Gold Hold [Chapter 11]




Sekembalinya dari makan siang Yuma kembali ke Kantor dan menemukan meja Delphine yang kosong. Sebelumnya Delphine memang telah memberitahunya bahwa mereka tidak bisa makan siang bersama seperti biasanya karena harus menjalankan amanat Pak Goes. Yuma mengerti dan tanpa kecurigaan apapun ia melepas Delphine pergi kemudian makan siang bersama teman-temannya yang lain.

            Sampai saat ini Delphine belum kembali, padahal sudah waktunya Delphine memberikan pekerjaannya pada Melati seperti yang sudah mereka bicarakan sebelumnya. Yuma membuka pesan yang masuk ke ponselnya dan menemukan Jo dengan pesannya. Pesan biasa. Mengingatkan Yuma makan dan bekerja dengan tenang.

            Jari-jari lentik Yuma bermain di layar sentuh ponselnya dan membuka catatan panggilan. Ada catatan panggilan masuk di sana. Dari Jo. Pagi tadi.

            Benarkah?

            Kemarin Yuma meninggalkan ponselnya begitu saja di kantor dan tidak mengetahui sama sekali bahwa Jo melakukan panggilan ke ponselnya. Ketika Yuma datang tadi ia hanya menemukan ponselnya tersimpan di tempat semula. Seperti tidak tersentuh.

            Meskipun tidak yakin, tapi Yuma mencurigai ada seseorang yang mengangkat panggilan Jo untuknya. Gawat! Apa saja yang sudah Jo katakan dalam percakapannya tadi? Apakah Jo mengatakan apa yang seharusnya tidak dikatakan?

            Mendadak Yuma merasa cemas dan terbebani.

            Diam-diam ia meneguk ludah dan melihak ke arah meja Delphine yang masih kosong. Tidak. Ia tidak boleh mencemaskan apapun. Seharusnya begitu, karena Jo akan selalu berada di sampingnya untuk menopang dirinya ketika akan terjatuh.

            Sekuat tenaga Yuma mencoba meyakinkan dirinya.

            Jari-jari lentik Yuma kembali menyentuh layar ponselnya dan membuka kontak Delphine, rasanya ia harus mengetahui keberadaan Delphine sekarang, kalau tidak Melati akan marah-marah dan bisa-bisa melaporkan sahabatnya itu pada si boss.

            Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya Delphine mengangkat panggilannya.

            “Hallo, Del? Lo dimana sih, Boo?” Yuma terlihat diam ketika sepertinya Delphine menjawab pertanyaannya dengan sederet kalimat panjang. Perlu kalian ketahui Delphine memang seperti itu.

            “Jadi kapan lo balik ke kantor? Kerjaan lo yang harus di kasih ke si Mel itu gimana? Udah selesai? Syukur deh, gue males banget kalo harus kena semprot dia juga kalo misalkan lo molor lagi.”

            Dengan tiba-tiba, ketika Yuma mendengarkan Delphine berbicara, Yuma mendengar suara anak kecil yang berteriak, meskipun tidak begitu yakin, tapi Yuma yakin sekali bahwa itu adalah suara anak kecil.

            “Suara apaan tuh, Boo? …Lo lagi dimana sih sebenernya?... Oke, lo utang cerita sama gue. Kalo emang gak bisa balik lagi ke kantor, sms gue aja. Bye.”

            Selesai bercakap-cakap dengan Delphine Yuma menjatuhkan dirinya di kursi dan hampir mengerang kesal. Jujur saja, Ia merasa seperti ada yang disembunyikan oleh Delphine darinya. Benarkah? Apakah Delphine orang yang seperti itu?

***

            Mobil William yang dikendarai Delphine sudah berada di depan gedung apartemen tempat tinggal laki-laki itu. Seperti bayangan Delphine, ini adalah komplek apartemen mewah dan Delphine tidak tahu ia harus benar-benar masuk ke dalam atau kembali pulang.

            Beberapa saat Delphine masih berada di dalam mobil dengan si kembar yang masih tertidur pulas. Jika ia masuk ke dalam, bagaimana cara membawa si kembar ikut? Keduanya tertidur dan Delphine tidak tahu letak apartemen nomor 324 milik William itu dimana.

            Gadis itu membenturkan kepalanya ke kemudi beberapa kali, pelan memang. Tapi tentu saja akan tetap menyakitkan. Kemudian entah mendapatkan amunisi semangat dari mana gadis itu menghela nafas seolah yakin pada dirinya sendiri dan membangunkan Wilson dengan perlahan.

