Gold Hold [Chapter 12]






Delphine terbagun dari tidurnya karena suara shower yang menyala di kamar mandi. Dilihatnya Jam di atas nakas dan jarum jam menunjukan angka 7.30. Berapa lama ia tertidur? Kenapa ia bisa sepulas ini dan tak ingat apapun?

            Kepalanya agak pusing ketika Delphine memutuskan untuk berdiri dan melihat siapa yang berada di kamar mandi. Apakah William? Sudah kembalikah laki-laki itu?

            Sebelum ia benar-benar keluar dari kamar, sebuah jas tersampir di atas sofa depan tv serta kemeja yang sepertinya William gunakan tadi. Nampaknya memang benar, William sudah kembali dan itu artinya Delphine bisa kembali ke Golda, Oh tidak .. tidak, maksudnya ke rumah.

            Dengan refleks Delphine membereskan pakaian William yang berserakan di sofa dan melemparkannya ke keranjang pakaian kotor di sudut ruangan. Gadis itu keluar bertepatan dengan William yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dengan tubuh basah dan bagian bawah tubuhnya yang hanya terlilit handuk.

            Oh, astagaaa….

            “Aaaaaaa!!”

            Melihat Delphine yang terkejut melihatnya dalam keadaan seperti itu membuat William berlari kembali ke dalam kamar mandi dan menyembunyikan dirinya sendiri di sana. Jantungnya berdebar bukan main. Lagi pula kenapa Delphine tidak bersikap biasa saja sih? Hal itu akan membuatnya juga bersikap biasa saja, tidak seperti sekarang saat jantungnya kembali berpacu dengan cepat.

            “Kamu?! Ngapain di situ sih? Pake teriak segala lagi!” William terdengar berteriak dari balik pintu kamar mandi. Delphine sudah menurunkan tangannya dan memandangi pintu yang menyembunyikan William di sana.

            Apa yang baru saja dilihatnya? William yang nyaris telanjang? Oh My God, entah ini malapetaka atau sejenisnya, Delphine tidak tahu, yang jelas gadis itu benar-benar tidak mau mengulangi kejadian yang sama seperti tadi. Tidak pernah mau lagi.

            “Ya mana saya tahu kamu bakal ada di situ!”

            Dengan sedikit berlari kecil Delphine meninggalkan tempatn semulanya dan kembali menuju kamar. Setelah berada di dalam sana Delphine sadar bahwa mungkin William juga akan ke sana untuk mengambil baju, jadi Delphine kembali keluar dan menuju ruang tamu saja. Duduk di antara sofa yang empuk dan merutuki kebodohannya sendiri.

            Sedangkan William yang merasa Delphine sudah tidak ada di hadapannya lagi mulai membuka pintu dan mengintip keluar. Delphine sudah tidak ada, yang perlu dilakukannya hanya berlari ke dalam kamar dan segera mengenakan baju.

            Secepat mungkin William mengenakan bajunya. Hanya kaos dan celana training panjang yang biasa ia gunakan sehari-hari. Setelah selesai ia keluar dan menemukan Delphine yang duduk sendiri di atas sofa ruang tamu.

            “Delphine?”

            “Jangan deket-deket!” Tanpa di sangka gadis itu kembali menjerit, tapi kali ini tanpa melihatnya. Seolah enggan mengulang kesalahannya tadi.

            “Hey, bisa gak sih gak teriak-teriak di rumah saya?” Mendengar apa yang dikatakan William tadi nampaknya sedikit bereaksi untuk Delphine. Gadis itu tidak lagi menjerit-jerit tapi matanya tetap enggan melihat William yang sebenarnya sudah berpakaian lengkap.

            “Kamu apa-apaan sih?”

            Bingung menghadapi tingkah Delphine yang sekarang malah menuju dapur dan membuka kulkas untuk mengambil air minum. William yang mengikutinya dari belakang jelas terkejut melihat isi kulkasnya habis. Hanya ada beberapa sosis, beberapa botol minum dan seikat sayuran.

