Gold Hold [Chapter 9]







Makan malam bersama Johan dan Pak Goes kali ini berlangsung khidmat. Setelah menyantap makanan penutup, Johan mengajak Pak Goes dan William berbicara serius tentang penyelidikan mereka. Dalam percakapan itu William mengatakan masalah hilangnya baju yang telah disiapkan untuk acara GFS lengkap dengan Delphine yang akhirnya dirugikan.


            “Apakah kamu tahu Yuma dekat dengan siapa saja?”

            “Saya baru mencoba penyelidikan ini satu hari, Pak. Itupun Delphine tidak banyak membantu. Sebenarnya, dia tahu masalah ini atau tidak, Pak?”

            Johan nampak setuju dengan pertanyaan William. Jika memang Delphine sudah tahu rencana mereka, ia berniat mengundangnya makan malam seperti ini lain kali agar anak perempuan itu tahu.

            “Saya belum memberitahunya, dan tidak akan memberitahukannya untuk sementara.”

            Baik Johan maupun William sama-sama terdiam dengan pernyataan Pak Goes. Tidak mengerti apa yang sebenarnya ada dalam pikiran laki-laki tua itu, bukankah dengan Delphine yang mengetahui penyelidikan ini semuanya akan lebih mudah? Setidaknya, gadis itu akan banyak membantu dan tidak semenyebalkan sebelumnya.

            “Sebelumnya, saya juga berpikir untuk memberitahu Delphine, tapi … saya pikir saya tahu betul bagaimana anak saya. Segalanya memang akan terlihat lebih mudah, tapi seperti yang dikatakan William, Delphine tidak akan banyak membantu.”

            Ah, apapun yang dikatakan Pak Goes saat ini William tidak peduli. Dia sudah mengabaikan beberapa pertemuan dengan rekan kerjanya demi mendatangi Golda dan menemui Delphine. Hari sebelumnya ia berada di makam Deana dengan status tidak bisa diganggu dan penyelidikan ini membuat beberapa tender yang di pegangnya molor. Sudah pasti William akan kena semprot saat rapat direksi minggu depan. Meskipun CEO Excello adalah adiknya Johan yang berarti pamannya sendiri, bukan berarti William akan selalu bebas dari keluhan dan protes para direktur lainnya.

            Excello memang salah satu perusahaan yang termasuk kedalam segudang harta Johan dan William akan secara otomatis mewarisinya, tapi hal itu tak lantas membuat William berada di puncak secara tiba-tiba tanpa mengayuh pedal dan menaiki tangga.

            William menghempaskan punggungnya ke sofa dan menghela nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia rindu si kembar.

***

            Eve dan Wilson nampak sudah terlelap dalam satu ranjang yang sama. Ranjang besar miliknya di rumah besar. Kepulangannya ke apartemen memang tertunda Karena kasus kecelakaan yang menimpa Gabby. William akan semakin sibuk dan tanpa sadar menelantarkan kedua buah hatinya. Dunia benar-benar kejam pada kedua anaknya dan waktu enggan memberi toleransi.

            Pipi putih Eve nampak membesar jika dilihat dengan jarak yang sangat dekat seperti ini. Atau Eve memang bertumbuh besar dengan cepat tanpa ia sadari? Sedangkan Wilson nampak sama meski sekarang Wilson jauh lebih tenang dari biasanya. Pipinya seolah tertanam pada bantal dan terlihat seperti terjepit. Lucu.

            Dengan perlahan William membenarkan posisi Wilson hingga terlentang sempurna lalu menyelimuti mereka berdua. Dipandanginya kembali Eve dan Wilson dengan lekat dan penuh kasih sayang. Secepat inikah waktu? Berapa usianya saat ini? Apakah ia akan terus beranjak tua dan akhirnya meninggalkan mereka berdua?