            “Son, bangun sayang. Tunjukin tante rumah kamu.”

            30 detik.

            “Son…”

            45 detik.

            “Son! Awas son ada zombie di belakang kamu! Awas!”

            Usaha Delphine yang terakhir itu benar-benar menggelikan. Di tambah Wilson yang parah sekali, anak laki-laki itu tidur seperti mayat dan Delphine tidak tahu harus membangunkannya dengan cara apalagi.

            Dengan kesal gadis itu mengacak pelan rambutnya. Mendadak gatal seolah ribuan kutu rambut menerobos masuk ke dalam batok kepalanya.

            “Tanteeeee…”

            Itu suara Eve! Delphine masih belum berbalik dan malah tersenyum mendapati kenyataan bahwa Eve terbangun tanpa harus dibangunkan seperti Wilson tadi.

            “Tanteee.”

            Iya, itu suara Eve! Ketika Delphine berbalik ia mendapati Eve yang hampir menangis setelah berhasil duduk dan terjaga sepenuhnya.

            “Pop, mana?”

            Apakah semua anak seperti ini? Ketika terbangun ia akan mencari dimana orangtuanya? Hey, ayolah, Delphine memang sering sekali merawat anak kakaknya, tapi itu dulu saat keponakannya masih berusia 12 bulan dan setelah ia beranjak besar sang kakak tidak lagi tinggal di rumah dan itu artinya secara otomatis Delphine sama sekali belum berpengalaman menangani anak seusia si kembar.

            Merepotkan? Tidak. Jangan berpikiran seperti itu, Delphine. Stay Positive …

            Sebisa mungkin Delphine mencoba tersenyum pada  Eve, anak gadis itu nampak lucu sekali ketika bangun tidur, sungguh. “Popmu mendadak mendapat telfon dan harus ke rumah sakit. Jadi tante yang nemenin kalian untuk sementara. Gimana?”

            Eve terlihat menggaruk bagian wajahnya yang basah oleh keringat. Sayang sekali Delphine tidak membawa sapu tangan, padahal ia ingin sekali mengusap keringat yang membuat wajah Eve terasa gatal itu.

            “Bisa lepas sabuk pengamannya, sayang?” Dilihatnya Eve yang mengangguk dan Delphine mulai turun dari mobil, membantu Eve keluar dan menggendong Wilson.

            Mereka mendekati security post di depan kemudian meminta salah seorang security itu untuk memarkirkan mobil dan Delphine bisa menanyakan langsung letak apartemen William ke bagian informasi.

            Flat William ada di lantai enam. Seseorang berjaket kulit hitam berada di dalam lift ketika Delphine akan memakainya untuk bisa sampai di lantai enam. Bersamaan dengan Delphine yang masuk, si pria berjaket kulit hitam itu keluar dan melenggang santai.

            Sebenarnya Delphine tidak tertarik sama sekali pada pria itu, hanya saja pakaiannya yang serba hitam –plus dengan kaca mata hitam gelap yang dipakainya membuat– Delphine bertanya-tanya dan tanpa sadar memandangi punggungnya yang bergerak ketika berjalan.

            Aneh sekali pakaiannya, terlihat seperti anak buat mafia di film-film gangster yang sering ditontonnya dulu. Tanpa menghiraukannya kembali Delphine menekan tombol lift dan membuatnya tertutup kemudian membawanya ke lantai enam.

            Tiba di lantai enam dimana flat William berada, Delphine merasakan bulu kuduknya berdiri karena koridor di sana yang sepi. Hampir tidak ada orang, Tidak ada suara yang terdengar dan Delphine tidak terbiasa dengan semua ini.

Flat nomor 324. Delphine menemukannya.

Setelah memasukan Key cardnya, Delphine masuk dan terkejut dengan isi flat William.

Seharusnya Delphine tidak sekaget ini melihat flat William yang mewah. Masih dengan sisa-sisa kesadarannya Delphine tertarik tangan Eve yang berusaha menariknya memasuki Flat dan menemukan sebuah ruang tamu yang ... mewah.
Kembali tanpa sadar Delphine meneguk ludahnya dengan susah payah.

Bagaimana William bisa membeli flat semewah ini hanya untuk di isi bertiga dengan kedua anaknya? Ini flat dengan tiga kamar dan seharusnya William memilih tinggal di rumah besar beserta kedua orangtuanya ketika si kembar masih kecil.

“Kamar Wilson yang mana, Eve?”

Kaki kecil Eve nampak berlari-lari menuju arah dapur yang ternyata juga dilengkapi dengan mini bar. Anak gadis itu mengambil gelas yang telah diatur ditempat rendah lalu mengambil air dalam kulkas kemudian meminumnya dengan sekali tenggak.

Keringat terlihat membanjiri wajah mungilnya. Ruangan ini memang terasa panas, sepertinya William mematikan AC. Masih dengan menggendong Wilson, Delphine mencari remote pendingin ruangan dan berniat menyalakannya, namun langkah lincah Eve mendahuluinya dan dengan segera menyalakan pendingin ruangan.

“Kami biasa tidur sama Pop, tante.” Si kecil Eve kembali berlari, kali ini membuka sebuah pintu kamar dan melambaikan tangannya mengajak Delphine ikut masuk. “Tidurin Son di sini aja, Tante.”

Tanpa banyak kata Delphine langsung menurunkan Wilson yang berada di dalam gendongannya ke ranjang berukuran King. Setelah dibaringkan, Wilson nampak meringkukan badan dan Delphine berusaha melemaskan otot-ototnya setelah menggendong Wilson dari bawah tadi. Benar-benar bukan sebuah tubuh yang ringan.

Matanya menjelajahi kamar yang nampaknya milik William ini. Eve sudah tidak ada, entah kemana lagi anak gadis itu. Kamar yang luas. Tidak heran juga jika William memilih ranjang berukuran King karena Eve tadi mengatakan bahwa mereka selalu tidur bersama sang ayah.

Ada sebuah tv flat, pintu balkon yang besar dan yang paling menarik perhatiannya adalah lukisan besar berbentuk abstrak namun dengan kombinasi warna yang benar-benar menantang. Tidak ada yang padam dan tidak bisa ditebak maksud dari lukisan itu apa.

Selera William nampaknya sedikit aneh.

Delphine memutuskan keluar dari kamar William dan menuju dapur untuk mengambil minum. Haus juga. Ternyata Eve juga berada di sana. Tanpa melepas baju seragamnya, anak gadis itu mengorek-ngorek isi kulkas dan mengeluarkan se-ember ice cream dengan susah payah.

“Hey, nagapain?”

“Tolong bukain tante, Eve mau makan ini.”

Tangan Delphine meraih ember ice cream yang di peluk Eve dan melihatnya. Berapa lama William tidak kembali ke apartemennya? Apakah ia sempat mengecek makanan di dalamnya? Dihiraukannya Eve yang merengek untuk segera membukakan penutup ember ice cream itu, Delphine melihat Expired code yang tertera di dekat barcode kemasan tempat ice creamnya. Benar dugaannya. Ice cream ini kadaluarsa dan bukan tidak mungkin makanan lain di dalamnya juga telah kadaluarsa.

“Yang ini gak boleh di makan, Eve. Udah kadaluarsa, nati Eve sakit perut.”

“Kadaluarsa itu apa?”

“Kadaluarsa itu basi, Sayang.” Dibuangnya ember ice cream tadi ke dalam tempat sampah dan menuntun Eve untuk terbangun. Sebaiknya Delphine perlu menjauhkan Eve dari kulkas untuk saat ini.

“Tapi Eve mau ice cream.”

Rengekan khas anak kecil kembali terdengar di telinga Delphine. Untuk beberapa saat Delphine memang merindukan hal itu karena sudah lama juga tidak bertemu keponakan-keponakannya, tapi untuk kali ini Delphine agak muak karena lelah.

“Nanti tante bilang ke Pop kamu buat bawa ice cream, oke?”

Bukannya mengangguk, Eve malah memajukan bibirnya dan berlari masuk ke dalam kamar. Lagi-lagi khas anak kecil. Hati kecilnya berkata, apa dulu gue gitu ya? Apa-apa ngambek?

Ponselnya bergetar, nama Yuma terlihat di caller ID dan Delphine mengangkatnya dengan segera.

“Hallo, Yum?”

“Hallo, Del? Lo dimana sih?”

Apakah ia harus memberitahu Yuma tentang keberadaannya saat ini? Tiba-tiba Delphine teringat kembali dengan ucapan Jo di telfon tadi pagi. Selain itu William juga berpesan untuk tidak memberitahukan keberadaannya pada siapapun. Karena keraguannya sendiri Delphine malah terdiam dan menggigiti bibirnya.

“Gue masih di kantor temen bokap gue, Yum. Katanya dia lagi ada meeting gitu. Gue gak bisa titipin ini karena Bokap udah wanti-wanti buat nyampein ini langsung.”

“Jadi kapan lo balik ke kantor?”

“Nah itu, gue belum tahu.”

“Kerjaan lo yang harus di kasih ke si Mel itu gimana? Udah selesai?”

“Tadi sebelum pergi udah gue selesein kok, dan udah gue setorin ke Melati juga.”

“Syukur deh, gue males banget kalo harus kena semprot dia juga kalo misalkan lo molor lagi.”

“Sorry ya, Yum. Gue bener-bener gak tahu kapan bisa balik ke kantor …” Di tengah-tengah percakapannya dengan Yuma suara Wilson terdengar dari dalam kamar, lumayan keras dan kemudian Delphine merutuk untuk hal itu.

“Tanteeeee!”

“Suara apaan tuh, Boo?”

Tentu saja Yuma bisa mendengar teriakan Wilson dan Delphine kembali merutuk untuk hal yang sama saat ini. Bisa-bisa Yuma malah curiga dan menganggap Delphine berbohong.

“Hah? Apaan? O-oh tadi ada ibu-ibu lewat sama anaknya. Ntar deh gue certain, ini di lobby sih jadi berisik banget.”

“Oke, lo utang cerita sama gue. Kalo emang gak bisa balik lagi ke kantor, sms gue aja. Bye.”

“Bye.”

Sigh.

Bukan main leganya Delphine ketika Yuma akhirnya memutuskan panggilan. Atmosfer panasnya kembali padahal ruangan sudah cukup dingin berkat pendingin ruangan yang dinyalakan Eve tadi.

Suara Wilson kembali terdengar dan Delphine merosot di bawah kulkas. Kenapa sekarang Delphine malah merasa bersalah karena telah membohongi Yuma? Membohongi sagabatnya sendiri? Kenapa Delphine harus semenyesal ini padahal Delphine sendiri yang memutuskan untuk berbohong?

***

            “Terror ini bisa saja dilakukan oleh salah satu pesaing Laga Group, atau bahkan orang di masa lalu. Berdasarkan informasi yang sudah saya dapatkan, ada delapan nama pesaing bisnis Laga Group yang berpotensi melakukan terror ini. Tapi tentu saja kita tidak bisa begitu saja menentukan pelaku dengan bukti yang ada sekarang ini.”

            Orang di masa lalu?

            Baik Johan ataupun William sama kagetnya dengan apa yang baru saja diuraikan Pak Goes. Apakah William punya musuh di masa lalu? Atau Johan? Atau mungkin Gabby? Berdasarkan kesimpulan William saat ini, anggota keluarga Ardiwilaga yang berpotensi memiliki musuh di masa lalu adalah Gabby. Untuk itu terror ini juga terlebih dahulu menimpa Gabby. Tapi siapa? Apakah orang yang mungkin saja pernah di campakan sang kakak?

            Kenapa hal ini malah semakin rumit.

            “Kemungkinan besar pelaku adalah orang di masa lalu Gabby tapi juga tidak menutup kemungkinan orang di masa lalu kalian.”

            Johan terlihat mengelus dagunya sendiri dan menatap berkas yang diberikan Pak Goes, setelah di paparkan tadi, pesaing bisnisnya juga berpotensi melakukan kejahatan ini, tapi kenapa  Gabby yang menjadi sasaran pertama?

            “Bagaimana dengan pelaku penabrakan Gabby kemarin, Pak? Kapan sidang akan dimulai?”

            “Sidang akan dimulai lusa. Tapi entah kalian berpikiran sama dengan saya atau tidak, orang yang berstatus terdakwa untuk kasus kecelakaan kemarin bukanlah pelaku yang sebenarnya.”

            Ya, William juga berpikiran hal yang sama. Berpikir bahwa orang yang telah dibekuk saat ini hanyalah kambing hitam si pelaku.

            “Saya akan menurunkan beberapa detektif dan melakukan penyelidikan lebih lanjut. Kita berdoa saja supaya penyelidikan bisa selesai secepatnya.”

            Ada satu hal yang kini mengganjal pikiran William. Tentang Delphine yang bertanya sekaligus mengetahui kabar tentang pelaku kecelakaan Gabby. William yakin Delphine menyembunyikan sesuatu dan sialnya karena kejadian Gabby tadi William tidak sempat mendengarkan Delphine kembali membahas masalah itu.

            “Berapa banyak orang yang tahu tentang pembekukan pelaku kecelakaan Gabby kemarin itu?”

            Pak Goes sedikit mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan William, begitupun dengan Johan. “Tidak banyak, tentu saja. Hanya pihak pengadilan, jaksa dan pengacara. Atau mungkin dengan keluarga pelaku.”

            “Apakah Yuma tahu?”

            “Sepertinya tidak. Karena belum ada surat panggilan dari pengadilan untuk saksi.”

            Merasakan bibirnya mengering William mengulum bibirnya dan kembali menatap dua laki-laki paruh baya di depannya kini. “Delphine menanyakan tentang Hal ini pada saya tadi. Saya rasa ada yang disembunyikan Delphine.”

            “Benar begitu?”

            Johan terlihat terkejut tapi Pak Goes nampak tenang meski kini nama anaknya mulai disebut-sebut dalam percakapan mereka. William hanya menganggukan kepalanya dan mulai teringat dengan Delphine yang tengah bersama kedua buah hatinya. Apakah mereka aman? Sedang apa mereka sekarang. Seketika ketakutan melanda William detik itu juga.

            “Kalau begitu kita harus menanyakan hal ini pada Delphine langsung.”

            “Dengan artian Delphine akan tahu tentang penyelidikan ini?”

            “Jika memang hal itu diperlukan saat ini, kenapa tidak? Hal ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Bisa saja nyawa lainnya terancam dan gugur ketika kita lengah sedikit saja.”

            Huh.

            Hal ini semakin sulit. Pak Goes tidak pernah membayangkan Delphine, anaknya, bisa terlibat dalam kasus ini. Jika memang anaknya mengetahui sesuatu dan dalam beberapa kondisi membuka mulut adalah bencana besar, Pak Goes tidak bisa membayangkan apa yang bisa terjadi di kemudian hari.

            “Oh ya, lebih baik untuk saat ini Gabby segera dipindahkan ke rumah dan menjalani perawatan di sana. Akan lebih aman seperti itu karena lebih mudah memberikan pengawalan 24 jam.”

***

            Tidak seperti biasanya Jo memilih menjemput Yuma setelah jam kerja di Golda selesai hari ini. Mungkin ini karena ikatan mereka sekarang, Jo sedang membiasakan dirinya berada di dekat Yuma sesering mungkin, berlajar banyak menghabiskan waktu bersama, membiasakan memberikan perhatian dan kasih sayang lebih, membiasakan … seribu hal romantic dan manis lainnya.

            Padahal kita tidak pernah tahu apa yang selalu orang katakan tentang sesuatu di balik batu.

            Kali ini Jo terlihat dengan setelan serba hitam. Lengkap dengan kaca mata hitam gelap yang nampak menggantung di hidung mancungnya. Laki-laki itu bersandar pada badan mobil dan menunggu Yuma keluar dari dalam kantor Golda.

            Matanya menatap bangunan Golda dengan saksama. Terlihat megah dan mewah tentu saja. Tapi Jo benar-benar tidak menyukainya. Selalu ada kesakitan ketika Jo berusaha menatap bangunan ini setiap hari. Ya, setiap hari. Tidak tahu untuk apa tapi ia selalu berusaha melewati jalan di depan Golda dan menatap bangunan megah ini barang sebentar. Seperti ia pernah kehilangan sesuatu di dalamnya dan mengais harapan untuk menemukannya kembali. Sampai saatnya ia lelah sendiri dan melepas harapannya tanpa bantuan apapun untuk di terbangkan.

            “Hei, Maaf lama.”

            Yuma selalu terlihat cantik, Jo tahu itu dan dia tidak pernah benar-benar tertarik dengan kecantikan setengah perempuan yang kini adalah kekasih dan calon istrinya itu. Tunggu? Jika baginya Yuma hanya setengah perempuan, lalu setengahnya lagi apa?

            Iblis mungkin?

            “Hei, tidak ada yang lama dan sia-sia untuk kamu.” Kemudian Jo mencium kedua pipi Yuma bergantian sepertti biasanya. Dengan lembut ia menuntun Yuma masuk ke dalam mobil. Memperlakukan Yuma bagaikan putri dalam dongeng dan membawanya terbang kemudian berwisata di awan.

            Di balik kaca matannya, Jo menyipitkan mata dan memandangi Yuma seolah mengatakan dia bodoh dan menyedihkan.

***

            William baru kembali dari rumah sakit setelah memastikan Gabby baik-baik saja serta percakapannya dengan Johan dan Pak Goes selesai. Rasanya, kepalanya akan meledak karena terlalu banyak hal yang harus di pikirkannya akhir-akhir ini. Semuanya seakan merongrong jiwa dan akalnya dengan bersamaan.

            Setelah dari rumah sakit tadi Johan mengantarkannya kembali ke Excello. Ada beberapa pekerjaan yang harus di selesaikannya juga dengan mobil Delphine. Ia bisa kembali ke Flatnya sekitar pukul tujuh malam dengan mobil Delphine.

            Kini William sudah berdiri di balik pintu flatnya sendiri dengan plastik berisi seember ice cream pesanan Eve. Di luar cukup dingin dan William merutuk karena Delphine yang tak kujung membukakan pintu.

            Beberapa kali William sudah menekan bell dan gadis itu sama sekali tidak membukakan pintu untuknya.

            Karena kesal dan enggan menunggu lebih lama, William mengeluarkan handphone nya kemudian
menghubungi Delphine. Gadis itu tidak mengangkat panggilannya, itu berarti kemungkinan besar Delphine tertidur. Astaga. Bahkan ini masih begitu sore untuk tidur.

            Untung saja William ingat bahwa dirinya sempat memasukan kunci cadangan dan selalu menyimpannya di dalam dompet. Laki-laki itu akhirnya bisa masuk dengan key card cadangan yang selalu dibawanya itu. Gelap.

            Lampu padam dan tiba-tiba saja William cemas luar biasa.

            Ketika lampu dinyalakan, ia masih tidak bisa melihat Delphine ataupun si kembar. Di mana mereka? Raut wajah panik William benar-benar jelas terlihat dan hal itu bukan main-main.

            “Eve?! Wilson! Delphine?!”

            Dengan kalap William mengecek dapur dan ruang tengah. Mereka tetap tidak ada. Selanjutnya laki-laki itu membuka pintu kamarnya yang berada dalam keadaan gelap dengan napas terengah-engah. Bukan main leganya William begitu lampu dinyalakan, ia bisa melihat bagaimana Si kembar dan Delphine tertidur di ranjangnya.

            Tanpa sadar William menghela napas panjang dan menyadarkan tubuhnya pada daun pintu. Ini benar-benar gila. Kekhawatirannya pada si kembar sering memuncak seketika karena kasus terror yang sedang terjadi pada keluarga Ardiwilaga akhir-akhir ini. Di tambah kehadiran Delphine yang mau tidak mau menambah kekhawatirannya.

            Dengan perlahan William mendekat ke ranjang. Semakin terlihat jelas si kembar yang tertidur begitu pulas dan Delphine yang meringkuk di sampingnya. Rambut panjangnya terurai begitu saja pada bantal yang biasa di tidurinya.

            Oh God, kenapa rasanya sesenang ini melihat Delphine tidur di tempat tidurnya dengan nyenyak dan nyaman seperti sekarang ini?

            Perlahan tangannya megusap kepala Delphine, mengunci gadis itu dalam pandangannya sendiri, memperhatikan setiap helaan nafasnya, pipinya yang ternyata lebih besar dan berisi daripada yang dilihatnya selama ini, dan semburat merah jambu yang menjalar begitu saja di pipi ranum itu. William tergoda untuk sedikit mengecupnya. Kembali dengan perlahan William mengecup pipi Delphine, kecupan yang agak basah. Dan William melakukannya dengan sengaja.

            Kemudian terlihat Delphine yang bergerak gelisah dalam tidurnya. Kecupan Willam tadi berhasil menganggu gadis itu rupanya, seringai William terlihat dan laki-laki itu menenangkan Delphine dalam tidurnya, mengusap kepalanya kembali dan membisikan sesuatu.

            Entah apa, tidak ada yang mendengarnya.

This entry was posted on Minggu, 11 Agustus 2013 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

2 Responses to “Gold Hold [Chapter 11]”

  1. seperti biasa, aku suka gaya bahasa kamu Rulita...
    oh iya, tadi aku liat sepertinya ada kata yang salah. seharusnya menyandarkan jadi menyadarkan. kayaknya itu aja dech...
    koreksi yach jika aku salah hehe :P
    maaf...
    btw post di grup yach :D

    BalasHapus