            Dengan santai Delphine menuangkan minumnya kedalam gelas dan menghiraukan William yang masih bersama keterkejutannya. Matanya masih enggan melihat William saat ini. Koyol.

            Mengenai keterkejutan William, Delphine memang mengeluarkan banyak sekali isi kulkas William yang sudah tidak layak konsumsi. Seperti beberapa sarden, Ice Cream dan buah kalengan yang sudah kadaluarsa, juga beberapa daging yang sudah membeku dan Dlephine yakin sekali makanan-makanan itu sudah tersimpan lama di dalam kulkas.

            Ia berpikir jika terus dibiarkan maka akan membahayakan jika termakan dan membuat kulkas beraroma tidak sedap. Delphine mengerang karena matanya tidak sengaja melihat William yang kini sudah kembali berada di hadapannya.

            Kepalanya berpaling tapi William membawa Delphine untuk memandanginya. Mau tidak mau Delphine memandangi William lagi dan teringat kejadian tadi. Benar-benar memalukan.

            Dengan erat William mencekal lengan Delphine dan memaksa gadis itu memandanginya. Di tatapnya Delphine dengan pandangan yang entah mengartikan apa. William bisa merasakan Delphine yang berburu nafas dan gelisah dengan posisinya saat ini.

            “Hey, saya yakin kamu yang bertanggung jawab dengan isi kulkas saya yang sekarang entah kemana.”

            Suara William memang rendah tapi entah kenapa ada nada menakutkan di sana. Mungkin kali ini hanya Delphine yang berlebihan karena kejadian tadi. Mulutnya hendak menjawab dan menyangkal pernyataan William tadi, namun terpotong oleh William yang kembali menyudutkannya dengan kata-kata.

            “Kamu membuang semunya? Saya belum makan malam dan kamu harus bertanggung jawab terhadap gizi yang harus saya konsumsi! Kamu pikir apa-apaan membuang semua makanan saya?”

            “Oke, oke, dengarkan saya dulu.” Kali ini Delphine berhasil menyela dan membuat William berhenti meyudutkannya. Dengan perlahan ia melepas cekalan William pada lengannya dan mundur untuk megatur jaraknya dengan William. “Makanan kamu di dalam kulkas banyak yang sudah tidak layak konsumsi. Sebenarnya sudah berapa lama kamu tidak berada dalam rumah sih? Memangnya baik menumpuk begitu banyak makanan? Dan apa kamu bilang tadi? Gizi? Saya bisa memberikan kamu gizi yang jauh lebih baik dibandingkan semua makanan-makanan kaleng kamu itu?!”

            Suara Delphine yang perlahan-lahan meninggi membuat William terkejut dan tidak menyangka. Bagaimana bisa malah Delphine yang berbalik menyerangnya?

***

            Setelah dipindahkan ke rumah, Gabby menjadi lebih tenang dan sekarang mulai bisa kembali berinteraksi dengan Maria. Sebisa mungkin Maria mengarahkan pembicaraan mereka dengan menjauhi masalah terror yang menimpa Gabby. Seperti membicarakan salah satu drama korea yang biasa mereka tonton bersama, resep makanan baru, acara fashion show dan ajang top model yang sedang di gelar.

            Seperti bisa Maria mengupaskan buah untuk Gabby, sambil terus bercerita tentang hal-hal ringan demi mengalihkan pikiran Gabby.

            Namun lain dengan yang dirasakan Gabby saat ini. Perempuan itu bukannya tidak ingat apa yang sudah menimpanya tadi sore. Suara kaca jendela yang pecah, televisi yang akhirnya hancur, semuanya berada tepat didepan matanya. Bagaimana Gabby bisa melupakan itu semua? Meski begitu ia berusaha mengabaikan semuanya ketika berada di depan Maria.