            Apakah mereka sudah makan malam? Apakah mereka menikamati makanannya? Atau, apakah mereka menangisi sesuatu hari ini? William berharap jawabannya tidak untuk pertanyaan terakhir. Semua pertanyaan itu berkelebat hebat dalam pikirannya. Ada yang hanya berkelebat sesaat dan ada yang meninggalkan sesak yang dalam ketika William mencoba memikirkannya.

            “Pop?”

            Dilihatnya Eve yang bergerak tak nyaman dan akhirnya membuka mata. Berbeda dengan Wilson yang masih tidur dengan nyenyak. Tanpa William sadari Eve terbangun karena gerakan halusnya di lengan Eve sedari tadi. Ah, mengganggukah William?

            “Hey.” Senyuman lebar William nampak lelah meski ia sudah berusaha tersenyum sebahagia mungkin. Gadis kecilnya bangun kemudian terduduk dengan lucu. Ia melihat William yang masih mengenakan kemjanya.

            “Pop baru pulang?”

            Anggukan William membuat Eve terdiam sebentar seolah ada yang dipikirkannya ketika memandangi wajah sang ayah yang masih terlihat tampan meski nampak lelah. Lengan Eve terulur untuk mengusap pipi sang ayah dengan lembut sambil mengerucutkan bibirnya yang kecil dan berwarna kemerahan. Bibir Eve mirip sekali dengan bibir Deana yang kerap di kecapnya dulu.

            “Kenapa Pop selalu pulang malam, sih? Enggak cape? Pop udah makan? Belum mandi kan?”

            “Hey, Pop cape banget. Makanya sekarang mau tidur. Pop udah makan kok, Eve sama Wilson udah makan?”

            Yang William lihat kemudian hanya Eve yang mengangguk dan kembali terdiam. Payah sekali William ini. Bahkan seorang Eve yang usianya belum genap lima tahun saja bisa sangat mengkhawatirkannya, eh? Belum genap? Bukankah hari ini tepat lima tahun Deana meninggal dan itu berarti hari ulang tahun Eve dan Wilson? Aish, kenapa dia bisa sampai melupakan kedua anaknya seperti kacang yang tidak pernah melirik cangkangnya kembali?

            Ini sudah sangat malam, meski Eve telah terjaga tapi William tidak akan sampai hati membangunkan Wilson untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Terkutuklah William.

            “Tadi Eve sama Wilson ke rumah sakit?”

            “Enggak. Kata Oma anak kecil gak boleh main di rumah sakit.”

            Si kembar tidak tahu tentang hari ulang tahun mereka, Maria dan Gabby pun sepertinya lupa. Wajar jika sang Mama lebih mengkhawatirkan kondisi Gabby yang sedang sakit dibanding dengan harus mengingat tanggal dan merayakan ulangtahun cucunya. Apalgi Johan, jangan tanya laki-laki itu. Bahkan Johan tidak pernah ingat ulang tahun William dan Gabby.

            Malang sekali anak-anaknya.

            “Sekarang, Eve tidur lagi ya. Besok kan harus sekolah!” William bersiap untuk kembali menyelimuti Eve tapi kemudian tertahan karena Eve kembali merengek seperti biasanya.

            “Eve tidurnya mau sambil di peluk Pop.”

            “Loh? Kan Pop bau, belum mandi?”

            “Gak apa-apa, meskipun bau tapi Pop tetep Popnya Eve.”

            Halah. Nampaknya angin masih berhembus kearahnya dan memberikan kesegaran luar biasa di tengah kelelahan luar biasa karena badai yang membombardirnya akhir-akhir ini. Eve dan William adalah salah satu amunisinya ketika ia merasa kehilangan bahan bakar dan kembali semangat setelah secangkir senyuman si kembar menyiramnya.

            Kemudian William ikut berbaring di sisi Eve dan memeluknya dari belakang. Tubuh Eve tidak seberapa dibandingkan dengan tubuhnya yang jangkung. Diusapnya pipi Wilson dan membuatnya merasa terganggu karena sentuhan William yang halus.

            “Selamat malam, Eve. Selamat malam Wilson.”

            “Selamat malam, Pop.”

***

            Sebuah meja bundar dan cukup besar terlihat bersinar di tengah keremangan sebuah taman yang mereka pilih untuk candle light dinner kali ini. Nampak Yuma yang terlihat sangat cantik dan manis dengan gaun terbuka berwarna putih yang khusus dibuatnya sendiri untuk malam ini.

            Beberapa saat yang lalu Yuma baru saja mengalami hal paling menakjubkan selama hidupnya. Jo, pria yang sudah menjadi pacarnya kurang lebih enam bulan terakhir ini akhirnya melamar Yuma dan mengajak Yuma mendaratkan diri di pelaminan. Bagaimana hal ini tidak menakjubkan baginya?

            Jo adalah laki-laki pertama yang menerima Yuma apa adanya, tanpa melihat Yuma yang cantik saat ini, atau Yuma yang tiga tahun lalu masih menjadi Yudi Mahardika.

            Hubungan mereka memang tergolong baru di jalin, tapi jika kalian tahu bagaimana Yuma telah begitu banyak berkorban untuk hubungan ini, untuk hubungan yang menjadi obsesinya sejak awal dan untuk nafsu manusia dan untuk masa depan yang belum menemukan titik terang, entah kalian akan bertepuk tangan atau memberikan sentuhan penenang di punggungnya.

            Bagi Yuma, kurun waktu enam bulan terakhir ini adalah waktu yang membuatnya lebih sering lupa siapa dirinya. Hubungannya dengan Jo pun bukannya selalu terjalin mulus dan selalu bahagia, beberapa kali putus dan Yuma harus menebusnya dengan beberapa kali disetubuhi untuk mengembalikan hubungan mereka.

           Wait? Disetubuhi? Maksudku …

           Ah, kalian pasti mengerti maksudku.

           Dan pengorbanan Yuma tidak hanya sampai melacurkan diri tapi dia berlaku seolah Genie. Ketika Jo memiliki permintaan maka Yuma akan mengabulkannya, meski terkadang tidak rasional, seperti yang ia lakukan beberapa hari yang lalu.

          “Terima kasih untuk segalanya.” Saat itu Jo menggenggam tangan Yuma dengan sangat lembut, membuatnya terdepak dari bumi dan mengambang di awang-awang, seketika menjatuhkan impian namun dengan jiwa yang masih tertinggal.

          Jo selalu bisa membuatnya seperti ini.

          Tenang dan seolah melayang. Bagaikan morfin. Bagaikan Yuma tak memiliki ambisi selain memilikinya.

         “Sesuai janji aku, kita akan segera menikah.”

***

         Papa sudah terlihat di meja makan dan seperti biasa, sebuah Koran tengah dibacanya dengan serius. Akhir-akhir ini Pak Goes memang jarang sekali ada di rumah karena urusan pekerjaan, Mama sampai marah-marah karena kerap makan malam hanya bersama Alexandra.

        Dengan terburu-buru Delphine turun dari tangga dengan sebuah wedges bertali di tangannya. Sebenarnya sepatu itu adalah hibahan Alexandra beberapa hari yang lalu. Rambutnya sudah terikat dengan cantik, beberapa helai rambut di sisi kepala ia biarkan tak terikat, membuatnya cantik karena sejumput rambut itu selalu ikut bergoyang ketika Delphine bergerak terlalu aktif.

       “Del, makan dulu?”

       Mama berteriak dari arah dapur dan Delphine hanya menggeleng ditempatnya, seolah Mama bisa melihat bagaimana Delphine berkata tidak dengan gelengan kepala.
“Del? Ayo makan dulu!”

