Incredible Happiness (CERPEN)



Seperti biasa Gilbert berhasil menyelesaikan soal yang diberikan Miss. Ana dalam pelajaran Fisika. Hanya butuh beberapa menit untuk pemuda berkacamata minus itu menyelesaikan soal di papan tulis. Kali ini ia berhasil menguraikan hubungan Tiga energi ; Kinetik, Potensial dan Mekanik dengan Getaran dan gelombang. Yang lebih menakjubkan, Hari ini adalah pertemuan pertama dalam semester empat di sekolah menengah pertamanya, dan itu berarti belum ada pemahaman materi yang disampaikan Miss. Ana. Tapi, sepertinya itu bukan hal besar baginya. Ia terbiasa hidup dengan rumus-rumus fisika dan matematika selama hidupnya.
Gilbert melangkah dari depan kelas menuju bangkunya kembali. Ia melihat Algia yang duduk persis di depan bangkunya, tengah menunduk dalam-dalam memperhatikan Buku Fisikanya. Gilbert hampir tertawa ketika melihat gadis itu akhirnya mengacak-acak rambutnya karena tidak mengerti.
“Lo hebat, Gil!”
Pemuda itu bisa mendengar pujian Algia ketika ia berjalan melewatinya. Gilbert hanya mengangguk sebagai tanda terima kasih.
Miss. Ana meminta izin untuk mengangkat telephone dan keluar kelas. Algia berbalik mengahadap Gilbert yang ternyata telah kembali mencoba mengerjakan latihan soal yang ada di buku mereka. Gadis berlesung pipi itu tidak berbicara apapun, hanya memperhatikan cara Gilbert menulis jawabannya di atas selembar kertas kosong.
Ternyata Gilbert tidak menghapus hasil hitungannya yang salah, Ia menggambarkan ilustrasi gambarnya sendiri ketika membaca soal. Algia pernah bertanya sebelumnya mengenai hal itu, saat itu Gilbert hanya menjawab hal itu dilakukan untuk  memudahkan pekerjaannya.
Merasa diperhatikan, Gilbert mendongak ke arah Algia yang masih melihat gerak tangannya. “Kenapa?” Suara seraknya ternyata bisa mengejutkan Algia. “Kenapa liatin gue, Gi?” Ia mengulangi pertanyaannya.
“Gapapa.” Algia menjawab tanpa melihat Gilbert.
Algia memliliki rambut dengan panjang sebahu, kali ini rambut itu tergerai tak seperti biasanya. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya hari ini, melainkan jam tangan Levi’s Hitam yang bertengger manis di pergelangan tangan kiri gadis itu. Jam tangan itu merupakan pemberian darinya sebulan yang lalu ketika Algia ulangtahun.
Tiba-tiba saja darahnya berdesir cepat. Ia selalu seperti ini ketika berhadapan dengan Algia, mungkin selama satahun terakhir ini, saat ia tersadar bahwa ia telah jatuh hati oleh pesona Algia.
Algia bukan juara Umum ataupun juara kelas seperti dirinya, Tapi gadis itu mempunyai seribu nilai plus dimatanya.
Miss. Ana kembali ke dalam kelas. Dan Gilbert kembali tersihir saat Algia berbalik ke depan dengan Rambut panjangnya yang terlempar indah.
***
            Gilbert masih membaca buku impor berbahasa inggris yang mengungkap sedikit banyak tentang kehidupan Politik di negara-negara maju Eropa. Buku itu dipaketkan ayahnya yang kebetulan bekerja di kementrian luar negeri di London, Inggris. Beberapa bab lagi, dan ia akan menyelesaikan buku itu.
            Pemuda itu membenarkan letak kacamatanya, dan saat itulah ia baru tersadar bahwa ternyata ia tidak sendirian di sini. Ia melihat jam ditangannya, Beberapa menit yang lalu baru saja bel istirahat, teman-teman sekelasnya sudah pasti meninggalkan kelas, dan seharusnya Algia pun begitu.
            Badannya terlihat menunduk lemas jika dilihat dari posisinya sekarang. Beberapa kali Gilbert mendengar Algia mengerang, dan tangan gadis itu berada di perut.
            “Gak ngantin, Gi?”
            Algia sama sekali tidak merubah posisi badannya, tapi Gadis itu  menjawab, tidak terdengar jelas oleh Gilbert.
            “Lo gak apa-apa, Gi?” Gilbert memastikan Algia baik-baik saja atau tidak. Ia melangkah mendekati gadis itu, sedikit bersimpuh mensejajarkan tubuh dengan wajah Algia yang menempel di meja.
            “Perut gue sakit, Gil!”
            Barulah dengan jarak sedekat itu Gilbert bisa mendengar suara Algia yang sangat parau. Benar saja, Tangan gadis itu berada di perut, sedikit meremas seperti mencoba menahan sakit. Wajah Gilbert mendadak saja menegang, raut bingung dan khawatir Nampak jelas di sana. Belum sempat Gilbert bertanya sebab-sakit-perut-nya Algia itu, Algia malah memberikan penyataan yang membuat Gilbert semakin tidak tahu harus berbuat apa.
            “Gue lagi dapet.”
            Gilbert tidak pernah tahu bagaimana rasa sakit yang dialami perempuan ketika mendapat rutinitas bulanan mereka itu. Gilbert tidak mempunyai sodara perempuan sebaya dan hampir tidak pernah mendengar keluhan tentang sakit di perut ketika mendapat mens.
            Beberapa saat mereka hanya diam. Algia masih dengan rasa sakitnya dan Gilbert penuh dengan kebingungan, Bingung apa yang harus diperbuatnya untuk meredakan rasa sakit yang di alami Algia.
            Istirahat sudah berjalan delapan menit, dan teman sekelas mereka belum ada yang kembali satu orangpun.
            “Lo butuh minum.”
            Gilbert mengangsurkan botol minumnya kepada Algia.
            Oh, ya. Perlu diketahui, Gilbert membawa botol minum ke sekolah. Isinya hanya air mineral karena pemuda ini tidak suka minuman apapun selain Air mineral dan susu. Gilbert tidak jajan di sekolah, hanya sesekali membeli roti yang di jual oleh salah satu teman sekelas mereka. Gilbert memang jenius, tapi demi apapun, Pemuda ini jauh dari sebutan cupu, culun ataupun sebangsanya. Gilbert tampan dengan caranya sendiri.
            Algia menatap botol minum milik Gilbert. Tangannya hampir menyentuh botol itu, namun beberapa saat tangannya menggantung begitu saja di udara.
            “Percaya sama gue, lo harus minum.” Masih tidak ada reaksi berarti dari Algia. “Gue gak punya penyakit menular, dan gak lagi nyimpen virus apapun dalam tubuh gue. Lo bisa minum itu.”
            Akhirnya Algia benar-benar menerima botol minum milik Gilbert, meminumnya seteguk, beberapa detik terdiam dan akhirnya menghabiskan semuanya. “Yah, abis, Gil. Gak apa-apa?”
            Gilbert hanya tersenyum menandakan ia senang Algia menghabiskan minumnya. Pemuda itu menarik bangku di sampingnya. Lalu duduk merapat kepada Algia. Tangan gadis itu masih meremas-remas perut, Ia benar-benar bingung dan ulu hatinya seperti tersentil sesuatu.
            Beberapa saat hening.
            Gilbert berpikir untuk mengalihkan rasa sakit Algia.
            “Menurut lo apa yang menyebabkan kehidupan politik di singapura cenderung aman?”
            Algia melayangkan perhatian penuhnya kepada Gilbert. Bisa-bisanya cowok ini menanyakan hal seperti itu di saat ia butuh penopang seperti saat ini. Perutnya sakit, dan ia malah ditanyai tentang politik! Algia tidak menjawab, hanya memandang Gilbert dengan penuh tanya, merasa tersinggung juga karena nyatanya Algia sama sekali tidak handal di bidang pengetahuan sosial dan bernegara.
            Sedangkan Gilbert benar-benar menyesal telah menanyakan hal tersebut pada Algia. Lagi pula apa yang bisa diperbuatnya? Ia tidak ahli terhadap perempuan, jadi biarkan ia mencari jalan keluarnya sendiri.
            “Singapura Cuma punya satu partai politik, terkesan otoriter sih memang, tapi itu malah yang membuat politik di singapura aman, karena hal itu malah membuat singapura bebas korupsi.” Gilbert menjawab pertanyaannya sendiri.
            “Di singapura ada yang namanya pelanggaran tata cara berkehidupan sosial yang baik, dimana setiap orang benar benar harus menjaga sikapnya terhadap orang lain. Dan gak tanggung-tanggung loh, ada dua hukuman khusus untuk pelanggaran ini.”
            Tangan Algia turun dari perut, berhenti meremas-remas, Gadis itu malah menedengarkan apa saja yang dikatakan Gilbert.
            “Kebayang gak lo kalau di indonesia di terapkan system kayak gitu juga? Mungkin tukang maling jemuran di Indonesia habis kali ya di ciduk polisi.”
            Algia tertawa. Benar-benar tertawa hingga tubuhnya berguncang. Gilbert jadi ikut tersenyum, Gak ada yang lebih membahagiakan selain membuat orang yang kita sayang bahagia, apalagi karena kita sendiri.
            Dan setelah itu Algia benar-benar mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Gilbert. Gadis itu membingungkan diri ketika Gilbert membahas tentang salah satu kasus yang dipecahkan Conan Doyle. Berdebat tentang ke-playboy-an James Bond, Algia lebih suka Hannah Montana dibandingkan dengan  Camp Rock, tapi itu merupakan kebalikan dari Gilbert, karena Gilbert lebih suka Demi Lovato dibading Miley Cyrus.
            “Perut lo gak sakit lagi.”
            Itu penyataan, bukan pertanyaan.
Gilbert semakin melebarkan senyumnya ketika Algia mengeryitkan dahi.
            Seketika mereka hanya terdiam. Gilbert membiarkan Algia berpikir sebentar, dan senyum puasnya makin jelas tepampang ketika Algia akhirnya mengangguk-angguk mengerti. Gadis itu menatapnya sambil tersenyum. Iris hitam Gadis itu seakan menguncinya, menahan seinchi pun gerakannya saat ini.
            Algia sadar tengah ditatap oleh Gilbert. Gadis itu tidak percaya jika harus mengatakan ia menyukai Gilbert. Pemuda itu mempunyai segudang hal yang tidak dimiliki anak seusia mereka yang lainnya. Gilbert pintar, Baik dan satu hal lagi yang baru ia ketahui, Gilbert mempunyai ketulusan. Ketulusan lah yang ia lihat sejak Gilbert mulai bercerita tentang politik dan berujung pada serial tv, Algia tidak melihat Gilbert yang sedang menyombongkan ilmunya, yang ia lihat adalah Gilbert yang tulus membantu meringankan rasa sakit temannya.
            “Makasih.”
            Jujur dan Tulus. Tidak ada yang dilebih-lebihkan dari ungkapannya itu, ia hanya merasa harus berterimakasih pada Gilbert. Gilbert baik, dan ia ingin kebaikan-kebaikan lainnya dari Gilbert. Egois.
            “Gi?”
            “Apa?”
            “Kayaknya gue bener-bener mengalami Dilatasi.”
            Algia kembali mnegrnyit, selain heran dengan penyataan Gilbert, Ia juga terkesima karena pandangan mata Gilbert tidak berubah, pemuda itu masih menatap Algia dengan dalam.
            “Maksud lo?”
            “Dilatasi, keadaan dimana suatu bangun bertransformasi dan mengubah ukuran bangun itu sendiri. Di matematika kemaren, Inget?”
            Kerutan di dahi Algia semakin dalam, walaupun akhirnya ia mengangguk kaena mengingat Materi transformasi bangun datar yang di ajarkan Miss. Dena minggu lalu. Tapi apa hubungannya dengan Gilbert?
            “Oke, terus?”
            “Lo tahu apa yang bertransformasi dalam diri gue?”
            Algia menggeleng, kali ini sambil memasukan buku pelajaran yang berserakan dimeja.
            “Hati gue.”
            Telak. Algia otomatis menghentikan kegiatannya ketika Gilbert kembali mejawab pertanyaanya sendiri. Gadis itu kembali menatap Gilbert, ada dorongan untuk bertanya apa yang telah ia perkirakan sebelumnya, tapi ia sungguh tidak mempunyai keberanian untuk itu.
            “Gue merasa hati gue udah lo dilatasikan. Pasalanya, bukan hati gue yang berubah, tapi perasaan yang ada di dalamnya, ukuran sayang teman yang gue punya…, berkembang.”
            Algia mengerti apa yang dimaksudkan Gilbert. Pemuda itu … menyukainya? Oh, YaTuhan! Ia benar-benar tidak membayangkan ini sebelumnya.
            “Lo tahukan, Dilatasi gak merubah bentuk suatu bangun. Modal sayang gak mempan. Harus ada eksekusi yang lo lakuin.”
            “Kalo maksud lo dengan gue harus nembak lo buat jadi cewek gue, Gue keberatan.”
            “Kenapa?”
            “Pacaran bukan acara, Algia. Gak harus ada proposal dibelakangnya. Gue sayang sama lo, dan kita bisa pacaran kalo emang rasa sayang gue berlaku di hati lo.”
            Mata Algia berkaca-kaca, sekali saja gadis itu berkedip air matanya pasti bisa dengan mudah jatuh. Ini bukan kesedihan, ini kebahagian luar biasa.
            “Gilbert, lo harusnya takut kalo seandainya rasa sayang yang lo ungkapin tadi benar-benar gak berlaku.”
            Gilbert tersenyum percaya diri. “Lo perlu jadi gue, buat ngerasain gimana takutnya gue sekarang.”
            “Dan mungkin gue mau, untuk mengalihkan ketakutan lo saat ini.”
            Ambigu. Gilbert tidak benar-benar paham apa yang dikatakan Algia. Baru saja pemuda itu akan melayangkan pertanyaannya, Algia sudah terlebih dahulu mencium pipi kanannya. Kilat memang, tapi Gilbert yakin itu adalah refleksi dari rasa sayang mereka berdua.
            “Artinya?”
            Gilbert bertanya dengan senyum yang benar-benar merekah.
            “Artinya, Lo gak terlalu buruk buat gue kenalin ke orang-orang sebagai pacar gue.”
            Gilbert tertawa, Ia membenarkan letak kacamatanya, lalu merengkuh Algia ke dalam pelukan.
            Tiba-tiba saja pintu kelas terbuka, hampir setengah teman sekelas mereka masuk dan menyoraki mereka berdua. Sialnya, mereka semua tahu apa saja yang baru terjadi.
            “Waaaah, Gilbert keren banget!”
            “Gila, Algia! Lo nyium Gilbert!”
            “Wah-wah-wah! Ternyata lo masih doyan cewek, Gil!”
            Kadangkala, Tuhan memang selalu memberikan apa yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Sekali lagi, ini kebahagian luar biasa, yang tanpa direncanakan dan dirancang sedemikian rupa. Dan ini hanya tentang pemberlakuan akumulasi rasa sayang, oleh bumi, matahari, angin dan dua hati.

This entry was posted on Senin, 25 Maret 2013 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

2 Responses to “Incredible Happiness (CERPEN)”

  1. Hai! Aku suka blog kamu, cerita-cerita kamu. Salam kenal, ya! :)

    BalasHapus
  2. Hai Zahra! :) Makasih udah baca cerita-ceritaku, salam kenal juga :)

    BalasHapus