            Sudah cukup Ia membuat khawatir semua orang. Tidak boleh lagi.

            Kemudian otaknya sibuk berpikir, tentang segalanya. Tentang segala yang menyangkut terror yang menimpanya saat ini. Johan dan William pasti sedang mencari pelakunya saat ini. Apalagi kehadiran Pak Goes, teman Johan yang membantu penyelidikan ini membuat Gabby semakain takut dan mencemaskan dirinya sendiri.

            Hidup Gabby tidak pernah sesial ini sebelumnya.

***

            Akhirnya Delphine memutuskan untuk memasakan sesuatu untuk William dan si kembar. Ada sisa beberapa butir telur di dalam kulkas dan sedikit sayuran hijau, beberapa batang wortel dan Delphine memutuskan untuk membuat omelet saja.

            Lagi pula apa yang bisa dibuatnya dengan bahan makanan seperti ini?

            Ketika memotong Wortel dan sayuran hijau William masih berada di sampingnya dan merecokinya dengan berbagai hal. Jujur saja ia tidak merasa terganggu, malah jauh dalam lubuk hatinya ia berterima kasih karena tanpa sadar William telah menemaninya untuk tidak masak sendirian.

            Hal yang paling dibencinya.

            Ini sudah lewat jam makan malam dan seharusnya Delphine sudah berada di rumah saat ini. “Mobil kamu sudah ada di basemant, saya yang bawa tadi.”

            “Bagus deh, kalo gitu saya bisa pulang sendiri.” Delphine mulai memasukan wortel yang sudah diirisnya ke dalam telur yang sudah di kocok William tadi, selanjutnya buncis dan sedikit sawi.

            Bukan menu yang special memang, tapi apa boleh buat. Hanya ini yang bisa ia masak saat ini.

            “Sebenarnya kemarin si kembar ulang tahun.”

            “Oh ya? Saya baru tahu.” Kali ini Delphine mengalihkan pandangan pada William yang masih berada di sampingnya, tengah memainkan pisau pada potongan wortel yang tidak terpakai. Persis anak-anak. Delphine sedikit mencibir dan berusaha melihat ke dalam mata William yang tertunduk.

            “Saya harus ngasih kado apa ya?” Tangan Delphine mengambil alih pisau yang sedang dimainkan William dan disimpannya di samping mangkuk berisi telur dengan wortel dan buncis tadi. Gadis itu hanya tidak terbiasa melihat seseorang main-main di dapur. “Kamu ngasih kado apa?” Mata William kini melihat ke arah Delphine yang mulai meletakan wajan ke atas kompor, menunggunya panas kemudian menuangkan sedikit minyak ke atasnya.

            William tidak pernah setertarik ini melihat seorang perempuan masak di dapur. Pertama kalinya dan ketertarikan itu mengacu pada sosok Delphine. Oh ya, apa katanya tadi? Kado ulangtahun? Boro-boro. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini William benar-benar payah dan belum memberikan apapun pada mereka.

            Hina sekali William sebagai Ayah.

            “Saya bahkan belum ngucapin selamat ulangtahun.” Meskipun suara William terdengar rendah, Delphine masih bisa mendengarnya dengan jelas dan bersiap melemparkan caciannya, tapi suara minyak yang mulai medidih di dalam wajan membuat Delphine menunda amukannya dan memasukan telur kedalam wajan.

            “Kamu gimana sih? Masa sekedar ngucapin ulangtahun aja gak bisa?!”

            William tahu betul hal ini salah. Dan ia berniat memperbaikinya akhir minggu ini dengan mengajak si kembar bermain. Kemana? Kemana saja, asalkan bisa menebus kesalahannya.

            “Saya berniat ngajak mereka berlibur akhir minggu ini sebagai gantinya.” William tidak berusaha mengelak dari amukan Delphine karena apa yang diucapkan gadis itu memang benar adanya. “Menurut kamu sebaiknya saya mengajak si kembar kemana?”

            Omelete yang dibuat Delphine sudah dibalikan dan beberapa detik lagi akan matang. Tinggal mengangkatnya ke atas piring dan menyajikannya sebagai teman makan malam William dan si kembar. Meski terlihat kerepotan dengan apa yang dikerjakannya, mau tidak mau Delphine ikut berpikir kemana sebaiknya mengajak bermain si kembar.

            “Tahun kemarin kamu ngajak mereka kemana?”

            “Dufan.”

            Sudah bisa ditebak. Dufan adalah alternative paling mudah bagi seorang William yang sibuk dan sulit memikirkan hal semacam ini. Bukankah William kaya? Kenapa tidak mengajak si kembar ke luar negri saja? Batinnya mulai berteriak sarkastis dan menyebalkan.

            Selesai menyimpan omelet yang telah dibuatnya ke atas meja, Delphine kembali menatap William sambil menggigit bibir bagian bawahnya dan mata yang menyipit. Wajah jeleknya yang seperti itu menandakan Delphine sedang berpikir keras.

            “Kenapa gak dirayain di rumah aja?”

            “Hah?”

            “Iya, dirayakan di rumah, dengan kue ulangtahun yang besar dan lilin yang indah, plus makan malam yang special dan lezat!”

            Apa yang dikatakan Delphine tidak pernah terpikir oleh William, jujur saja. Tapi sepertinya ide Delphine boleh juga. Hal ini akan menjadi sedikit kekeluargaan dan anak-anaknya bisa meniru hal yang serupa dikemudian hari.

            Ugh, tentu saja menghabiskan waktu makan malam yang special dengan orang yang special akan menghadirkan kesan yang luar biasa bagus.

            “Oke. Tapi, …”

            “Tapi?”

            “Tapi, kamu yang masak untuk makan malam specialnya. Itung-itung hadiah ulangtahun kamu buat anak saya?”

            Kok gitu?

            Masih memikirkan apa yang dikatakan William barusan, Delphine duduk di kursi meja makan sambil mengetuk-negtukan jarinya pada meja. Apakah ini sejenis tantangan? Jika ya, Delphine bukannya meragukan kemampuannya memasaknya sendiri, hanya saja ia risih jika harus kembali berhubungan dengan William setelah ini.

            “Gak berani ngambil tantangan?”

            Jujur saja Delphine paling tidak suka diremehkan, gadis itu menatap William yang masih menguncinya dengan tatapan, semoga saja pertemuannya dengan William lain kali tidak semenyebalkan saat ini. Di samping ia harus jadi baby sister, Delphine juga harus memasak untuknya. Parah sekali.

            “Berani. Jadi akhir minggu ini? Oke.”

***

            Kali ini Yuma berada di dalam rumah Jo yang luas dan megah. Setelah dijemput tadi, Yuma menutuskan untuk memasakkan sesuatu untuk Jo, calon suaminya. Daging dan beberapa sayuran hijau sudah disiapkannya. Rencananya ia akan menumis daging dengan sayuran hijau dengan bumbu lada hitam yang menggoda. Salah satu masakan andalan di rumahnya.

            Dengan sangat yakin Jo akan menyukai masakannya kali ini.

            Sementara Yuma yang berada di dapur, Jo sendiri berada di kamarnya. Sebelumnya ia berdalih untuk mengerjakan pekerjaannya di dalam kamar sembari menunggu masakan Yuma selesai. Padahal yang dilakukannya hanya melemparkan anak-anak panah pada target yang dipasangnya di depan pintu. Tepat di titik tengah target, terdapat gambar seorang perempuan berambut sebahu yang tengah tersenyum lebar.

            Jo membenci senyuman itu. Senyuman Gabby setelah berhasil mencampakkannya tiga tahun lalu.

***

This entry was posted on Sabtu, 24 Agustus 2013 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply