Moving On! [Cerpen]



Tittle   : Moving On!
genre  : Teen Romance
Lenght : 1.696 words
Author : Rulitash


Hachiko harus kehilangan Profesor Ueno dan takkan pernah bisa mengembalikannya bahkan hingga Anjing itu mengais debu dengan darah. *

Bahkan setelah tersesat di dunia roh, bertemu Yababa, bekerja di Onsen dan menghadapi si Bayi Besar, Chihiro masih harus kehilanga Haku, seakan petaka yang merubah kedua orang tuanya menjadi babi adalah hal sepele.**

Lihat, selalu ada perpisahan. Bahkan jiwa yang harus meninggalkan raga. Bukan hanya Habibi yang kehilangan Ainun, anak yang kehilangan ibunya, ataupun Andin yang akhirnya kehilangan Juna.

Tidak…
Maksudku, Andin yang diputuskan Juna kemarin malam.

Jangan tanya keadaan gadis itu saat ini. Karena kalian hanya akan menertawainya yang hampir menyikat gigi dengan sabun pencuci muka. Bukan hanya sakit hati sesakit-sakitnya, tapi gadis itu juga tidak bisa berpikir sejernih biasanya.

Ternyata putus cinta memang sakit, lebih sakit lagi jika sudah putus tapi masih cinta.

***

"Serius lo? Gimana bisa kalian putus gitu aja?!"
"Katanya Juna mau kuliah di luar negeri."
"So?"

Andin bungkam begitu Algia meminta jawaban lebih dari itu. Lagipula mana ada orang yang akan puas dengan jawaban seperti itu? Andin sendiri tetap bungkam, lebih karena tidak tau harus menjelaskan masalahnya seperti apa. Apa Andin harus menjelaskan bahwa Juna ingin fokus pada study-nya demi mengejar universitas impiannya di Kairo sana? Apa Andin harus mengatakan bahwa pada kenyataannya Juna mengorbankan dirinya demi alasan lain? Tidak memilihnya? Atas dasar apa? Seleksi alam? Sialan.

Andin sedikit frustasi. Mohon dimaklumi.

"Gak pernah denger istilah long distance relationship kali ya dia?" Algia kembali mencibir, merutuki Juna yang sudah membuat sahabatnya tidak karuan seperti ini.

"Lo kali yang gak tau gimana nyeseknya hubungan Jarak Jauh." Dengan atau tanpa sadar Andin membela Juna yang jelas-jelas sudah membuat dirinya kacau. Mungkin ini efek masih cinta. Rada susah dihingkan memang.

"Lo lupa Voices of a Distant Star yang kita tonton kemaren?" Algia mengingatkan salah satu film animasi pendek yang beberapa hari lalu mereka tonton. Diam-diam gadis menganggukan kepala, benar-benar ingat dan mengerti bagaimana Mikoku yang berhubungan jarak jauh dengan Noburo, jaraknya tidak tanggung-tanggung, sejauh Bumi dengan Sirius, yang bahkan membutuhkan waktu 8 tahun hanya untuk mengirimkan sebuahe-mail.

"Tapi, itukan fiksi, Gi. Jangan disamain dong."

"Yang penting itu bukan soal cerita fiksi atau kisah nyata. Yang penting adalah pelajaran dari hubungan jarak jauh mereka, gimana mereka masih saling percaya bahwa suatu saat nanti ada masa yang akan mempertemukan mereka kembali."

Andin kembali bungkam, sebagian hatinya berseru setuju, tapi tidak dengan otaknya yang kembali membuat penyangkalan. "Beda lah, Gi."

"Lagian kalian masih sama-sama di Bumi. Banyak banget alat komunikasi, trasportasi juga terjangkau." Algia bangkit setelah membereskan isi dompetnya yang berceceran di atas meja. Ibu perpustakaan masih ada di tempatnya  dan Andin memutuskan akan tetap disini.

"Lo kolot, ah, Din. Kayak nenek gue aja."

Kalimat terakhir Algia benar-benar menendang ulu hati dan sisi sensitifnya sebagai perempuan. Untung saja mereka sudah bersahabat sejak awal masuk SMA, membuatnya cukup tahu bagaimana pedasnya Algia jika sudah mengomentari sesuatu.

"Din, dicariin Pak Seka tuh. Katanya ada tugas, Dia gak bisa masuk kayaknya."

Tiba-tiba sebuah suara yang sangat dikenalinya terdengar dengan frekuensi beberapa desibel lebih rendah dari Algia tadi. Tidak perlu menjadi Sherlock Holmes atau bahkan tidak perlu membalikan badan untuk mengetahui siapa yang berada di belakangnya saat ini. Pemuda yang berbicara dengan lembut dan santun seperti biasanya, ugh, Move, Din ..Move!

"Oh iya, makasih. Aku duluan." Dengan secepat kilat Andin beranjak menjauh, seolah tidak mau lagi tersentuh hitam masa lalu.

Yang Andin tidak tahu adalah Juna memperhatikannya hingga berhasil melewati pintu perpustakaan. Yang Andin tidak tau adalah Juna tidak pernah rela melepaskannya begitu saja.

***

Andin hanya memandangi lapangan basket sekolah yang sepi dan seperti tak bertuan. Dengan terpaksa gadis itu menunggu kakaknya menjemput. Memang tidak seperti biasanya, karena kali ini Andin kehilangan ongkos yang diberikan Mama tadi. Tidak hilang juga sih, habis dibayarkan uang kas yang ternyata sudah ditunggaknya tiga minggu ini.

Jujur saja, Andin tidak pernah merasa se-bokek ini. Arjuna selalu membawanya ke kantin untuk di traktir atau bergantian jika ada kesempatan. Ongkosnya selalu tersimpan rapi karena Juna rela menjadi pacar-rangkap-tukang-ojeknya. Sekarang boro-boro, mungkin mantan pacarnya itu capek direpotin.

Geez, suudzon aja terus, Din.

Malam itu Andin sama sekali tidak menyangka bahwa ajakan Juna keluar rumah adalah pertanda paling membahayakan selama hubungan mereka satu tahun ini. Lagipula bagaimana bisa Andin ngeh jika Juna membawakannya sebatang cokelat?

Ternyata cokelatnya hanya sogokan sebelum mereka berakhir.

Mungkin ini bukan keputusan paling tepat, tapi aku udah pikirin resikonya, Din …

Suara lembut nan santun Juna kembali terdengar di otaknya. Entah kenapa hal itu selalu membuatnya ingin menangis.

Kok kamu panggil nama? Sayangnya mana?

Mengingat percakapan mereka kemarin malam membuat Andin ingin terjun saja dari Everest, menggelinding dan jadi bola salju yang kuat dan berat. Setelah itu dia akan mengejar Juna dan menabraknya sekuat tenaga, biar tahu rasa!

“Andin?”

Semakin dibayangkan, suara Juna semakin terdengar nyata. Membuat Andin merinding sendiri karena ternyata dia begitu mencintai Juna.
“Andin?”
“Hah?”
“Kamu aku panggil dari tadi, gak nyaut-nyaut!”

Loh? Kok ada Arjuna di depannya? Iya, Arjuna mantan pacarnya yang sialan sekali karena memutuskannya begitu saja. Kalau begitu dari tadi memang suara Juna? Ugh, Selamat malu deh, Din.

“Sorry, gak fokus.” Suara Andin lemah sekali dan Juna sedikit khawatir.
“Kamu gak apa-apa? Kok belum pulang?”

Andin mendongak melihat Juna yang berdiri di depannya, lehernya sakit karena posisi tinggi badan Juna yang kali ini jauh lebih tinggi. Hatinya berdesir, seperti jantungnya memompa darah lebih cepat.

“Kenapa?”
“Sorry?”
“Kenapa masih perhatian sih? Bikin aku gak bisa move on aja!”

Baik Juna ataupun Andin sama-sama terkejut. Juna terkejut karena ternyata Andin sedang berusaha beralih hati darinya. Dan…bagaimana bisa gadis itu melontarkan kalimat memalukan seperti itu?

“Andin? Kok lo masih nyuruh gue jemput sih? Kan ada Juna!” Suara kakaknya menyentakan Andin kembali pada kefanaan dunia yang kini amat memalukan.

***

Malam minggu selalu jadi malam yang menyenangkan bagi Andin. Selalu ada Juna yang datang ke rumah dengan DVD baru dan sekantong makanan ringan. Datang sehabis maghrib dan pulang jam sembilan malam. Sesungguhnya mereka tidak pernah menghabiskan malam minggu di luar rumah, selama setahun ini.

Dan malam minggu kali ini amat berbeda. Tidak ada mereka yang bersama lagi.

“Yah, wreck it Ralph. Jangan ini dong. Males ada si felixnya.” Andin bertambah lemas dan tidak bergairah ketika Gemi memutar film animasi besutan Disney Pixar itu. Dulu memang Andin suka, tapi tidak saat ini. Tidak karena membawanya ke masa lalu. Ugh, ujung-ujungnya Andin jadi tidak bisa Move on kan.

“Kenapa? Bikin inget doi lagi?”

Tuh kan … sama sekali tidak ada yang mendukung Andin pada saat fase-beralih-hatinya.

Gadis itu memutuskan untuk bungkam saja dan menikmati –yang sebenarnya tidak benar-benar dinikmatinya– bagaimana karakter-karakter fiksi dalam layar kaca itu beraksi. Andin sudah menonton ini jutaan kali, dan ini adalah kali pertama Andin benci Wreck it Ralph.

Kenapa?  Ya tentu saja karena Juna.

“Apalah Disney tanpa Pixar.” Gumaman Andin yang lemah nayatanya masih bsia di dengar Gemi. Dan sialnya, Gemi selalu bisa membuat Andin marah dan jengkel.

“He-em. Apalah Andin tanpa Juna. Butiran Debu?”

Gadis dengan bibir tipis itu benar-benar naik pitam. Ia merasa tidak ada satupun mahluk waras di dunia yang memihaknya. Air mata sudah memupuk di kelopak mata besarnya. Ternyata begini rasanya cinta tidak bertepuk, hampa dan menyakitkan.

“Loh, jangan nangis dong, Din. Jadi jomblo gak seburuk yang lo kira kok!”

“MAMA, KAK GEMI RESEEE!”
***
Tekad Andin sudah bulat, Andin akan membuktikan pada Juna bahwa dirinya bisa bertahan dengan atau tanpa masa lalu mereka. Bukan, Andin tidak akan benar-benar menggelinding dari Everest lalu menjadi bola salju kemudian menghantam Juna, Bukan. Dia hanya akan bersikap biasa seolah masa lalu hanya bayangan yang bahkan tidak bisa tersentuh dan kasat mata.

Seperti kali ini. Dengan sengaja Andin mengambil tempat duduk di samping Juna yang tengah sibuk dengan esiklopedia astronominya. Yang Andin tahu, Juna memang berniat berkuliah di jurusan Ilmu astronomi.

Merasa Juna tidak menyadari keberadaannya sama sekali, Andin dengan sengaja menyimpan bukunya dengan kasar agar menimbulkan suara yang bisa mengalihkan perhatian –oke– mantan pacarnya itu.

Setelah beberapa detik, gadis itu tidak melihat Juna memutar kepalanya satu derajat pun. Gila. Juna spesies apa sih? Kok gak peka?

Dengusan kasar Andin akhirnya terlepas juga. Satu detik kemudian Andin berdehem, berakting membersihkan tenggorokannya yang sama sekali tidak gatal. Sudut matanya melihat Juna yang masih tidak bereaksi, pemuda itu hanya menggerakkan tangannya untuk membuka lembaran ensiklopedianya.

Ketidakpedulian Juna itu membuat hati Andin hampir menyentuh lantai dan terinjak langkahnya sendiri. Tanpa sadar gadis itu menunduk, merasa bodoh.

Bukankah itu artinya Juna memang sudah tidak peduli dengan keberadaannya? Lantas kenapa Andin harus repot-repot membohongi dirinya sendiri juga Juna tentang dia yang baik-baik saja setelah hubungan mereka berakhir? Ironi yang mengerikan, tentu saja.

Bibir bawahnya digigiti tanpa sadar. Kebiasaan Andin jika hampir putus asa.

Matanya berubah lembab, pandangannya kehilangan fokus. Tidak ada yang tahu Andin tengah menyembunyikan tangisnya kali ini. Dia tidak menangisi Juna, tidak menangisi hubungan mereka yang kandas. Dia hanya menangisi dirinya sendiri yang tidak bisa bergerak menjauh secepat Juna.

Juna seperti telah jatuh cinta, kemudian bangkit tanpa cinta. Sedangkan Andin, setelah jatuh cinta, gadis itu harus menelan pahitnya jatuh tanpa dicinta.

“Bahkan, angin pun dianggap elemen yang paling setia karena selalu bergerak dan melaju sesuai waktu…”

Kalau tidak salah dengar, Andin mendengar suara Juna. Tepat di sampingnya. Di samping telinganya. Perlahan gadis itu memutar kepala beberapa derajat, hanya memastikan Juna masih ditempatnya atau tidak.

“Kenapa kamu gak nganggap aku kayak angin yang bakal selalu setia, bergerak, maju, mundur, muter bahkan kayang ke pelukan kamu?”

Setelah mata mereka bersirobok, dan setelah Juna berhasil mengucapkan kalimat setengah puitis yang dihafalnya semalaman pada Andin, gadis itu bergeming. Seolah lupa cara bernafas, seolah lupa bagaimana detak jantung orang normal pada umumnya.

“Selamat ulang tahun, Andin sayang. Gimana rasanya putus sama aku beberapa hari ini? Aku sih gak enak.”

Hari ulangtahun? Maksudnya? … Andin ulangtahun hari ini? Memangnya ini … apa?

Detik berikutnya Andin bisa melihat raut jenaka di wajah Juna. Matanya yang seolah tertawa dan seringainya yang menggemaskan. Jangan bilang kalau semua ini hanya …

“Sialan, kamu jailin aku!”

… Kejutan Juna untuk Andin di hari ulangtahunnya.

“Tapi seneng kan aku cuma pura-pura?”
“Gak.”
“Iya, kamu seneng, Sayang.”
“Gak seneng!”
“Iya.”
“Enggak!”
“Oh berarti aku harus putusin kamu beneran biar seneng?”
“Jangaaan!”

The End.

Catatan Kaki
(*) Film Hachiko Monogatari (Jepang: 1987)
(**) Anime Movie Sprited Away (Jepang: Hayao Miyazaki, 2001)

Aaaah, seneng banget bisa posting sesuatu lagi di sini. Ayo yang sudah baca, kasih aku kripik pedas biar maknyus! :D Semoga suka! #ketjup



This entry was posted on Rabu, 07 Mei 2014 and is filed under ,. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

6 Responses to “Moving On! [Cerpen]”

  1. Aaah, dikirain beneran diputusin :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena aku pikir, cukup aja aku yang galau, Andin jangan :v

      Hapus
  2. Tadinya ngira kalo putus beneran terus bisa move on. Tapi untunglah cuma kejutan aja :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa move on sih kalo udah putus, tapi mungkin gak cepet. Maklum, cewek kan kalo hatinya udah nyangkut ya susah lepasinnya. Eh kok aku curhaaaaaaaaaaat >,<

      Hapus
  3. Balasan
    1. Haha, kalo putus mah udah spoiler banget dari judulnya, makanya aku belokin biar greget :3 Hehhe, Thanks ya sudah baca :D

      Hapus