       “Delphine makan di kantor, Pa. Sekarang lagi buru-buru banget!” Suara berat Pak Goes membuat Delphine langsung kembali bersuara. Setelah memakai wedgesnya, ia baru mendekat ke arah meja makan dan meminum susu hangantnya dengan sekali teguk. “Mau bareng kakak, Lex?”

        “Aku kuliah siang, kok.”
Barulah saat itu Delphine sadar Alexandra masih mengenakan kaos belel kesayangannya dan gadis itu tidak terlihat sudah mandi. Delphine menepuk dahinya, merasa dirinya payah sekali.

        “Tunggu sebentar, Del. Papa mau minta tolong!”

***
            Pagi ini Delphine menjadi orang pertama yang datang ke kantor Golda. Ada pekerjaan yang harus diselesaikannya hari ini juga. Gara-gara kemarin sibuk mencari baju yang hilang dan berujung dengan tangisan di pelukan William membuatnya lupa pada pekerjaan yang berada di ujung deadline.

            Gabby memang masih belum datang ke kantor, tapi pekerjaannya ini tetap harus dikerjakan dan diserahkan pada salah satu Melati untuk di ubah ke versi digital dan menjadi salah satu bahan presentasi pada semua pihak sponsor nanti.

            Di mejanya Delphine berkutat dengan rancangan baju semi casual-formal yang baru setengah jadi, sambil mengemudikan mobil tadi Delphine memang memikirkan banyak ide untuk pekerjaannya kali ini agar bisa menyelesaikannya dengan cepat. Kalau bisa sebelum istirahat makan siang, karena Pak Goes memintanya menyerahkan sebuah berkas pada William.

            Berkasnya masih ada di mobil dan Delphine tidak mau memusingkannya saat ini.

            Di tengah-tengah pekerjaannya –dan masih dengan tanpa orang lain, tiba-tiba Delphine mendengar sebuah ponsel berdering. Dengan takut-takut Delphine memutar kepalanya kesemua penjuru arah dan tidak melihat sesosok manusia pun. Suara dering ponsel itu sangat terdengar keras dan asalnya dari meja Yuma.

            Dan benar saja, smartphone Yuma terlihat tergeletak begitu saja di atas meja kerjanya. Nampaknya Yuma melupakan salah satu benda krusial itu.

            Setelah meletakkan pensilnya, Delphine bergerak mengambil ponsel Yuma dan melihat nama Jo tertera sebagai caller ID. Ah, meski jarang membahasanya tapi Delphine tahu betul siapa Jo.

            Entah dorongan dari mana Delphine mengangkat panggilan untuk Yuma begitu saja. Sebelum ia sempat mengucapkan sepatah sapaan apapun, suara Jo sudah terdengar nyaring di ujung sana dan Delphine urung menggetarkan pita suaranya.

            “Kabar baik, Honey! Sidang kasus Gabby dimulai lusa…”

            Honey? Yuma masih pacaran sama Jo? Apa katanya tadi? Sidang? Kasus Gabby?

            Sementara Delphine berpikir keras, Jo masih berceloteh. Tapi gadis itu sama sekali tidak memikirkan apa yang Jo katakana kemudian, yang menjadi pikirannya hanya mengapa Yuma masih menjalin hubungan dengan Jo? Dan menagapa Jo membahas kasus kecelakaan Gabby?

            Dengan berpikiran positive serta didukung sisi jiwanya yang baik hati Delphine berpikir bahwa Yuma memutuskan kembali berhubungan dengan Jo tanpa sepengetahuannya dan sahabatnya itu banyak bercerita tentang apa yang dialaminya akhir-akhir ini pada Jo.

            Hal wajar ketika seseorang bercerita pada kekasihnya. Yang tidak wajar adalah Yuma. Mengapa dia masih menerima Jo setelah semua perlakuan buruk laki-laki itu padanya? Aish, bagaimana sistem kerja otak Yuma sebenarnya?

            Sampai panggilan terputus pun Delphine masih diam di tempatnya dan memandangi kursi Yuma dengan tatapan kosong. Kursi itu seakan hampa udara dan gravitasi seolah tidak terbaca. Yuma selalu duduk di sana dengan sesak tanpa arah karena udaranya menghilang, lalu dipermainkan gravitasi dengan mengapung-apungkannya di atas awan.

            Mengapa Yuma tidak sadar bahwa dirinya seperti layang-layang? Sudah tahu akan putus tapi tetap meminta angin membawanya terbang. Kalian akan mengerti maksudku.

***

            Istirahat makan siang tidak Delphine gunakan untuk makan siang bersama Yuma seperti biasanya. Berkas dalam Map merah yang dititipkan sang Ayah padanya tadi mau tidak mau harus disampaikan pada William di kantornya. Meski tidak pernah sama sekali pergi ke kantor William, tapi gedung Excello berada di daerah yang familiar baginya. Dan ia yakin hal ini tidak akan terlalu sulit.

            Sepanjang jalan Delphine masih memikirkan apa yang Jo katakan di sambungan telfon tadi. Sejumlah pertanyaanpun bersarang di tempurung kepalanya dan hampir meledak jika tak ada satupun yang terjawab dengan cepat.

            Akhir-akhir ini banyak sekali yang terjadi dan semuanya hampir membuat Delphine gila. William, Baju yang hilang dan sekarang sahabatnya sendiri.

            Ternyata Excello adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang obat-obatan. Delphine mengetahuinya dari company profile yang tersedia di resepsionist yang dilihatnya ketika menanyakan William. Kedatangannya ke sini membuat Delphine tau sesuatu, bahwa ternyata William bukan pimpinan paling tertinggi di perusahaan milik Johan Ardiwilaga ini. Dia hanya berperan sebagai salah satu direktur dan pekerjaannya membuat William sangat sibuk.

            Tunggu, untuk yang terakhir itu sepertinya Delphine menyangkal. William adalah direktur paling tidak ada kerjaan di seluruh permukaan bumi. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari ia bisa melihat William di Golda. Apa sebenarnya yang pria itu lakukan padahal kondisinya sendiri benar-benar dilanda kesibukan.

            Sudah hampir setengah jam Delphine menunggu William yang kembali dari rapat dan gadis itu sudah tertidur karena bosan di sofa. Memalukan sekali.

            Tanpa Diketahuinya, William keluar dari ruang rapat dan menemukan dirinya yang tergeletak nelangsa di sofa. Mata William membelalak ketika melihat Delphine dengan rambut panjangnya malah tertidur di sofa.

            “Maaf, Pak. Ibu itu yang mau menemui bapak seperti yang saya katakan tadi.” Ketika William masih berdiri di tempatnya dan memandangi Delphine suara Alia, sekertarisnya, menyentakannya kembali kealam nyata dan mulai berdiri menghampiri gadis itu.

            Rapat tadi berlangsung sekitar satu setengah jam dan Delphine menunggunya selama itu. Untuk apa?

            “Dia udah lama?”

            “Kurang dari satu jam ini, Pak.”

            Dengan perlahan William duduk di samping Delphine yang sudah benar-benar tak sadarkan diri. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apakah ia bisa memulai dengan menyentuh tangan Delphine demi membangungkannya?

            Meski tidak yakin dengan apa yang dilakukannya, William mencoba menyentuh lengan Delphine yang terasa sedikit lebih panas dari normalnya itu dengan perlahan. Tidak, cendrung lembut dan menggoda.

            Sadar dengan apa yang dilakukannya, William bangkit dan meminta Alia membangunkan Delphine. Ia akan pergi keruangannya dan Delphine akan secara otomatis menemuinya di dalam. Jantungnya kembali berdebar luar biasa dengan William yang berusaha menenangkannya.

            Sebisa mungkin William kembali menetralkan detak jantungnya sebelum Delphine datang dan melihat William kewalahan sendiri. Kenapa berada di dekat Delphine selalu membuatnya lelah? Lelah karena terus melawan detak jantungnya yang menggila dan lelah bersifat munafik serta bermuka dua.

            Delphine masuk ke Ruangannya ketika William tengah mengatur nafas dan wajah terhalang lengan di mejanya.  William harus menenangkan diri … tenang.

            “Kenapa rapat kamu lama banget sih?!”

            Apa?

            Dahi William refleks mengerut ketika Delphine malah marah-marah saat memasuki ruangannya. Gadis itu terus merutuk dan William hanya mendengarkannya sambil tersenyum. Pemandangan Delphine yang marah-marah dan kerap kali mengerucutkan bibir itu adalah pemandangan indah baginya.

            “Saya sampai ketiduran gara-gara nungguin kamu! Saya tahu kamu orang penting tapi seharusnya kamu lebih menghargai waktu saya dong!”

            Kini gadis itu mulai duduk di hadapannya dan terlihat terengah-engah. Pelipisnya berkeringat dan hal itu malah membuat sejumput anak rambutnya melekat dengan keringat dan William kembali melihat sisi seksi Delphine. Ketika berkeringat.

            Aneh sekali.

            “Capek marah-marah terus?”

            “Huh!”

            Lengan William berubah bersedekap dengan wajah yang mendekat ke arah Delphine yang tepat berada di depannya. “Jadi, apa tujuan kamu kesini? Seperti yang sudah kamu katakan, saya orang sibuk dan tidak memiliki banyak waktu untuk meladeni anak kecil seperti kamu.”

            Dengan kesal namun tetap tertahan Delphine berdecak di depan laki-laki itu. Matanya mengerling pada sebuah dispenser yang ada di ruangan William serta sebuah kulkas kecil di sana. Karena terlalu bersemangat berorasi tenggorokannya jadi kering dan tanpa sadar Delphine menyentuh tenggorokan malangnya.

            “Haus?”

            Anggukan kecil Delphine membuat William tertawa geli dan beranjak dari kursi kebeasarannya menuju lemari pendingin kecil di dekat dispenser.

            “Cola?” Delphine melihat William mengacungkan sebuah cola kalengan penuh kalori dan dengan refleks Delphine menyilangkan kedua lengannya. “Air putih saja, saya gak minum soda.”

            Segelas air putih dingin dengan sisi gelas yang mengembun berada di tangan William kini. Delphine tidak sabar untuk meminumnya dan memberikan sedikit efek beku di tenggorokannya yang sudah benar-benar panas dan kering.

            Ketika tangan Delphine berusaha meraih gelas itu, William yang masih berdiri malah mengangkat tangannya ke atas sehingga Delphine kesulitan meraihnya. Beberapa saat mereka masih seperti itu ; William yang semakin meninggikan tangan dan Delphine yang masih mencoba meraihnya. Willian yang tertawa dan Delphine yang kembali merutuk.

            William menurunkan tangannya ketika melihat Delphine kepayahan lalu memeberikan gelasnya pada gadis itu. Satu lagi aksi seksi Delphine baginya, ketika bibir ranum Delphine menempel pada sisi gelas dan menghisap airnya hingga habis. Oh, jangan bilang William mau bertukar posisi dengan gelas yang berada dipegangan Delphine hanya karena bibir gadis itu? Aish, bodoh sekali.

            “So, apa yang membuat kamu kemari menemui saya?”

            Gadis itu teringat dengan map merah yang dititipkan sang Ayah dan mengambilnya dari dalam tote bag miliknya. Dahi William kembali berkerut memandangi apa yang diberikan Delphine. Setelah membukanya sebentar, William sadar bahwa berkas ini adalah berkas kasus kecelakaan Gabby tempo lalu. Ada beberapa dugaan dan alasan kuat yang membuat Pak Goes menduga Yuma sebagai salah satu otak pembunuhan berencana ini.

            Mengingat Delphine tidak tahu apa-apa William kembali menutup mapnya dan menyimpannya di atas meja.

            “Oh ya, saya boleh tau sesuatu?”

            “Hm, apa?”

            “Mbak Gabby kapan pulang dari rumah sakit? Terus apa bener pelaku kecelakaan kemarin  sudah diamankan polisi dan akan segera disidangkan?”

            Rentetan pertanyaan Delphine membuat William mengernyit dan berusaha memahami apa yang sedang di pikirkan gadis itu. Ada sedikit kekhawatiran yang dilihatnya dari raut wajah Delphine. Apakah gadis ini mengkhawatirkan beberapa baju yang masih menghilang itu?

            “Kamu tahu dari mana?”

            Kini dilemma malah menyerang diri Delphine. Ragu, apakah ia harus memberitahu William tentang telfon dari Jo untuk Yuma tadi atau tidak. Ini memang tidak aneh, tapi Jo yang menganggap hal itu sebagai sebuah kabar baik malah membuat Delphine curiga. Tanpa sadar Delphine malah menggigiti bibirnya dalam diam.

            “Delphine?”

            “Hah?” Suara William yang terdengar lebih keras dari sebelumnya berhasil menyentakan Delphine dan membebaskan bibirnya yang terus ia gigiti dari tadi. Nampak agak memerah meski tidak sakit sama sekali.

            William berpikir Delphine tengah menyembunyikan sesuatu. Tapi tentu saja William tidak bisa memaksa gadis itu untuk berbicara. Setidaknya sekarang. Ia akan mencoba membuat Delphine membuka mulutnya sendiri nanti.

            “Saya belum makan siang.” Entah apa yang dipikirkan William kali ini, tapi laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam jasnya. Sebuah voucher? “Saya punya dua voucher gratis di restoran baru milik teman saya. Mau mencobanya?”

***

            Tidak ada siapapun yang menjaga Gabby saat ini. Maria mengatakan akan pulang sebentar untuk mengambil beberapa baju ganti. Beberapa hari ini tidak melihat si kembar, mereka tidak diijinkan datang kemari karena kebisingan yang selalu mereka buat. Maria memang jahat.

            Sekarang hanya sebuah televisi yang menemai Gabby di tempatnya. Sebuah saluran tv swasta yang menyiarkan acara perjalanan ke Negara Jiran yang bahkan Gabby tidak mengenal hostnya sama sekali. Persetan dengan itu. Gabby hanya perlu beberapa suara yang menemaninya.

            Matanya terpejam dan telinganya bisa mendengar lebih jelas dari biasanya. Deru kendaraan yang entah dimana, percakapan penghuni kamar sebelah, suara sepatu orang-orang yang berjalan di koridor, semuanya bisa ia dengar dengan jelas ketika memejamkan mata.

            Lama-lama keadaan sepi ini membuat Gabby jengah, ia kembali membuka mata dan melihat jendela yang terbuka. Maria memang membuatnya terbuka sepanjang siang hari untuk membantu sinar matahari dan angin masuk kedalam ruangan. Meski dokter melarang tapi Maria seolah tahu apa yang memang harus diperbuat untuk anaknya.

            Gabby masih memandangi jendelanya, tanpa suara dan tanpa pikiran apapun. Tiba-tiba suara kaca yang pecah dan sebuah batu berukuran cukup besar melayang kearahnya. Mulutnya terbuka dan menjeritkan suara ketika batu itu merusak televisi yang sedang menyala dan membuat kaca jendela pecah.

            Ada yang melemparinya dengan batu.

            Ada yang menerornya.

            “MAMAAAAAAAAAAAA!!!”
***

Thanks a lot for reading this continued story :) Keep waiting next Chapter, Gais. You can find me on twitter @Rulitash or my personal facebook account at Rulita Syakilla Ummiya

This entry was posted on Senin, 05 Agustus 2013 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply