, kelaut saja sono.” Tanpa Delphine sadari ia berkata dalam bahasa nonformal pada William. William yang sadar agak canggung sendiri mengingat Delphine kerap menggunakan bahasa formal meski tetap sarkastis.

            Saat ini Delphine malah memperhatikan bagaimana Eve dengan rambutnya. Berantakan. Memangnya William tidak berniat memakainya jepit rambut atau mengikat rambut panjang anak gadisnya apa? Rambut Eve yang bergelombang jadi terlihat kusut ketika kepalanya berkeringat. Harusnya Eve lebih sering memakai ikat rambut ketika berada di luar.

            “Eve, sini bentar sayang.”

            Sadar dirinya dipanggil, Eve datang mendekat kearah Delphine dan duduk di pangkuannya. “Apa tante?”

            “Kamu punya iket rambut kan?” Delphine bertanya sambil membenahi rambut Eve yang kusut dengan jari tangannya. Rambut Eve lembut sebenarnya, tapi tetap saja ketika berkeringat seperti ini terlihat buruk sekali.

            “Punya.”

            “Besok, minta Popmu itu pakein. Rambutnya jangan dibiarin berantakan kayak gini.”

            Pemandangan Delphine yang bercakap-cakap dekat dengan Delphine membuatnya sedikit senang entah kenapa. Mungkin karena Eve dan Wilson yang jarang mendapat kasih sayang dari orang lain selain dirinya dan anggota keluarganya yang lain ya? Tidak tahu. Yang jelas ia merasa senang ketika Delphine memperhatikan kedua anaknya.

            “Boro-boro Pop bisa pakein Eve ikat rambut, masak telor aja kadang gosong tante!” Kali ini Wilson ikut menimpali dan menyusul Eve untuk duduk di pangkuan Delphine.

            Ugh. Berat juga ternyata mereka berdua.

            “Tante, tadi aku bikin origami loh di sekolah, ibu guru juga tiba-tiba pake bahasa alien!” Entah kenapa Delphine merasa Wilson sangat centil sekarang. Ia bercerita tentang harinya di sekolah pada Delphine dan bukan pada ayah mereka yang saat ini malah bermain dengan ponselnya. Beda sekali dengan Wilson beberapa saat yang lalu.

            “Bukan bahasa Alien, Son! Itu namanya bahasa jepang!”

            “Terserah aku dong mau bilang apa!”

            Ahhh, kenapa pusing sekali menghadapi dua anak kecil ini. Tapi Delphine senang. Ia memang menyukai anak-anak meski kadang menjadi sangat menyebalkan karena terlalu memperhatikan mereka. Serba dilarang dan serba tidak boleh.

            Ketika beralih dari ponselnya William mendapati dua malaikat kecilnya yang berada di pangkuan Delphine sambil saling bercerita. Terkejut ketika sadar Wilson tidak pernah sedekat ini dengan orang lain selain tantenya, Gabby.

            Makanan datang dan mereka masih asik mengobrol.

***

            Maria sampai di rumah sakit setengah jam kemudian. Ia sudah menghubungi Johan serta William dan meminta mereka datang ke rumah sakit segera. Keadaan kamar rawat Gabby benar-benar terlihat mengenaskan. Dokter atau perawat lainnya belum membereskan semuanya karena menunggu penyelidikan polisi. Entah kenapa mereka yakin sekali ini sebuah terror.

            Anak sulungnya terlihat berbaring di atas ranjang dan tertidur dengan tenang. Dokter bilang ia terpaksa menyuntikan obat penenang karena Gabby enggan diam dari tangisnya dan menolak ketika dibaringkan.

            Kali ini pikirannya sibuk mencerna kejadian. Apakah semua ini masih berhubungan dengan kecelakaan kemarin? Apakah ini semua …

            Tidak.

            Maria enggan memikirkan sesuatu yang buruk saat ini.

            Polisi bahkan belum datang, padahal Maria sudah setengah mati ketakutan akan terjadi terror selanjutnya dan mengancam hidup mereka. Tangannya saling bertaut gelisah dan terus memandangi Gabby, seolah tidak ingin anaknya itu tersentuh sedikitpun bahkan oleh sebutir debu.

            Tidak berselang lama setelahnya Johan datang bersama Pak Goes dan dua orang dari kepolisian. Daerah sekitaran kaca jendela yang pecah dan televisi serta batu yang ada di sana dibatasi garis polisi.

            Begitu melihat Johan, Maria langsung melayang kepelukannya dan menangis di sana. Pak Goes mengerti dan membiarkan mereka berdua lalu menghampiri polisi yang tengah mengumpulkan bukti yang ada di tempat kejadian.

            Jika dilihat dari arah posisinya saat ini, pelaku melemparkan batu yang di temukan di tempat kejadian dan berusaha di arahkan pada Gabby, tapi entah bagaimana batu meleset dari target dan malah mengenai televisi yang ada di sana. Hal ini mudah sekali, yang menjadikannya sulit adalah mencari pelaku dan menunggu Gabby membuka suara.

            Pak Goes menghela nafas lalu ikut memeriksa tempat kejadian.

            “Pah, apa yang sebenarnya terjadi akhir-akhir ini? Ini mengerikan dan Mama tidak mau hal buruk menimpa keluarga kita.”

            Tentu saja Johan tidak bisa memberitahu Maria tanpa sepengetahuan William dan Pak Goes. Ini semua harus dibicarakan dengan benar agar tidak ada yang merasa tertekan dengan kasus ini. Apalagi ia tahu betul bagaimana istrinya. Maria adalah tipe perempuan criminal paranoid.

            “Mama tenang saja. Semuanya akan baik-baik saja.”

            Semoga semesta tidak mengingkari pintanya.

***

            Selesai makan, William berniat mengantarkan Delphine ke Excello untuk mengambil mobilnya lalu kembali bekerja ke Golda. Sudah sangat terlambat memang, tapi ia yakin tidak apa-apa, wong bossnya sendiri masih di rumah sakit.

            Kini Eve sudah tertidur di tempatnya sedangkan Wilson pindah duduk di depan. Di pangkuan Delphine lagi, tentu saja.

            Anak laki-lakinya itu seolah intisari pada bunga dan siap untuk di jamah serangga. Halah, bukan saatnya untuk berpikir demikian, William.

            “Hah, Wilson juga tidur kayaknya.” Merasakan tubuh Wilson yang bertambah berat membuat Delphine berkesimpulan bahwa anak laki-laki ini juga tertidur. Kemudian William memastikan dengan melihat mata Wilson yang terpejam dan anak laki-laki itu benar-benar tertidur dengan nyaman di atas pangkuan Delphine. “Ck, dia emang tidur. Biar aku pindahin ke belakang.”

            “Gak usah, eve udah enak banget kayaknya tidur gitu. Biar tetap gini aja.”

            Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan William hendak mengangkat panggilan yang datang ke ponselnya seperti biasa sambil tetap mengemudi. Tapi sebelum itu tangan Delphine menghalanginya. Gadis itu mengambil pnsel William di atas dashboard lalu memasangkannya sebuah headset. “Biasain pakai headset lain kali.”

            Sebenarnya ini adalah gaya pacaran Delphine dengan Galang dulu. Ugh, Galang. Tiba-tiba Delphine merindukan mantan kekasihnya itu.

            William terlihat sudah mengangkat panggilannya tapi yang dilihat Delphine adalah William yang terdiam dan membulatkan matanya ketika mendengarkan apa yang dikatakan seseorang di ujung sana. Delphine tidak tahu William tengah menyambung panggilan dengan siapa, ia tidak tahu apa yang mereka bicarakan, ia tidak tahu–

            CKIIIITTT!

            Tiba-tiba William mengerem mobilnya. Membuat Delphine serta Wilson yang berada di pangkuannya terdorong kedepan dan hampir menumbuk dashboard. Apa-apaan ini!

            “Kamu apa-apaan sih!”

            Laki-laki di sampingnya itu kini terlihat pucat. Nafasnya seolah berpacu dengan detak jantung dan Delphine terjebak dalam ketidakmengertiannya.

            Setelah susah payah meneguk ludah, William menatap Delphine dengan dalam. Rasa cemas luar biasa menyerang jiwanya saat ini. Ia melihat bagaimana Wilson dan Eve yang tertidur dengan pulas dan Delphine yang sudah bersiap dengan kemarahannya.

            “Saya, mau minta tolong.”

            Apa katanya?

            Masih dengan ketidakpercayaan dan kebingungannya sendiri, Delphine kembali mendengarkan kata demi kata yang dilontarkan William padanya, “Saya harap tidak ada penolakan.” Gadis itu semakin bingung apalagi ketika William memberikannya sebuah kartu berwarna keemasan padanya. Tanpa tahu apa yang dimaksud Delphine menerimanya dengan ragu.

            “Itu key card apartemen saya. Kamu tolong kesana dan bawa anak-anak. Pastikan mereka sampai di sana dengan selamat dan jangan pergi kemana-mana sebelum saya datang, oke?”

            “Gak mau! Emang kamu siapa maen nyuruh-nyuruh saya gitu aja!”

            “Delphine, Please, Ini bukan waktunya untuk berdebat. Saya harap kamu benar-benar melakukan apa yang saya minta.”

            William terlihat memasukan ponselnya lalu melepas safety beltnya. Ia kembali melirik kedua anaknya lalu terkahir pada Delphine yang masih diam dengan dahi yang kini mengernyit sempurna.

            “Saya akan ke rumah sakit, kamu bisa bawa mobilkan?” William benar-benar turun dari mobil, Delphine ingin menahannya dan berkata jangan tapi tidak terjadi. “Save ride, please.”

            Mau tidak mau Delphine dibuat mengangguk olehnya. Jantungnya berpacu dengan kencang, beriringan dengan rasa cemas dan takut yang tiba-tiba saja menyerangnya. Apa yang terjadi sebenarnya?

            Sesuai perintah William Delphine beralih memegang kemudi, setelah sebelumnya membenahi posisi hingga Wilson bisa tidur dengan nyaman di jok depan. Seketika Delphine tersadar ia tidak tahu harus kemana. Memangnya tadi William sempat mengatakan letak apartemennya? Nomornya? Aish dia lupa. Bagaimana mungkin Delphine tahu.

            Delphine memukul kemudi karena kesal lantas mengerang sebal. Seharusnya saat ini gadis itu kembali ke Golda dan menyelesaikan pekerjaannya. Halah, kenapa rencana Tuhan selalu tak terduga?

            Sedetik kemudian ponsel Delphine bergetar, ada sebuah pesan dan Delphine membukanya dengan tetap mengemudi. Licik sekali Delphine, mengatakan William harus mengemudi dengan aman tapi dia sendiri malah sempat-sempatnya membuka pesan.

            Griya Amanda Apartmen. 324.

            Hah? Siapa ini?

            Tidak ada nama pengirimnya. Delphine hanya melihat sederet nomor yang juga asing baginya. Gadis itu kembali mengerang lalu menaikan jarum speedometer. Tunggu?

            Halah, kenapa Delphine bodoh sekali? Gadis itu memukul kepalanya karena merasa payah kembali. Tentu saja itu adalah William dan sederet kata dalam pesan tadi dikirimkannya. Merasa kenal dengan komplek apartemen yang William maksud Delphine memutar arah dan menaikan kecepatan.

            Gimana William bisa tahu nomor hape gue!

***

            William tiba di rumah sakit dengan menggunakan taksi. Ketika mendapatkan kabar tentang kejadian di rumah sakit yang melibatkan Gabby, William cemas bukan main. Entah kenapa yang ada di pikiran William saat itu adalah mengamankan anak-anaknya. Ia tidak mungkin membawa si kembar dan saat itulah William mempercayakan mereka pada Delphine. Entah ini keputusan yang benar atau salah.

            Saat ini mungkin Delphine sudah berada di apartemennya bersama si kembar dan dirinya pun sudah akan masuk ke dalam kamar rawat Delphine yang terlihat lebih ramai dari biasanya.

            Baru saja William akan masuk, pintu sudah dibuka dan Johan serta Maria keluar bersama perawat yang mendorong tempat tidur Gabby. Sepertinya Gabby akan dipindahkan sementara.

            Lain dengan Maria dan perawat yang mengurus sang Kakak, Johan berhenti di depannya kemudian menepuk pundak William sambil menghela nafas. Entah apa artian dari semua itu. Laki-laki paruh baya itu menuntun William untuk duduk, tanpa membantah William mengikutinya.

            “Apa yang terjadi sebenarnya, Pa?” Tanya William ketika mereka sudah terduduk di depan ruangan Gabby yang masih dipenuhi petugas.

            “Anak-anak mana?” Bukannya menjawab Johan malah balik bertanya. William semakin tidak mengerti dan mengernyitkan dahi. Bingung. Cemas.

            “Di apartemen.”
            “Sendiri?”
            “Sama Delphine.”

            Mendengar nama Delphine disebutkan, Johan memandangi William seolah bertanya ‘mengapa bisa bersama gadis itu?’ Tapi kenyataannya Johan tidak bersuara dan memilih kembali mengarahkan panadangan pada ruangan lain di depannya.

            “Hubungi Delphine untuk tidak memberitahukan keberadaannya pada siapapun sekarang.” Johan semakin misterius dan William semakin dibuat bingung olehnya. Apa yang sebenarnya terjadi?

            “Masuk ke dalam. Cari tahu dan tanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Pak Goes.” Johan berdiri dengan menahan tubuhnya pada Bahu William. Saat itu William baru sadar Johan semakin ringkih di makan usia.”Papa mau nemenin Mamamu. Kalau ada apa-apa hubungi Papa segera.”

            William mengangguk dan memastikan Johan berjalan dengan baik hingga beberapa langkah. Tanpa banyak pikir lagi ia masuk ke dalam Kamar rawat Gabby dan menemukan betapa kamar ini berubah menjadi tempat kejadian sebuah perkara lengkap dengan beberapa garis polisi yang menghiasinya.

            Ada Pak Goes di sana. Seketika William ragu apakah ia harus langsung bertanya atau tidak. Laki-laki tua itu nampak sibuk dengan mencatat pada selembar kertas, seolah menganilis dan seolah ia berpean sebagai seorang polisi.

            Yeah, dia memang seorang polisi, William. Jangan lupakan itu.

            Kaca jendela yang pecah, Televisi yang hancur dan sebuah batu berukuran cukup bersar terlihat di sana. Beberapa polisi masih berjaga di sekitarnya. William memutuskan menghampiri Pak Goes dan bertanya.

            “Pak Goes?”

            Merasa namanya di panggil, Pak Goes memutar tubuhnya menghadap sumber suara dan menemukan William di sana. “Eh, William?”

            Pak Goes terlihat memebenahi letak kacamatanya dan mencoba mengatur nafas. “Apa yang kamu simpulkan ketika melihat hal ini?”

            Tujuan William menemui laki-laki tua ini adalah untuk menanyakan apa yang telah terjadi, tapi yang terjadi kemudian malah William yang dimintai kesimpulan ketika pertama kali melihat hal ini.

            Dalam pikirannya yang berkabut dan kalut, William hanya bisa menyimpulkan Gabby mendapat terror. Terror yang dilakukan oleh orang yang sama dengan orang yang membuat Gabby celaka tempo lalu.

            “Terror?”

            Laki-laki tua di depannya itu juga berpikiran hal yang sama, dan dia memutar bola mata sambil kembali menghela nafas. Sepertinya ada yang harus mereka bicarakan sebelum hal ini semakin berlarut dan menjadi momok yang luar biasa menakutkan.

            “Kita harus membicarakan hal ini kembali. Saya mempunyai hal yang harus dikatakan.”

***

This entry was posted on Selasa, 06 Agustus 2013 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply